kalau di setiap detak jantung kamu selalu memikirkan mereka, aku tidak. aku mencari seseorang, sesuatu yang bisa membangkitkan suara yang selalu ingin kudengar. bukan hembusan angin, hanya sebuah suara yang bisa membuatku tersenyum barang sekejap.
tik...tik...tik... bunyi rantai sepeda platinum jenis tertua yang sudah berkarat dan kurang pelumas tertambat di satu tempat. akhirnya setelah menunggu 2 minggu platinum ini masuk bengkel juga. para tukang terus mengayuh pedal dengan tangan2 mereka yang sudah terbiasa, mendengarkan setiap bunyi tak wajar dengan insting terlatih mereka. baru kali ini aku menyadari bahwa sudah sejam lamanya aku menatap jarum jam yg berjalan perlahan tanpa bosan, hingga tangan penuh noda oli melambai ke arahku sembari menunjukkan buah tangannya. sepeda tua itu tetap seperti semula bentuk dan warnanya, hanya saja bisa kulihat polesan tangan beroli itu padanya yg memberi sedikit kecerahan.
kutepuk CPU komputerku... berdengung kencang tanpa menunjukkan adanya kemajuan. layar monitor masih saja gelap, kugoyang-goyang kan setiap kabel mulai dari yang memang merupakan penghubungnya hingga kabel yang bahkan ujungnya pun sudah tidak ada, berharap ada sedikit warna yg muncul di monitor. kuangkat tangan, menyerah. kubanting tubuhku ke atas kasur, bukan frustasi, hanya sedikit perlu bersabar. setua aku itu perangkat, jd ada penghormatan khusus yang selalu kuberikan. untungnya semua riset sudah kusimpan dalam makhluk kecil canggih, entah apa mereka menyebutnya tapi aku lebi suka menyebutnya flashdisk.aku berharap bisa mengulang mempelajari semua itu melalui eyang komputer ini sebelum aku benar-benar harus maju dengan hanya berbekal flashdisk.
aku nggak pernah pergi dari sini karena tak ada yang memanggilku. mereka semua asik dengan harapan pada masing-masing ego yang tak pernah habis, sama seperti aku yang tersesat pada harapan kosong tanpa bekas.
kukencangkan dasiku, lebih untuk mengumpulkan kepercayaan diri daripada kerapian. kutatap satu-satunya cermin di ruangan ini dan merasakan keinginan untuk tetap diam. sulitnya harus menjadi orang lain yang membuatku enggan keluar dari ruangan ini, namun semakin aku diam, semakin aku jauh dari suara itu. kertas-kertas bertebaran di lantai, aku sudah berjanji akan membereskannya jika ujianku kali ini diterima, atau setidaknya dihargai. ku raih flashdisk kecil di atas meja dan memasukkannya ke kantong hem lengan panjangku.
kutuntun sepedaku hingga keluar gang sempit tersebut. kuhela nafas perlahan, pastikan udara hari itu lah yang memang kutunggu. NGIKKK... NGIKKK.... bunyi karat tak begitu kentara, sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. hari belum terlalu siang namun ini pun sudah bukan jam masuk sekolah, dengan demikian aspal tak sepanas siang nanti ataupun 1-2 jam yang lalu, cukup untuk menjaga ban sepeda baruku. kemudian aku memasuki kawasan yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang tingginya tak terkira. seolah ingin menyentuh langit. tak butuh lebih dari 15 menit untuk menyampaikan ke diriku ke sebuah gedung tua yang menurut perkiraanku merupakan peninggalan Belanda. seperti saat aku datang pertama kali 2 minggu yang lalu, mereka amat sangat ramah. tak peduli jabatan mereka namun mereka menyapaku. dan kuhampiri wanita yang tempo hari memberiku informasi dan kini aku membutuhkannya lagi. dia mempersilahkanku memasuki sebuah ruangan ber-AC dan terlihat lenggang. memang, hanya ada 3 orang lelaki yang sedang memangku timbunan lemak mereka di atas kursi nan empuk.
aku hanya berpikir mungkin ini akan menjadi 15 menit paling berarti sepanjang sejarah hidupku....
aku berdiri menunggu. tegang memenuhi benakku, dan mungkin beberapa orang di sekitarku, para office boy dan seorang satpam. mereka tidak mengenalku, namun mengerti perasaanku, seolah mereka pernah melaluinya, dan memang terjadi dahulu. sudah berkali-kali wanita yg memberiku informasi mempersilahkanku duduk di kursi tamu yang sederhana. mereka tau aku gelisah sehingga tidak bisa duduk, bukan karena kursi tamu tersebut hanya kursi kayu sederhana yang artistik.
ditanganku kupegang dengan hati -hati sepucuk amplop putih. ku robek ujungnya dan kukeluarkan isi nya. selembar kertas. kubaca. ada setitik dalam hati yang mengatakan aku harus kuat dan setitik lagi berteriak agar aku segera melonjak gembira. kekecewaan dan kelegaan berpadu dengan kuat dan akan terbawa hingga nanti mungkin saat masuk ke gedung lain, dan saat nanti bekerja dengan senyum merekah di kantor tersebut.
mungkin memang bukan saat ini untuk pulang... akan ada waktunya, meski esok hanya akan tinggal nama....