Hari
1
Hari ini aku ke mall, dan seperti
biasa, penuh dengan para pelancong, tapi aku tak peduli setidaknya aku mendapat
refreshing. Refreshing yang sangat menyenangkan karena terpaksa kuhabiskan
mencari Handphoneku yang tertukar dengan seorang cowok. Menurutku dan aku
bersikeras, dia yang menabrakku. Aku menemukannya tentu saja, kedua-duanya,
handphone dan penabrak yang membawa handphoneku. Mungkin sebetulnya aku terlalu
berlebihan, karena dia juga mencariku, bagaimana tidak aku juga membawa handphonenya.
Aku sedang berjalan kemudian, ehm, lalu lelaki itu menabrakku, tanganku yang
sedang asyik dengan handphone, singkatnya, langsung terjatuh. Aku sempat
berteriak kecil, tak seperti dia yang langsung memungut handphonenya lalu
memandangku dengan pandangan menusuk dan segera berlalu. Ketika kami bertemu
kembali tentu saja dia langsung mengulurkan handphoneku, dan begitu sebaliknya.
Hari
5
Sepulang aku sekolah dia sudah
ada di kamarku. Ya mau bagaimana lagi, sepertinya dia seorang lelaki yang butuh
teman dan aku seorang cewek yang sedang butuh sosok kakak. Aku selalu mengumpat
kalau dia sudah mengeluhkan tentang sekolah regulerku. Dia kan homeschooling,
bisa kapan saja dia pergi, belum lagi kesimpulanku mengenai pribadinya yang
agak emosional dan pemberontak. Bagus kalau dia memang ada disini setelah waktu
belajarnya usai, tapi kalau gurunya ditinggal begitu saja ya bukan salahku. Dia
mengeluh sebentar tentang sekolahku dan kemudian keperluan utamanya pun keluar.
Dia mulai menceritakan sejak semalam dia pulang dari rumahku dan sampai tadi
sebelum ia berangkat ke sini, bertengkar lagi ia rupanya dengan ibunya. Aku
hanya bisa garuk-garuk kepala, tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya butuh
pendengar.
Hari
7
Hari ini aku menemukan blognya,
aku tak pernah tahu kalau ia memotretku. “my younger sister/brother” tulisnya
dibawah foto itu. “brother?” umpatku. Dasar payah, itu kan bisa dilihat semua
orang. Ya memang aku kayak gini. Waktu aku tanya tentang itu dia cuma ketawa,
dan pas aku mau potret dia malah dia lempar aku dengan bantal lalu pergi
sembunyi di balik selimutku. Hancur sudah kamarku dengan adanya dia. Sisa hari
itu kuhabiskan untuk memotretnya sembunyi-sembunyi, tapi bagaimanapun dia lebih
berpengalaman, semua gagal, dan hasilnya kembali lagi ke kamarku yang hancur
sia-sia.
Hari
10
Aku baru sadar kalau seharian itu
aku terus mengoceh dan dia diam, diam mendengarkan dengan perhatian. Ternyata
dia juga bisa mendengarkan. Kalau teringat hal itu aku lagi-lagi hanya bisa
menggaruk-garuk kepalaku. Mungkin hari esok aku akan mencoba lebih tenang.
Kakakku itu sekarang sepertinya sudah jauh lebih baik daripada saat pertama
kali bertemu. Dia mengajakku jalan-jalan ke mal, dan seperti aku, dia juga suka
duduk dan hanya menikmati suasana, jadi tak masalah ketika aku mengajaknya
untuk duduk dan hanya merenung. Aku menceritakan padanya betapa aku suka
melihat bintang-bintang di langit, karena itu semua yang membuatku tenang. Dan
dia malah bertanya dengan wajah tak tertahan “Jadi aku ga bisa buat kamu
tenang?” wajahnya benar-benar ingin dipukul. Wajah yang amat sangat memancing
rasa gatal di tanganku. Kubaca novel yang kubawa, aku tak peduli dengan apa
yang dilakukannya, kalau dia mulai berbicara aku menutup bukuku dan
mendengarkannya.
Hari
12
Dia bilang dia berkenalan dengan
seorang cewek, karena salah kirim sms. Itu agak tidak mungkin untukku, lalu aku
mulai berpikir apakah dia tukang mabuk, tapi tampaknya tidak, matanya selalu
cerah dan tubuhnya tak pernah kurus, selama aku mengenalnya. Dia bilang dia
sedang memakai handphonenya yang untuk mengirim sms ke pacarnya, aku tau dia
punya tapi dia tak pernah membicarakannya dan aku tak mau ikut campur. Dia
bilang kalau smsnya berisi kata-kata pedas yang sedang mengusahakan putus, tapi
karena katanya (aku tak tau apakah itu hanya alasannya atau apa) semua nomor
kontaknya hilang sehingga dia harus menyalin dari buku telepon sakunya, dan
setelah dicek dari pesan terkirim ia menemukan nomornya salah satu digit dengan
yang seharusnya, langsung saja ia meminta maaf, karena yang pertama kata-kata
itu menurutnya agak jahat sehingga harus diluruskan, yang kedua dia tipe orang
yang sopan dan tak suka menyakiti orang lain, meskipun dia cuek. Dia bilang sih
orangnya asyik, meski belum pernah ketemu. Aku mendengarkan sambil membongkar
isi handphonenya dan mengganti isi simnya dengan milikku, ia merusakkan
handphoneku kemaren. Rentetan pesan masuk mengantri untuk dibuka. Lega rasanya
ia memiliki pegangan hidup akhirnya.
Hari
20
Aku begitu lelah hari ini. Dia
memang pendengar yang baik dan tahu bagaimana cara merubah suasana hati orang.
Kalau sedang positif, semuanya bisa terhibur dan sebaliknya. Seingatku dia
cerita lagi tentang pertengkaran di rumahnya, dan sepertinya sesuai dengan
dugaanku, dia sedang dalam masa-masa pemulihan dari penyakit emosionalnya.
Mungkin ada karena belakangan ini dia punya banyak teman baru. Aku sudah merasa
cukup punya seseorang yang mau mendengarkanku berbicara terutama lagi seseorang
yang mau bercerita padaku. Aku tak pernah bingung atau pun takut kalau ia gonta
ganti pacar yang penting dia kakakku, kalau aku nasehatin dia mau, itu pertanda
bagus, tapi kalau tak mau bukan hakku juga untuk mengatur.
Hari
30
Sore tadi dia telpon, heran juga
telpon tapi kemudian aku sadar kalau handphoneku lagi rusak, kedengarannya dia
lagi kalut, suaranya aneh dan ya begitulah pokoknya. Makanya malam ini sekalian
aku pulang les, aku mampir di rumahnya. Sepi. Aku masuk ke kamarnya, dia pernah
cerita kamarnya ada di lantai satu, karena Cuma itu kamar yang aku lihat di lantai
satu aku masuk tentunya dengan seizing si mbok. Dia sering cerita ke simbok
ternyata. Handphonenya di atas kasur, tergeletak begitu saja. Saat kucek ada
beberapa sms yang belum terjawab, mungkin dari teman salah kirim pesannya.
Kukirimkan sebuah pesan ke nomor yang tak kutahu tersebut, orangnya juga sih.
Beberapa saat kemudian keluar balasan dari nomor tersebut. Dia juga nggak tahu.
Kemudian tiba-tiba sebuah suara motor berhenti diluar, aku merasa kenal dengan
suaranya. Tentu saja itu dia. Kebut-kebutan, ya Cuma itu sih kebiasaannya tapi
tetep aja kalo lagi emosi lebih rawan kecelakaan pastinya. Dasar aneh.
Hari
31
Dia sudah agak tenang dan mulai
bercerita tentang kemaren. Tiket pesawat, Seattle, Amerika, sekolah. Oke
menurutku itu cukup untuk mewakili semua ucapannya. Wow…. Aku tak mampu
berkata-kata lagi. Bingung, sedih, kehilangan, tak kubiarkan tampak di
permukaan wajahku. Dasar aneh, diriku sekarang. Kejutan pertama, bagiku. Dia
bilang padaku kalau ternyata teman salah kirim sms nya itu adalah kakak kelasku,
dengan kata lain…. Yaaa begitulah. Aku tak mau berpikir lagi. Kebetulan aku
sedang tak ingin cerita jadi tak masalah kalau aku diam dan sepertinya dia
mengerti. Dia juga tak ingin pergi tapi senekat apapun tetap saja yang harus
berkorban adalah dirinya.
Hari
39
Kosong. Otakku kosong. Apa yang
harus kuberikan untuk seseorang yang amat berharga pada saat dia pergi supaya
bisa ingat padaku? Arrgghh …. Tapi siapa suruh juga baru ngasi tahu hari ini
kalau berangkatnya besok. Dasar payah plus aneh. Jadi sebetulnya itu aku harus
bagaimana? Kalau aku beri sesuatu tapi dia malah nggak pulang ke sini lagi kan
malah aku yang susah, tapi kalau nggak dikasi kenang-kenangan bisa-bisa dia
lupa sama aku. Dan dia malah sudah beri tahu aku apa yang dia tinggalkan untukku.
Handphonenya. Tentu saja seharusnya begitu, dia yang menghancurkan handphoneku
harus bertanggung jawab, bisa-bisanya dia bilang itu kenang-kenangan, plus
nomornya lagi. Sekarang aku bingung. Tidurku pasti nyenyak karena capek mikir
sepanjang malam, dan besok pagi pas aku pulang sekolah dia sudah pergi.
Hari
40
Aku yang memang sudah dasarnya
tidak bisa tenang di dalam kelas semakin menjadi lagi. Waktu aku sampai rumah
aku Cuma menemukan sekotak handphone terkutuk miliknya plus nomornya dan sebuah
surat. Dia itu bahkan tidak punya email, alamat pasti saja masih buta. Bisa
gila aku. Kubongkar kotak tempat handphonenya. Tertulis sesuatu di tutup kotak
bagian dalam, Garry. Sedikit narsis juga rupanya atau dia hanya ingin membuatku
selalu teringat. Aku benci menjadi sendirian lagi. Bergulat dengan pulpen dan
kertas atau MicrosoftWord di laptop saja aku masih tak mampu menggambarkan
detailnya, dan kini aku harus kembali pada tradisi itu. Kugenggam tanganku,
berharap masih ada lengannya disana, namun hanya sekumpulan angin yang
berlarian takut terperangkap. I hope I’ll see you again.
In
memoriam of Garry
Me
Adeninova
Atmojo
Selasa
7 February 2012
In
my room at 22.07 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar