Ryan turun dari
pesawat dan langsung menuju ruang bagasi tanpa menunggu kakaknya. Ia sudah
ingin cepat pulang dan beristirahat. Saking terburu-burunya ia menabrak seorang
cewek. Semua barang bawaan cewek itu jatuh. Cewek itu membalikkan badan untuk
melihat siapa yang telah menabrak sekaligus menjatuhkan semua bawaannya. Sesaan
cewek itu terlihat akan marah namun sesuatu di wajah Ryan membut cewek itu
hanya melongo. Ryan segera mengambil barang bawaannya yang jatuh.
“Sorry,” kata
Ryan menyodorkan bawaan cewek itu dan segera pergi tanpa sadar cewek itu masih
menatapnya.
Ryan menunggu di
ruang bagasi dengan tidak sabar. Barang yang ditunggu keluar bersamaan dengan
datangnya kakaknya.
“Kak Nik, ayo!,”
Ryan segera meletakkan barang-barang di troli lalu mendorongnya ke arah supir
yang sudah menunggu.
“Mama mana,
Pak?”, Nikky bertanya pada supir yang menjemputnya.
“Tadi pagi baru
aja terbang ke Singapura, tepat sebelum kalian telpon minta dijemput. Non Nikky
sama Mas Ryan kok pulang sich? Sekolah disana nggak enak ya?
“Lho kan mama udah tau kalo kita mau pulang kan?!”, sergah Nikky.
“Bukan nggak
nyaman,” Nikky melirik Ryan yang bersandar ke jendela. “Cuma, rasanya lebih
kebiasa di Indonesia.”
Sisa perjalanan
ke rumah berjalan hening. Sampai di rumah Ryan segera membawa barang miliknya
ke kamar yang sudah ditinggalin selama 6 bulan. Sore itu ia ingin segera
istirahat, berharap apa yang membuatnya pulang ke Indonesia hanya mimpi.
Kebiasaan bangun
pagi di London nggak hilang juga di Indonesia
meski perbedaan waktu cukup besar. Jam 6 pagi Ryan sudah siap untuk berangkat
ke sekolah barunya. Ia masih nggak bisa percaya bahwa satu, ia pulang ke Indonesia.
Dua, mamanya yang sudah diberitahu bahwa Ryan sakit dan butuh mamanya malah
pergi ke negeri seberang.
“Ry, obatnya!” kak
Nikky masuk ke kamar sambil membawa bungkusan bercap rumah sakit di London.
Ryan segera
mengambil bungkusan itu dan segera meminumnya dengan segelas air putih yang
dibawa oleh kakaknya juga.
“Huh, tak ada
yang peduli padaku,” dengus Ryan sambil melempar bungkusan obat yang telah
diminumnya ke tempat tidur.
“Kita harus
kasih tau mama yang sebenernya,” Nikky berusaha menenangkan.
“Sudah biarkan
saja. Kalo mama pulang cuma karena tau aku sakit parah, berarti mama emang
nggak peduli sama aku, sama kita. Udahlah ini toh juga penyakit pada umumnya.”
“Aku berangkat
dulu,” tambahnya ketika melihat Nikky ingin berbicara lagi.
Masih agak
terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah barunya, namun ia tak tahan memikirkan
masalah di rumah.
Sekolah tempat
ia didaftarkan sebagai murid pindahan bukan sekolah besar namun cukup nyaman untuk
menghabiskan sisa kelas 3 SMAnya yang tinggal sebentar lagi.
Sungguh malang, setelah
menghabiskan waktu menunggu di kantin sampai bel, Ryan tetap tak bisa
menghindari adat memperkenalkan diri di depan kelas yang sangat memalukan. Ia
memilih duduk di kursi kosong tanpa sebelah, daripada duduk bersama seorang
anak cowok yang terlihat berharap ia memilihnya. Ryan membutuhkan waktu untuk beradaptasi
dengan lingkungan sekitar. Pelajaran yang diberikan sudah sering dibacanya dan
ia menghabiskan 2 jam untuk melamun daripada mendengarkan guru. Sebelum
istirahat seorang cowok datang dan mengenalkan dirinya.
“Hey, aku Nino,”
tangannya diulurkan.
“Hey. Aku yakin
kamu sudah tau namaku,” jawab Ryan menjabat tangan Nino sambil tersenyum
sedikit.
Nino bisa
merasakan bahwa Ryan tak ingin diganggu, meski Ryan berusaha bersikap baik.
Nino segera meninggalkan Ryan dengan memastikan Ryan tau dirinya memberi waktu
padanya untuk sendiri. Ryan sadar akan hal itu, dan agak heran. Tak biasanya
ada orang yang mau meninggalkan pusat perhatian tanpa sebuah pertanyaan pun
terjawab.
Ketika istirahat
datang, Ryan memilih di kelas daripada melihat-lihat lingkungan sekolah
barunya. Berkali-kali banyak kepala mengok ke dalam kelas untuk melihat si anak
baru. Rupanya berita ada anak baru cepat menyebar dan menjadi daya tarik
tersendiri.
Seorang cewek
yang sepertinya Ryan kenal sekaligus nggak kenal masuk ke kelas dan berjalan ke
arahnya.
“Aku Vina,” kata
cewek itu sepenuh tenaga. Mukanya memerah.
Butuh nyali
besar buat kenalan sama cowok yang kemarin menabraknya di bandara. Cowok yang
ekspresinya sedingin es. Kalimat pertama tadi tu dikatakannya dengan harapan
cowok ini akan memberitahu namanya sehingga, Vina punya kesempatan untuk
mengumpulkan lagi tenaganya. Cowok itu menatapnya dengan pandangan yang tak
bisa ditebak. Tetap harus diakui bahwa cowok ini bener-bener keren dan cakep.
Dilirik dari kemarin dia menabraknya, di sekepala lebih tinggi dari pada Vina.
“Ehm, aku Ryan,”
jawabnya singkat.
“Ada yang bisa kubantu?,”
tambah Ryan ketika sesaat Vina tak mengatakan apa pun juga.
“Ehm, kemarin
aku yang kamu tabrak di ruang pengambilan bagasi di bandara,” akhirnya keluar
sekalimat panjang dengan lancar meski Vina nggak sempat bernafas.
“Oh, sorry yang
kemarin aku lagi buru-buru,” kata Ryan berusaha meminta maaf dengan benar.
“Bukan. Yang
kemarin nggak papa. Aku cuma nggak nyangka kamu juga sekolah disini,” Vina
mulai bisa beradaptasi dengan gaya
bicara Ryan yang sulit ditebak.
“Emmmh,” hanya
itu yang keluar untuk menanggapi kalimat terakhir Vina.
Vina yang baru
aja mulai mengerti gaya
bicara Ryan mulai gelagapan lagi mencari topik. Sejenak hening dan Ryan
memindahkan pandangannya ke luar jendela, melamun lagi.
“Kalo gitu aku
balik dulu,” akhirnya Vina menyerah karena kehabisan topik. Vina segera
berjalan keluar kelas setelah pamitannya hanya dibalas anggukan tanpa melihat
ke arahnya. Sebagian cowok membuatnya bingung. Ryan diam karena kebiasaan,
pilihan atau malu? Namun jika dilihat dari mimik wajah dan caranya menatap, itu
adalah sebuah pilihan.
Ada juga cewek yang berani
berkenalan dengan dia. Ryan tau cewek itu berusaha mengajaknya mengobrol, namun
Ryan juga sadar bahwa dirinya sama sekali tak mendukung adanya percakapan itu.
Ryan baru sadar bahwa cewek bukan teman sekelasnya, dan agak mengejutkan karena
dia sebagai cewek tidak memprotes tindakannya yang telah menabrak Vina kemarin.
Hingga pulang
sekolah tak ada yang menarik. Ada
satu pelajaran yang memang harus ia perhatikan penuh jika tak ingin tertinggal.
Ketika bel berbunyi, seorang guru masuk dan menahan murid-murid yang ingin
keluar. Ia membagikan lembaran pada anak-anak yang sudah ingin pulang segera
dengan kewalahan. Ryan hanya menunggu dengan sabar di belakang.
Namun kemudian
kepalanya terasa mau pecah dan segera menyambar lembaran yang ada di tangan
guru itu dan langsung pergi. Sambaran Ryan tadi membuat beberapa lembar lainnya
jatuh, namun Ryan sudah tak memperhatikan lagi, ia hanya ingin sampai rumah
dengan segera. Meski begitu ada saja penghalang. Ia menabrak seseorang, namun
rasa sakit sudah tak bisa dibendung dan ia tak bisa berkonsentrasi hingga Ryan
langsung pergi tanpa mengucap apa pun.
Benar atau
tidak? Itu pertanyaan yang menggema di pikiran Vina jika mengingat bahwa sekali
lagi dalam dua hari terakhir Ryan menabraknya, dan untuk yang terakhir tak ada
satu kata pun yang terucap. Mungkin ia memang bukan orang baik-baik, pikir
Vina. Namun ada suara kecil yang menyangkal pernyataan itu. Wajah Ryan terlihat
sangat buru-buru. Bahkan Vina yakin, Ryan tak sadar bahwa orang yang
ditabraknya adalah orang yang sama dengan kemarin.
Sungguh bukan
hari yang baik baginya. Sudah kenalan nggak digubris sekarang gara-gara surat pemberitahuan
datangnya telat jadi telat juga Vina pulang. Tak banyak yang bisa diharapkan
dari perjalanan ke Dieng atau selama di Dieng.
Ryan turun dari
mobil dan segera masuk ke rumah. Ia langsung menuju kamar tidurnya. Ia
mengobrak-abrik lemari mencari obat. Nikky masuk dan heran melihat tingkah
Ryan.
“Kamu cari apa?”
tanya Nikky.
“Dimana obatnya
kak? Kepalaku sakit!” jawab Ryan singkat. Jawaban itu sudah mewakilkan semuanya
bagi Nikky bahwa ia harus ikut mencari obat itu juga.
“Tadi pagi kan kamu yang minum!” kata Nikky sambil melihat di bawah
selimut. Dan obat yang dicarinya pun ditemukan.
“Nih!” Nikky
menyodorkan 2 buah pil kepada Ryan.
Ryan langsung
menyambarnya dan menelannya. Setelah itu ia agak tenang dan menjatuhkan diri ke
kasur.
Ryan yang tadi
masuk ke kamar secara terburu-buru sehingga isi tasnya berserakan dimana-mana.
Nikky mengambil selebaran yang tadi dibagikan. Ia membuka klipnya lalu
membacanya. Ryan yang masih menunggu obat yang minum bekerja tidak sadar apa
yang sedang kakaknya lakukan.
“Kamu nggak
boleh ikut ke Dieng!” tiba-tiba kakaknya berkata tegas.
“Hah?” Ryan
bertanya bingung. Mukanya meringis masih menahan sakit kepalanya.
“Ini ada surat pemberitahuan akan
ada rekreasi ke Dieng selama 3 hari 2 malam seminggu lagi, dan kamu nggak boleh
ikut,” Nikky menjelaskan.
“Jadi itu
isinya,” respon Ryan. “Aku akan tetap ikut. Aku masih anak baru dan kegiatan
itu bisa membuat aku lebih beradaptasi dengan lingkungan sekolah,” bantah Ryan.
“Kalo kamu mau
ikut ya udah nggak papa. Tapi 3 hari lagi kamu ikut kakak ke dokter buat minta surat ijin hal-hal yang
tidak boleh dilakukan sesuai kondisimu,” Ryan agak terkejut karena kakaknya
sedang lunak. Tapi sama saja jika membawa surat
ijin semacam itu.
“Hhheh . . .
. ok”, Ryan mendengus menyerah. Sakit
kepalanya mulai reda. Namun penyakit yang mengintainya tetap membuatnya
was-was.
“Biayanya berapa
kak?” tanya Ryan pada kakaknya yang masih memegang surat itu.
“Tulisannya sich
lima puluh
ribu. Kenapa?,” Nikky balas bertanya.
“Nggak apa-apa,”
jawab Ryan sambil berpikir. “Kak, papa meninggal gara-gara apa sih?”
“Hah?,” Nikky
agak terkejut mendengar pertanyaan adiknya itu. Ia tak pernah menduga Ryan akan
menanyakannya.
“Papa tu sakit
apa?” desak Ryan.
“Papa…. Papa itu
…kebanyakannn ngrokok makanya dia sakit trus meninggal. Kenapa kamu tanya
tentang papa?” Nikky berusaha menyamarkan ekspresi wajahnya yang kurang
meyakinkan.
“Nggak. Aku cuma
bingung aja. Rasanya waktu aku umur tujuh tahun harusnya kan aku tau kenapa papa meninggal waktu
itu,” jawab Ryan mengakui kepolosannya. “Ya udah aku mau tidur,” tambah Ryan
dengan nada polos yang belum hilang.
Kakaknya tidak
menjawab, namun segera keluar menutup pintu kamar, membiarkan adiknya
beristirahat.
Motor yang
dikendarai Ryan serasa membangunkan semua otot-ototnya yang masih ingin tidur.
Setelah berdebat sebentar akhirnya kakaknya mengijinkan dia naik motornya waktu
SMP dulu. Meski udah lama nggak dipake, tapi Pak Asman, sopirnya rajin memanasi
motor ini dan kadang-kadang dipakai mengantar penmbantu ke pasar.
Saat sampai
sekolah, anak-anak udah cukup banyak, namun parkiran motor masih agak sepi
sehingga cukup mudah mendapat tempat parker yang strategis.
Semua cewek yang
Ryan lewati melihat ke arahnya tanpa berusaha menyembunyikan tatapan mereka.
Ryan merasa risih dan berjalan lebih cepat ke kelasnya. Namun baru sampai di
depan kelas dan belum sempat meletakkan tasnya, Nino muncul.
“Kamu ikut ke
Dieng kan?”
tanyanya.
“Aku ikut,”
jawab Ryan singkat berusaha sedikit tersenyum meski ia sama sekali tak
berminat.
“Kamu di bus
duduk sama aku ya!” Ryan hanya mengangguk, dan setelah melihat anggukan Ryan,
Nino segera keluar kelas. Nino tampak tak terganggu dengan wajah dingin Ryan.
Hari itu Ryan
memutuskan untuk mencoba makanan yang ada di kantin, berhubung ia belum
sarapan, sementara kakaknya sudah membawakan obat, maka, mau tidak mau ia harus
makan. Ia membeli semangkuk bakso setelah sebelumnya ia meminum obat. Sebuah
meja kosong di pojok kantin seperti sudah dipersiapkan untuk dirinya. Ia makan
dengan tenang sampai sejumlah cewek datang dan mulai bertanya padanya.
“Kamu anak baru
itu kan?”
tanya cewek yang sepertinya ketua geng.
Ryan hanya balas
mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari baksonya.
“Punya hape kan. Boleh minta no
nya?” cewek tadi bertanya lagi disambut teriakan ciieee ciiieeee bukan hanya
dari teman se-gengnya tapi juga sekitar meja yang mendengar.
Kali ini Ryan
terpaksa menjawab, “Ada
tapi nggak pernah aktif,” singkat dan dingin.
“Aku Rina, ini
Kani, Chika, ….,” cewek yang memperkenalkan diri sebagai Rina, memberitahu
semua nama orang di gengnya. Namun baru tiga nama, Ryan sudah asyik dengan
baksonya. Bersamaan dengan suapan terakhir, gantian cowok-cowok dalam jumlah
besar datang. Ryan berdiri untuk kembali ke kelas dan berusaha melepaskan diri
dari cewek-cewel ini.
Cowok itu
menghampiri Ryan dan menatapnya dengan pandangan mengancam. Lalu sebelah tangan
cowok itu merangkul cewek yang namanya Rina tadi. Ryan menatap mata cowok itu
tanpa rasa bersalah sambil menerobos kerumunan. Cowok itu terlihat puas dengan
sikap cuek yang ditunjukkan oleh Ryan.
Setelah kejadian
minggu lalu nggak ada yang berusaha berkenalan lagi dengan Ryan. Ryan terlalu
dingin pada mereka. Beberapa cowok yang dikenal Ryan bertambah tapi mereka
lebih suka tinggal diam. Tidak seperti Nino yang paling tidak sehari dua kali
menyapa atau menawarkan bantuan. Ryan merasa tidak enak pada Nino. Ia tidak
berhak mendapat perlakuan dingin. Tapi itu lebih baik bagi Ryan jika ia tak
ingin punya teman.
Atau
Vina kadang juga menyapa meski hanya dibalas dengan tatapan dingin dari Vino
atau dengan anggukan. Ryan jadi berpikir apakah mereka tidak ingin menjauh
dariku. Dari orang yang tak pernah menganggap mereka ada?
“Obatnya
udah?” pertanyaan kakaknya membuyarkan lamunan Ryan. Ryan pun hanya mengangguk.
“Surat ijin? Jaket,
sweater? Senter?” kakaknya menyerocos. Mengabsen semua bawaan Ryan. Sikap
kakaknya agak ganjil dalam seminggu terakhir. Tak ada perdebatan, tak ada
teriakan juga.
“Udahlah,
kak. Ini di sekolah. Dan lagi pula itu cuma 3 hari,” Ryan berusaha meredakan
kecemasan kakaknya.
“Sorry.
Aku cuma terlalu khawatir,” Nikky berusaha tenang.
Rombongan
sudah berkumpul dan siap berangkat. Para guru
berusaha mengabsen.
“Udah
sana!” Nikky
menyuruh. “Hati-hati!” tambahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Ryan
berjalan ke arah bus sebelum ia teringat akan sesuatu.
“Jangan
coba-coba hubungi mama!” katanya serius dan dingin.
Rombongan besar
itu membawa 4 bus pariwisata level VIP. Cukup mewah. Satu bus berisi anak dari
bermacam-macam kelas. Dan Nino senang bukan main ketika tau gebetannya berada
satu bus dengannya.
“Aku mau pacaran
dulu ya . . . . . doain semoga bisa
pacaran beneran,” pamit Nino penuh harap. Nino tak perlu merasa tak enak
meninggalkan Ryan duduk sendirian, Nino tau apa yang diinginkan Ryan.
“Oke,” jawab
Ryan dengan senyum tulus.
Setelah itu Nino
segera berjalan ke bagian belakang bus. Ryan memasang I-Podnya dan berusaha
terlelap dalam buaian lagu.
“Gimana? Kapan mau jadian sama Nino?,” tanya Vina.
“Apaan sihh?”
Maya menyangkal. Mukanya merah.
“Udah ngaku
aja!” giliran Inka yang mengorek informasi. Maya hanya diem aja.
“Eh, tu sih Nino
ke sini!” Vina memberitahu. Maya langsung melihat ke arah depan. Bisa saja Vina
bohong untuk mengerjai Maya, namun Nino memang sedang menuju ke arah mereka. Nino
semakin dekat dan Maya semakin merah wajahnya.
“Boleh aku
pinjem bentar nggak tempat duduknya?” Nino bertanya pada Vina yang duduk di
sebelah Maya. Maya langsung memberi instruksi dengan tangan agar aku segera
pergi.
Baiklah aku
pergi, kata Vina dalam hati. Vina berdiri dan menyerahkan kursinya ke Nino.
Inka tertawa penuh arti sekaligus kasihan melihat melihat Vina berdiri .
Vina melihat ke
belakang dan sadar bahwa kursi sudah penuh. Akhirnya Vina berjalan ke depan dan
dan melihat dari belakang ada satu kursi yang ia tebak adalah kursi milik Nino
tadi. Ketika akan duduk, Vina tersadar bahwa Nino duduk bersama Ryan.
Vina berusaha
duduk diam agar tidak mengganggu Ryan yang tampaknya sedang tidur sangat
nyenyak. Wajah Ryan terlihat sangat polos ketika tidur. Ada segaris beban yang tampak memenuhi garis
di keningnya.
Bus tiba-tiba
mengerem mendadak, mengejutkan seluruh penumpang. Ryan segera bangun dan
kembali ke alam sadar.
“Sorry, bukan
aku yang mbangunin kamu,” Vina segera berbicara ketika melihat Ryan menatapnya
penuh tanda tanya. “Busnya ngerem mendadak,” tambahnya.
“Nggak papa kok.
Cuma kaget,” bahkan kalimat sekecil itu pun tetap mengandung nada dingin yang
sangat jelas. Ryan melepaskan Headset yang tersambung ke I-Pod dari telinganya.
Setelah itu tak
ada pembicaraan. Vina berharap Ryan menanyakan sesuatu untuk mengisi
keheningan, tapi tak ada apapun. Ia sudah berusaha menyapa Ryan berulang kali
di sekolah namun selalu mendapat respon yang dingin. Vina jadi ingin tau kenapa
ia bersikap seperti itu.
“Ehmm, kamu
sepertinya nggak suka ya sama aku?” Vina berusaha menarik perhatiannya. Dan
sepertinya berhasil. Ryan langsung menengok ke arah Vina.
“Kenapa kamu
bilang begitu?” tanyanya masih dengan nada dingin. Ryan membuang pandangannya
ke luar jendela.
Vina memandang
lantai bus.
“Kamu selalu
bersikap dingin sama aku dan aku nggak tau apa salahku,” kata-kata itu meluncur
begitu saja. Dan begitu sadar apa yang ia katakan, Vina langsung memandang
Ryan. Ryan tampak berusaha mencari jawaban yang tepat, berusaha keras lebih
tepatnya.
“Aku bersikap
sama dengan semua cewek,” jawaban singkat itu menyadarkan Vina bahwa Ryan
memang sengaja berperilaku dingin pada semua orang terutama cewek. Tapi kenapa?
Kenyataan bahwa Ryan tak ingin merasakan kehadiran cewek membuat Vina kecewa.
“Aku tidak mengerti.
Mereka nggak punya salah apapun kepadamu kuharap, termasuk aku,” Vina berkata
tidak dengan nada mendesak, namun cukup mengganggu Ryan.
“Mungkin hanya
kebiasaan,” jawab Ryan singkat, dingin, dan mengakhiri percakapan.
Keheningan
menyelimuti keduanya selama sisa perjalanan. Vina dapat melihat, bahwa Ryan
berusaha tidur kembali. Wajahnya bukan tipe wajah yang mudah dilupakan jika
diamati lebih jauh. Dari wajah itu Vina seperti merasakan rasa kesepian dan
diabaikan. Dengkuran kecil yang hanya bisa didengar Vina keluar dari mulut
kecil Ryan. Dengkuran itu terasa menenangkan hati.
“Vin, dah mau
sampai,” sebuah suara membangunkannya. Kepalanya terasa agak kaku karena menggantung
di atas pundak kanannya. Nino berdiri di depannya, masih menunggu.
“Tolong dibangunin
ya Ryan. Aku mau ngambilin barang-barangnya Maya yang ada di atas,” tambah Nino
setelah yakin Vina sudah bangun.
Vina bengong
mendengar permintaan Nino.
“Ry, Ryan. Kita
udah mau sampe,” Vina mencoba dengan lembut. Ditepuknya lengan Ryan yang
tertutup jaket.
“Ryan, bangun,”
cobanya lagi dengan lembut. Di tepuknya pergelangan tangan Ryan yang tak
tertutup jaket. Hangat yang tak wajar terasa di tangan Vina. Terlalu hangat
untuk orang sehat. Tangannya masih di atas
tangan Ryan ketika Ryan mendadak bangun. Vina segera menarik tangannya.
Dapat dilihat bahwa Ryan berusaha bangun. Wajahnya terlalu pucat untuk menempuh
perjalanan 4 jam.
“Kamu sakit?”
tanya Vina refleks. Kekhawatiran menyelimuti wajahnya.
Ryan segera
tersadar.
“Nggak,” jawab
Ryan. Wajahnya tetap pucat namun tak bisa menyembunyikan kekerenan. Dengan
cepat Ryan juga keluar dari barisan kursi seperti Vina dan anak lainnya yang
berusaha menurunkan barang dari bagasi kecil di atas. Namun baru saja berdiri
untuk mengambil barangnya, Vina melihat Ryan agak sempoyongan dan segera
berpegangan pada kursi lagi.
Ryan menatapnya
dengan pandangan tak usah ikut campur yang halus. Itulah kali pertama Vina
mendapat perlakuan yang menurutnya halus dari Ryan. Vina berpikir pasti itu
hanya syndrome bangun tidur yang diderita orang setelah tidur terlalu lama atau
terlalu nyenyak.
Sungguh
membosankan semua kegiatan yang diadakan. Ryan hanya duduk dan mendengarkan
seperti yang lainnya juga. Pembagian kamar sudah ditetapkan dan kegiatan
seperti itulah yang akan diberikan sepanjang sisa hari itu. Makan siang dan
malam menjadi ajang ngobrol yang menyenangkan jika mengingat pada waktu lain
hanya bisa duduk dan mendengar.
Ryan tak pernah
menyangka akan ada orang yang menanyakan kewarasannya. Apalagi orang itu cewek.
Segala perilakunya selama ini tak pernah ada yang menanyakan kecuali satu cewek
ini. Dan pertanyaan yang diajukannya tepat mengenai sasaran. Bagaimana ia
sangat tanggap pada keadaan seseorang sungguh membuat Ryan kagum. Ia sudah lama
tak pernah tidur senyenyak itu, karena ia takut akan menghadapi mimpi yang
lebih buruk. Namun suhu badan naik dan pusing tak juga hilang bersamaan dengan
mimpi buruk.
Perhatian yang
diberika Vina membuat Ryan merasa terganggu. Ia tak terbiasa mendapat perhatian
dari orang yang tak dikenalnya, cewek lagi. Hal itu tak bisa ia lupakan.
“Kamu mau
langsung tidur?” Nino bertanya setengah tak percaya ketika jam tidur datang.
“Memang masih
ada acara?” tanya Ryan lebih lunak dari biasanya. Ia harus beristirahat cukup,
apalagi cuaca sangat dingin.
“Tapi bukannya
tadi kamu udah tidur lama banget,” tanya Argha.
“Kalo bisa tidur
ya mending tidur sekarang kan,”
Ryan menjawab dengan mengangkat bahu dan sedikit senyum terlukis di wajahnya.
Ryan tak sadar
bahwa teman-teman sekamarnya agak tak percaya akan sikapnya yang lebih hangat
meski sikap cuek masih kental dalam setiap kata-katanya.
Hari kedua jauh
lebih baik karena terdapat banyak permainan dalam kegiatan. Ryan berhasil
menunjukkan kerjasama yang baik dengan ketiga orang teman sekamarnya dalam
permainan penyelamatan teman. Ketika semua temannya tertangkap, ialah yang mengembalikan
keutuhan dengan mata tertutup dan yang paling terlihat ialah bahwa Ryan sama
sekali tak bicara dalam permainan itu. Meski teman-temannya memuji keahliannya
mendengarkan suara teman sekelompok. Hanya saja sekali Ryan tertawa lepas
setelah permainan karena mendengar lelucon dari Nino. Ryan sendiri merasa lebih
sehat ketika tertawa.
Lelahnya hari
kedua tak berarti banyak, karena lelah hari ini bukan lelah duduk dan mendengar
tapi bermain. Setidaknya itulah yang Vina pikirkan saat malam api unggun
berlangsung. Semuanya berkumpul di halaman luas di belakang villa. Semua masih
membicarakan hari itu. Penyelamatan Ryan dalam salah satu permainan menjadi
salah satu topik yang tak lepas dari setiap mulut.
Acara baru akan
mulai lima
belas menit lagi tapi sebagian sudah siap di pinggir lingkaran. Vina tak
melewatkan apa pun, termasuk tawa lepas yang tak pernah dilihatnya dari wajah
Ryan. Betapa sangat bahagianya wajah Ryan ketika tertawa tadi. Seolah-olah
sudah sangat lama tak ada yang membuatnya tertawa.
Vina merasa
bagaimana dirinya begitu peduli pada Ryan. Wajah cowok itu selalu terlukis di
pikirannya sejak kemarin.
“May, aku ke
kamar mandi dulu ya?” Vina segera beranjak. Sebetulnya setiap kamar ada kamar
mandinya, tapi karena harus buka kunci, Vina merasa tak sanggup maka ia
langsung ke kamar mandi umum dekat kamar para cowok.
Ryan berusaha
menjaga kondisinya setelah kegiatan hari ini. Airlah yang membuatnya was was. Permainan
awal yang menggunakan air lalu dilanjutkan permainan berikutnya tanpa ganti
baju benar-benar petaka. Obat yang biasanya ia abaikan dan hanya minum
seingatnya saja, hari itu ia minum dengan tepat, bahkan yang 2 jam sekali pun
ia minum juga meski tidak terlalu perlu.
“Akhirnya keluar
juga kamu! Cepet udah kebelet nih!” Argha segera masuk kamar mandi dan
mendorong Ryan keluar. Teman-teman yang lain hanya tertawa melihat tingkah
Argha yang konyol. Sementara Ryan sendiri segera duduk di pinggir tempat tidurnya.
Namun sekali
lagi ketika Ryan memikirkan penyakitnya, maka sakit pun datang dan langsung
memeras kepala Ryan. Ryan terlonjak dan berusaha memasang wajah tenang, meski
tak mudah. Maka ia segera mengambil ranselnya dan keluar dari kamar
meninggalkan yang lainnya. Ia berlari ke kamar mandi umum terdekat. Ia tau
bahwa orang-orang sedang berada di kamar masing-masing atau di pinggir api
unggun, maka pasti kamar mandi itu sepi.
Ia segera masuk
ke ruangan dan meletakkan tasnya di lantai di antara pintu-pintu yang terbuka.
“Aaarrrghh….,”
erangnya tak kuasa menahan sakit. Ia masih terus mencari dimana terakhir kali
ia menyimpan obatnya. Baru satu jam yang lalu ketika makan malam berakhir ia
menyimpan obatnya tanpa ada yang tau.
Satu. Ia temukan
satu dari ketiga obatnya. Terus cari, katanya dalam hati. Payah! Gara-gara kontrol
dokter kemarin, obat yang harus diminum jadi tambah banyak, pikirnya. Ryan
meletakkan obat pertamanya di lantai, dan meneruskan mencari. Obat kedua ia
temukan di bagian bawah tasnya. Tangannya gemetar hebat, sehingga obat yang ia
pegang jatuh dan menggelinding menjauhinya. Namun Ryan tak peduli, yang penting
kurang satu obat lagi belum ia temukan. Akhirnya ia membalik tasnya agar semua
isinya keluar. Dan itu dia. Obat ke tiga yang ia cari.
Sakit kepalanya
membuatnya tak bisa berpikir. Ia menyambar obat ke satu dan segera mengambil
obat kedua. Bersama obat ke tiga ia menghampiri wastafel terdekat. Ia telan
semua obat sesuai dosis meski tangannya bergetar hebat. Lalu ia segera
mengambil air dari keran untuk membantu melancarkan penelanan obat.
Setelah itu ia
pun jatuh berbaring di lantai ruang kamar mandi yang dingin. Menunggu hilangnya
rasa sakit. Botol-botol obat ikut terlepas dari tangannya. Terasa amat lama.
Lalu sebuah suara, suara kunci dibuka terdengar, namun berusaha ia abaikan.
“Ryan?” sebuah
suara yang tak ingin didengarnya memanggil. Ia tak ingin mendengar siapa pun.
Ryan menengok
dan melihat Vina berdiri kurang dari 2 meter darinya dan semakin dekat.
“Stop!” sergah
Ryan. Ryan mencoba berdiri. Kepalanya masih ingin pecah meski sudah lebih baik,
sehingga ketika berdiri ia berpegangan pada bibir wastafel dengan kaki gemetar.
Setelah bisa berdiri dengan stabil, Ryan membereskan seluruh isi tasnya beserta
obatnya.
“Untuk apa surat ijin ini?” Vina
berkata sambil membaca surat
itu. Ryan sadar, bahwa yang dipegang Vina adalah surat ijin untuk guru dari dokter tentang apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Rupanya saat ia mengeluarkan isi
tasnya surat
itu terbang lebih jauh dari yang lain. Segera ia menghentikan kegiatannya
membereskan isi tas dan segera menghampiri Vina, dan mengambil surat itu lalu meremas dan
membasahinya hingga hancur.
“Lebih baik kamu
nggak ikut campur!” perintah Ryan kasar.
“Kamu nggak
apa-apa?” tanya Vina mencoba mengabaikan perintah Ryan.
Ryan jatuh
berlutut karena kakinya gemetaran. “Nggak ada yang salah sama aku,” bentak
Ryan. Kepalanya berdenyut dan refleks Ryan memegang kepalanya. Sudah jauh lebih
baik. Ryan segera membereskan sisa isi tasnya dan beranjak pergi.
“Untuk apa
obat-obat itu?” sebuah perntanyaan keluar dari mulut Vina dan membuat Ryan
berhenti melangkah.
“Bukan urusan
yang harus kamu pikirkan,” kata Ryan tanpa membalikkan badan dan ia segera
pergi.
Sepanjang sisa
malam setelah api unggun, Vina duduk di depan laptop dan modem yang ia bawa
dari rumah. Sekali lagi ia mengetikkan kalimat ‘ciri-ciri pecandu’ dan berusaha
mencocokkan dengan apa yang ia lihat di kamar mandi. Vina menduga Ryan adalah
seorang pecandu melihat bagaimana ia tak ingin ada orang yang tau. Minum secara
sembunyi-sembunyi, cocok. Sakau, tampaknya Ryan tadi lebih ke gemetaran
daripada sakau, pikir Vina, jadi tak cocok. Lalu Vina teringat akan surat ijin dari dokter
yang tadi baru dibacanya sedikit.
Baiklah,
akhirnya Vina menyerah dan memilih menunggu perjalanan pulang sebagai saat yang
tepat untuk menginterogasi Ryan. Sungguh tak adil bahwa ia memikirkan Ryan yang
sudah membentak-bentaknya. Meski begitu, Vina tak bisa menyembunyikan
kekhawatirannya. Vina yakin besok Nino akan duduk dengan Maya lagi dan otomatis
tak ada kursi lain selain di tempatnya kemarin.
Vina mematikan
modem dan laptopnya lalu memasukkannya ke tas. Ia tak bisa berhenti memikirkan
apa yang sebenarnya terjadi pada si anak baru. Terlalu misterius. Malam itu ia
berusaha tenang menunggu datangnya pagi, berusaha menepis bayang Ryan dengan
wajah pucat yang dilihatnya.
Keesokan
paginya, acaranya hanyalah berfoto dan berjalan-jalan seputar villa. Vina yang
biasanya menikmati acara foto-foto dimana pun dan kapan pun tampak tak
bersemangat. Dari kejauhan Vina melihat gengnya Rina minta tolong difotokan
dengan pose meloncat dengan setting pemandangan kaki gunung. Jika tidak dalam
keadaan ini pasti ia yang ada di sana.
Akhirnya ia
memutuskan untuk kembali ke bus duluan. Ia menemukan Nino dan Maya sudah duduk
di tempat kemarin ia dan Maya duduk. Ada
juga beberapa orang yang sudah terlalu lelah untuk beraktifitas lebih.
Akhirnya, Vina memilih tempat di bagian tengah. Ia masuk dan duduk dekat
jendela. Ia jadi berpikir, jika Nino disini, dimanakah Ryan? Mungkinkah ia
bersama yang lain? Atau duduk merenung sendirian?
Semalaman sudah
Ryan merenungkan kejadian itu. Ia agak merasa bersalah karena membentak Vina
semalam. Tapi ia tak bisa menyalahkan dirinya juga. Rasa sakit membuatnya lebih
defensif. Amat sangat tidak sopan perbuatan itu pada seorang wanita. Ryan sudah
menyiapkan serangkaian alasan jika akhirnya Vina memilih untuk bertanya. Tapi
ia berharap Vina takkan bertanya.
Duduk di atas
batu dan melihat alam yang belum tentu akan dilihatnya lagi membuatnya tak
ingat waktu. Ketika melihat ke jam tangan, ia sadar lima belas menit lagi bus akan berangkat. Ia
membawa ranselnya dan berjalan ke arah bus di parkir. Tampaknya bus hanya
tinggal menunggu para guru yang masih duduk-duduk di trotoar jalan.
Benar-benar
penuh bus itu. Ia yakin pasti bisa menemukan satu tempat kosong untuknya. Di
bagian belakang, sudah terlalu penuh, begitu juga bagian depan. Namun ia
melihat sebuah kursi kosong dan seseorang duduk di sebelahnya di dekat jendela.
Tak ada pilihan lain maka ia mengambil kursi itu.
Hening. Tak ada
yang memulai bicara. Ryan benar-benar ingin minta maaf akan kekasarannya
kemarin namun tidak berani mengucapkannya.
Setelah bus
berjalan, akhirnya Ryan memutuskan untuk bersikap gentle. Maka ia memandang
Vina.
“Eeehhmmm…… soal
kemarin aku minta maaf,” Ryan berusaha setulus mungkin meski sekarang ia merasa
bahwa nada dingin sudah terikat kuat pada logatnya. “Aku nggak bermaksud
membentak kamu,” selesai. Ryan sudah lega bisa mengucapkannya meski belum
mengetahui apa jawabannya. Lalu ia melempar pandangan ke pemandangan depan bus.
Masih belum ada
jawaban.
“Oke…. Nggak
masalah,” Vina menjawab tulus. “Tapi kamu itu kenapa? Kamu sakit apa?”
pertanyaan itu terdengar tulus.
“Ehm….,” Ryan
sedang menyusun jawaban yang akan dilontarkan. Sekilas ia ingin memberitahu
yang sebenarnya, namun ia tak ingin orang tau bahwa ia lemah lalu merasa
kasihan padanya.
“Ya?” desak
Vina.
“Jika seorang
anak jatuh dari sepeda dan mamanya langsung membawanya ke dokter padahal anak
itu sudah SMA, apa perasaanmu?” sungguh tidak nyaman rasanya harus berbicara
sebanyak itu. Ryan masih memandang ke depan.
“Jadi ini
merupakan masalah mama yang terlalu khawatir?” simpul Vina.
“Begitulah,”
jawab Ryan kembali dingin. Ryan menoleh untuk melihat wajah Vina apa ia percaya
atau tidak. Dan tampaknya ia percaya. Ryan belum pernah benar-benar memandang
wajah Vina. Ketika ia melihat wajah itu, seperti ada pancaran perhatian tulus.
Ryan sangat membenci perhatian semacam itu. Seolah-olah dia itu sangat perlu
pengobatan atau perhatian. Lalu Ryan membuang wajah lagi. Namun wajah itu
sangat tulus dan menentramkan hati.
“Jadi bisa kau
jelaskan untuk apa surat
ijin itu?” selidik Vina lagi.
Ryan mulai sadar
bahwa cewek ini udah cukup tau sampai disini, dan cewek ini harus dibuat
menjauh darinya.
“Hal yang sama
juga,” jawab Ryan dingin. “Aku minta maaf
bukan berarti aku menarik perkataanku,” tambah Ryan lebih dingin.
“Mungkin
seharusnya kau periksa ke dokter secara menyeluruh untuk meyakinkan mamamu,”
sarannya.
“Sudah kubilang
jangan ikut campur!” suara Ryan lebih lembut namun juga tegas. Kata-kata Vina
sangat menyakitkan hatinya, mengingat mamanya sama sekali tak peduli dengannya.
Ryan memandang Vina dengan pandangan memohon. Akhirnya hal itu tak berarti.
“Jadi kamu
sebetulnya sakit apa?” desak Vina.
Ryan tak ingin
bertengkar dengan seorang cewek hanya gara-gara cewek itu terlalu perhatian.
Maka ia segera memposisikan diri untuk tidur, mengabaikan pertanyaan Vina.
“Aku heran.
Setelah kuberitahu yang sebenarnya kau malah berharap lebih. Apa kau berharap
aku ini punya penyakit parah sehingga aku akan mati?” balas Ryan akhirnya untuk
membungkam Vina. Kata-kata itu menyiratkan nada dingin yang amat menyakitkan. Ryan
menatap mata cewek itu dan menangkap perasaan bersalah. Namun ia tidak boleh
menenangkan cewek itu meski keinginan itu begitu kuat. Maka ia pun berusaha
tidur.
Ada perasaan sakit yang
sangat kuat, ketika perhatian yang diberikannya disalah artikan. Vina tak
bermaksud untuk menyinggung perasaan Ryan. Air matanya serasa sampai ingin
keluar. Seharusnya tak begini. Seharusnya ia bisa seperti biasanya, dicuekin,
dimarahin, dituduh oleh siapa pun namun ia tetap membuka mata. Bukan seperti
sekarang, memejamkan mata untuk menahan tangis.
Sekali lagi
dengkuran kecil keluar dari mulut kecil Ryan dan menenangkan hati Vina.
Perjalanan kali ini terasa lebih lama karena ia tak bisa tidur, namun cukup
nyaman bisa mengamati Ryan tidur. Ada
kebahagiaan tersendiri melihat Ryan tidur begitu damai.
Sebagian besar
anak turun di pinggir jalan dekat rumah mereka sehingga saat sampai di sekolah
tak banyak yang tersisa. Vina dan Ryan termasuk diantaranya. Kali ini Ryan
bangun dengan sendirinya dan segera mengambil barangnya yang ada di bagasi
atas. Biar bagaimanapun ia adalah seorang lelaki, maka ia menurunkan juga tas
ransel Vina yang ternyata lebih berat dari miliknya tanpa sepatah kata pun.
Setelah itu Ryan segera turun, meinggalkan Vina yang terheran-heran melihat
kesopanan Ryan.
Vina segera
turun, takut mamanya mengomel karena kelamaan menunggu. Masih ada empat orang, lima termasuk dirinya dan
… Ryan yang belum dijemput. Ketiga orang memutuskan untuk ke kamar mandi
sekolah sebentar ketika sebuah mobil Kijang Innova hitam datang dan berhenti di
depan Ryan.
Perhatian Vina
terserap penuh ke mobil itu.
Akhirnya mobil
yang ditunggunya datang juga. Ryan sudah ingin pulang ke rumah. Terlalu banyak
kebohongan yang dikatakannya dalam 3 hari terakhir, dan itu sangat
mengganggunya. Ia sama sekali tak ingin berbohong pada Vina, dan entah mengapa
rasa ingin jujur begitu kuat menderanya jika ia berada di dekat Vina.
Ryan heran
karena Pak Azman membawa mobil yang besar bukan yang lebih kecil seperti
biasanya. Mobil itu berhenti di depannya. Pintu tengahnya dibuka dari dalam dan
Ryan melepas ranselnya agar bisa masuk ke duluan ke mobil bagian belakang. Ia
meletakkan ranselnya ke dalam, ada kak Nikky di dalam yang memindahkan
ranselnya ke bagasi. Baru satu kaki naik di mobil, Ryan menyadari sesuatu yang
membuatnya menurunkan kaki lagi.
“Ayo pulang,
Ry!” akhirnya suara itu muncul juga. Terdengar dari jok depan mobil.
“Kapan mama
pulang?” tanya Ryan dari luar, dengan nada yang benar-benar dingin. Matanya
memandang kakaknya yang duduk di kursi tengah dengan pandangan menuduh. Kakinya
yang sudah naik tadi ia turunkan lagi.
“Udah Ry, ada
banyak orang disini!” Nikky menengahi. Jika bukan karena ada orang disekitar
Ryan pasti lebih memilih lari daripada naik mobil.
Ryan segera
masuk mobil dengan muka marah. Sepanjang perjalanan tak ada yang berusaha
memecah keheningan. Semuanya sudah menduga akan ekspresi Ryan. Tak ada yang
mengharapkan lebih baik dari itu.
Sesampainya di
rumah, Ryan langsung masuk kamar. Ia membereskan sisa-sisa kehidupannya di
Dieng, dan selebihnya ia mengurung diri di kamar.
Keadaan yang
sebelum ia berangkat tampak sangat menyenangkan kini berubah drastis bukan
hanya di sekolah yang kini ada seseorang dan itu cewek yang berusaha
memperhatikan hidupnya. Dan di rumah, mama pulang. Hidup macam apa yang
menunggunya esok?
“Ry, Kakak masuk
ya?” terdengar suara Nikky setelah ketukan di pintu. Ryan tetap tak menjawab,
hanya duduk diam di lantai sambil bersandar di tempat tidur. Ia tampak tak suka
ada yang mengganggu. Kakaknya masuk dan membiarkan pintu terbuka.
“Ryan, kakak
nggak kuat bohong lagi. Apalagi ini menyangkut hidup kamu,” suara itu terdengar
sangat tulus. “Kakak sama mama nggak ingin kehilangan lagi,” kata-kata tampak
belum selesai. Ryan merasa ada yang disembunyikan dibalik kalimat itu.
Ryan tetap diam.
Berusaha kembali ke lamunannya.
“Ryan, mama
sayang sama kamu nak,” suara mamanya terdengar memecah keheningan. Suara yang
sangat dirindukan sekaligus tak ingin didengar Ryan. Ryan menoleh sedikit meski
tak memandang mamanya.
“Mama rasa
inilah saatnya, kamu tau sesuatu, sesuatu yang mungkin akan membuat kamu
kecewa,” suara mamanya bergetar seperti mengenang sesuatu yang sangat
menyedihkan.
“Kami nggak
pernah cerita karena kami ingin kamu hidup tanpa beban, nak,” tambahnya lagi.
Suaranya terdengar seperti sedang menangis. Ryan tetap diam, tapi Nikky dan
mamanya tau kalau Ryan mendengarkan.
“Papa
meninggal….,” Ryan agak terkejut. Dari sekian banyak kenangan pahit kenapa ini
yang dipilih. “Papa itu meninggal karena sakit, sakit parah. Sungguh saat itu
mama nggak mampu berbuat apa-apa untuk papamu,” mamanya tampak tak kuat
menyelesaikan cerita itu.
“Ryan…,” giliran
kakaknya meneruskan “Papa meninggal karena penyakit, penyakit leukemia,
penyakit yang kami nggak tau bahwa penyakit itu juga, juga kamu miliki,”
kakaknya berusaha keras menyelesaikan cerita itu.
“Maafin mama,
sayang,” kata mamanya tulus. “Kami sungguh tak ingin membuatmu tak tau apapun.”
Benar-benar
menyakitkan bagaimana lamanya ia tak tau apapun dan kini penyakit yang sama
juga mengobrak-abrik tubuhnya.
“Tapi kenapa
begitu lama?” Ryan bertanya menahan marah mencoba mencari kejelasan.
Tak ada yang
menjawab. Ryan tampak sangat terpukul atas kenyataan itu. Mamanya menghela
nafas kemudian menjawab.
“Penyakit itu
hanya bisa disembuhkan dengan pencangkokan sumsum tulang belakang,” katanya
sudah lebih tenang. “Semua kakak, adik papamu check ke dokter untuk melihat
kecocokan. Ingatkah kamu ketika bersama papa kita sekeluarga pergi ke dokter
untuk terakhir kalinya?” suara mamanya terdengar sangat sedih. “Kita juga ikut
check. Dan setelah itu dokter mengumumkan
ada satu hasil yang cocok dengan papa… semua bersorak gembira termasuk
papamu. Senyum yang sempat hilang terpasang lagi di wajahnya,” mamanya kembali
berhenti.
Ryan merasa kini
mereka sudah sampai pada alasan utama.
“Nggak ada yang
percaya pada hasil itu, senyum papamu hanya bertahan sebentar,” mamanya mulai
menangis. “Tak ada yang mengira hasil itu positif ada di kamu Ry,” suara
mamanya menghilang.
“Tapi papa nggak
mau mengganggu pertumbuhan kamu. Anak lelaki yang disayanginya. Operasi itu
terlalu berbahaya untuk umur kamu saat itu,” Nikky meneruskan bagiannya.
Nadanya datar tanpa emosi.
Dan semuanya
menjadi jelas mengapa itu dirahasiakan. Hati Ryan sakit sekali ketika mendengar
itu. Tentu saja tak ada yang mengira hasil positifnya ada di tangan seorang
anak kecil yang tak tau apapun. Dan papa lebih memilih menikmati penyakitnya
daripada mengambil sesuatu yang pasti akan membuat Ryan lebih lemah. Mendengar
hal itu saat ini benar-benar membuatnya begitu sakit. Dan akan lebih sakit lagi
jika didengar oleh anak kecil polos yang baru berusia tujuh tahun.
Lalu Ryan
menyadari sesuatu. Sesuatu yang memang akan terjadi.
“Kalau begitu,
semua sudah jelas,” suara Ryan terdengar bergetar. “Aku juga hanya tinggal
menunggu waktu seperti yang juga papa lakukan,” suaranya benar-benar putus asa.
“Nak, ini belum
berakhir,” suara mamanya dipenuhi harapan. “Beristirahatlah hari Minggu besok
dan hari Seninnya mama sudah memesan jadwal untuk kita check agar kamu bisa hidup
lebih lama. Masih ada kesempatan,” mamanya benar-benar berharap.
‘Masih ada
kesempatan’ kata-kata tak berhenti mengganggu pikiran dan hatinya. Omong
kosong, batin Ryan. Papanya tak melakukan hal yang membahayakan orang yang
dicintainya, begitu juga aku. Jika ia masih boleh melihat hari esok biarlah ia
melihatnya tanpa perlu ada yang berkorban, bahkan jika memang hidupnya harus
berakhir biarlah itu berakhir tanpa menyeret orang lain ke dalam penyakitnya.
Hari minggu
sekali lagi sakit itu mengganggunya. Ketika akan meminum obat itu, sesuatu
menetes ke dalam gelas. Darahnya yang lain segera mengalir dari hidungnya
diselingi sakit kepala. Ryan langsung mengusap darah dengan lengan kaosnya,
namun tetap mengalir. Akhirnya ia menelan obat itu dengan air bercampur darah
dan segera berbaring. Menunggu berhentinya darah mengalir. Ia tak suka
menyadari bahwa dirinya sekarang hanya seonggok makanan bagi penyakit semakin
berjaya penuh kemenangan.
Tak ada yang
perlu tau apa yang terjadi hari itu. Hanya sekali sehingga tak perlu dicemaskan,
pikir Ryan. Biar bagaimanapun ia tak ingin membuat kakak atau mamanya cemas
lagi. Ia sudah cukup merepotkan.
Ryan sudah
menyiapkan surat
ijin sakit untuk sekolah. Teman-temannya pasti menganggapnya mudah sakit, namun
itulah kenyataannya. Maka sebelum ke rumah sakit, Pak Asman disuruh mengantar surat dulu ke sekolahnya.
Di mobil tak ada
yang mencoba berbicara. Kak Nikky dan gelisah dengan keadaan diam, sama juga
dengan mama, namun Ryan sendiri merasa nyaman dengan kesunyian ini. Ryan merasa
agak dingin hari itu, maka ia memakai kaos lengan panjang dan celana jins.
Pemeriksaan
benar-benar lama dan menegangkan. Dokter yang memeriksa sepertinya tidak
berharap banyak atas hasil tes itu seperti Ryan. Tidak seperti mama yang sangat
berharap. Baru jam dua mereka sampai di rumah.
Entah ada acara
apa, tapi ada enam motor yang tidak dikenalnya diparkir di depan teras
rumahnya. Lalu, tiba-tiba bibi keluar.
“Den Ryan, itu
ada temannya datang mau menengok,” bibi menjelaskan.
“Arrrggh…,”
erang Ryan. Ia tidak suka dengan keadaan diharuskan banyak ngomong. Namun
sebaliknya dengan mamanya. Wajahnya yang sudah pucat pun bertambah pucat.
“Wah…
temen-temen baru kamu baik ya! Ayo, masuk!” kata mama ketika melihat aku
berhenti masuk ke dalam rumah.
Ryan pun
melangkah. Dan tentu saja. Sepuluh orang datang dan memenuhi ruang tamu. Dan
kemudian Ryan merasa tau siapa tau yang mencetuskan ide menengok dirinya.
Ketika sampai,
Vina merasa salah rumah. Tak mungkin juga guru memberi alamat yang salah.
Rumahnya sangat sepi. Lalu Nino menekan bel di pojok gerbang dan tak lama
seorang yang sepertinya merupakan pembantu membukakan pintu. Ia tampak terkejut
melihat banyaknya orang yang berdiri di luar pagarnya seperti mau demo.
“Mau cari siapa
ya?” tanyanya sopan.
“Kami
teman-temannya Ryan ingin menengoknya,” Nino memberi penjelasan.
“Silahkan, tapi
den Ryan lagi pergi sebentar. Sebentar lagi pulang katanya,” kata bibi langsung
membuka gerbang.
Semua anak
disuruh masuk dan duduk di ruang tamu. Vina merasa bahwa rumah ini sempat tak
ada penghuninya kecuali para pembantu untuk beberapa lama. Rumah ini terlalu
sunyi dan sangat besar.
Tak sampai satu
menit mereka duduk, ada suara klakson mobil. Pembantu tadi yang baru saja masuk
segera keluar lagi. Terdengar mobil masuk dan pintu ditutup. Lalu Ryan masuk ke
dalam. Vina melihat wajahnya pucat meski begitu mama Ryan muncul di belakangnya
dengan senyum manis yang khas dari para ibu-ibu yang memanjakan anaknya.
Kemudian secara
tak sengaja Vina menatap Ryan yang menatapnya dengan pandangan menuduh. Vina
yakin Ryan sudah mengira bahwa ia yang mencetuskan ide menengoknya. Sepanjang
hari Minggu kemarin ia tak bisa berhenti memikirkannya, dan kemudian hari ini
dia mendengar Ryan tidak masuk.
Ryan benar-benar
terlihat keren meski wajahnya pucat. Kaos lengan panjangnya terlihat sangat pas
di tubuhnya yang terlihat, terlihat lebih kurus. Ryan duduk di sofa berlengan
untuk satu orang.
“Permisi tante,”
beberapa orang berbicara bersama pada mama Ryan termasuk Vina.
“O, ya silahkan.
Mau minum apa?” mama menawarkan. Namun belum sempat menjawab bibi sudah
membawakan senampan gelas penuh es sirup. “Sudah lama ya?” tebak mama Ryan.
“Belum kok
tante,” kali ini Vina menjawab refleks.
“Baru aja
datang,” Maya yang baru jadian sama Nino melanjutkan.
“Ya udah tante
masuk dulu ya,” pamitan itu hanya dibalas dengan anggukan dan senyum.
Kemudian seorang
cewek cantik masuk dan tersenyum sambil mengangguk dan langsung masuk ke dalam.
Vina merasa tidak suka melihat cewek itu disini. Apalagi sebelum masuk, dia
menepuk pundak Ryan dengan sangat bersahabat. Seolah-olah belum pernah diberi
sikap dingin oleh Ryan.
“Kamu sakit
apa?” tanya Nino memulai.
“Cuma radang tenggorokan,” jawab Ryan singkat
berusaha menghilangkan sikap dinginnya meski tak bisa.
“Oya, sebulan
lagi kan
ulang tahun sekolah. Ada
pesta dansanya. Kamu ikut ya?” tanya Nino.
“Hah? Kok pesta
dansa?” tanya Ryan mencoba terlihat tertarik. Vina yang melihatnya, ingin
segera pulang.
“Jadi setiap dua
tahun sekali pesta dansa diadakan sedangkan tahun depannya diadakan bazaar,”
suara Maya memberikan penjelasan.
”Gratis kok,”
Argha menambahkan. Biar bagaimanapun Vina dan kawan-kawan sudah berencana akan
membuat Ryan datang.
“Ya nanti aku
lihat dulu. Aku nggak bisa datang kalo ada kerjaan di rumah yang belum
selesai,” Vina dapat merasakan keraguan dalam kalimat itu.
Lalu Mama Ryan
datang membawa stoples-stoples makanan dan cemilan.
“Eh, ayo diminum
lho!” ajak mamanya. “Ryan pasti dateng,” mamanya memastikan. “Ya kan, Ry?”
Ryan memutar
matanya, menganggap itu hanyalah janji konyol.
“Makasih tante,”
Nino terlihat sangat senang.
Mamanya Ryan
kembali ke dalam.
“Ini brosurnya.
Harus pakai tuksedo jangan pake jeans ya…. Ini tahun terakhir kita sekolah!
Makanya kamu harus dateng,” Argha juga bersemangat menunjukkan brosurnya.
Sementara Vina mengamati bahwa ketika Argha berbicara Ryan kembali melamun.
Ryan hanya
mengangguk. Teman-teman yang lain asyik ngobrol sendiri dan mereka menikmati
hidangan yang telah di keluarkan. Vina benar-benar merasa bingung pada
teman-temannya kerjanya hanya makan saja. Sepuluh menit kemudian, Vina mengajak
mereka pulang dan menyuruh Nino berpamitan.
“Ry, kayanya
kamu nggak papa deh, jadi kami pulang dulu ya,” katanya mencoba bergurau. Namun
Ryan hanya tersenyum kecil.
Ryan mengantar
mereka ke teras tempat motor mereka diparkir. Vina beranjak ke motornya. Vina
melihat Ryan menghilang di ruangan yang sepertinya merupakan garasi.
“Vin, ban kamu
kayanya agak kempes tuh,” Maya membuyarkan lamunannya.
“Hah?” Vina
melihat ke bannya dan kemudian. “Tapi kayanya nggak bocor kok. Yang penting
masih bisa sampe rumah,” Vina merasa tidak yakin dengan perkataannya sendiri.
“Kayanya emang
nggak bocor. Tapi lebih baik dipompa dulu aja,” Argha menyahut.
Lalu Ryan muncul
dari garasi membawa pompa yang sepertinya sudah lama tidak digunakan.
“Sini aku
pompain dulu,” Ryan berkata tanpa memandang Vina dan langsung mendekat ke ban
belakang yang kempes.
Vina mundur dari
motornya. Membiarkan Ryan menstandarkan motornya pada standar tengah dengan
mudahnya. Beberapa langsung pulang, tanpa menunggu Vina. Hanya tinggal Nino,
Maya, dan Argha yang menunggunya. Nino bersama Maya dan Argha membawa motor
sendiri. Ryan dengan mudahnya memompa ban itu, sesekali ia memegang untuk
merasakan ban sudah cukup keras atau belum.
Ryan kembali
menstandarakan motor ke keadaan semula, tak lupa diputar dulu motor Vina agar
mudah keluar pagar. Perasaan Vina benar-benar kacau. Ia senang Ryan
memperhatikannya, motornya setidaknya.
“Ryan, ban
mobilnya sekalian tuh,” cewek tadi yang masuk ke rumah ternyata duduk di teras
sejak tadi dan mengamati kerja Ryan.
“Apaan sih,
Kak?” Ryan berkata dingin. Tapi
nampaknya nada dingin yang tersirat sama sekali tak mengganggu cewek itu. Ada perasaan lega ketika
Ryan memanggil cewek itu dengan ‘Kak’. Nino, Maya dan Argha hanya ketawa
menanggapi permintaan cewek itu pada Ryan.
“Udah, nih,”
kata Ryan pada Vina sambil tetap menatap motornya. Dari caranya bekerja
barusan, Vina sama sekali tak melihat bahwa Ryan sakit.
“Thanks ya,”
Vina berkata malu-malu dan segera naik ke motornya. Yang lain segera menstarter
motornya, begitu juga Vina. Mereka segera pergi, tak ingin mengganggu tuan
rumah yang tampaknya tak suka diganggu. Perasaan bahagia yang tak bisa
dijelaskan mengganggu Vina sepanjang perjalanan.
Ryan meletakkan
pompa itu di garasi kembali lalu masuk ke rumah. Kakaknya memandangnya sambil
tersenyum penuh arti. Ryan yang malas menanggapi kakaknya, segera masuk kamar.
“Ry, kamu naksir
ya sama cewek tadi?” kakaknya langsung menuduh seenaknya.
“Hah?” hanya itu
respon Ryan lalu geleng-geleng. Ia berbaring di tempat tidurnya. Ia sama sekali
tak menyangka apa yang dilakukannya tadi menimbulkan pikiran aneh di kakaknya.
Kak Nikky pun keluar karena tak mendapat jawaban masih sambil senyum-senyum.
Ryan sama sekali
tak mengerti tentang tindakan refleknya tadi ketika melihat salah satu ban
motor yang ternyata motor Vina kempes. Ia sedang tak ingin jatuh cinta. Ia
benar-benar takut jatuh cinta. Entah mengapa ia senang mendapat ucapan
terimakasih dari Vina. Seharusnya ia tetap dingin seperti biasa dan membiarkan
mereka berlalu seperti sebuah film. Namun ada perasaan yang menginginkan Vina
untuk mengingatnya, mengenalnya setidaknya.
Tak banyak yang
bisa dilakukan hari itu. Menyiapkan untuk sekolah adalah hal yang paling bisa
menyibukkan pikirannya saat ini. Hatinya gelisah memikirkan hasil tes darah
siang tadi. Dan kemudian sekali lagi ia menyadari sesuatu yang harusnya ia
sadari.
Jika hanya ia
yang cocok dengan almarhum papanya, maka akankah ada yang cocok dengannya.
Sangat kecil kemungkinan ini. Hal ini kembali memukulnya mundur, semakin
mengikis harapannya yang hanya tinggal mimpi.
Paginya Ryan
terbangun, wajahnya pucat dan badannya hangat.
Mamanya mencoba
membujuknya untuk tidak sekolah, namun Ryan menolak.
“Aku lebih suka
menghabiskan sisa waktuku di sekolah daripada menunggu di rumah,” kata-kata itu
menyakitkan hati mamanya. Kakaknya yang mendengar itu hanya geleng-geleng
kepala.
Ryan menikmati
perjalanannya ke sekolah dan berniat datang ketika bel berbunyi. Namun
seberapapun lamanya ia menghabiskan waktu di jalan, ia tetap sampai lebih cepat
karena berangkat lebih pagi. Motornya ia parkir di tempat terjauh agar bisa
menghabiskan waktu lama untuk berjalan ke kelasnya.
Ryan benci
dipandangi oleh cewek-cewek ketika ia lewat. Sangat tidak sopan. Namun
keberuntungan tak dipihaknya.
“Ryan, kamu ikut
ke pesta dansa kan?”
Rina memegang pundaknya dari belakang seolah sudah kenal cukup lama.
Pengikutnya baru tiga orang, tampaknya belum banyak yang datang.
Ryan hanya
mengangkat bahu. Namun Rina tidak juga menyerah.
“Udah tau mau
berangkat sama siapa?” tanyanya mencoba menarik perhatian Ryan.
Ryan benar-benar
risih. Maka akhirnya ia mengatakan sesuatu yang tidak diharapkan Rina.
“Udah,” jawab
Ryan dengan nada dingin amat jelas tertera. Rina langsung berhenti bicara
seolah ada sepatu yang dijejalkan ke mulutnya.
Ryan meneruskan
ke kelas dan duduk diam. Lebih banyak melamun. Ia tak menyukai kenyataan bahwa
ada pesta dansa yang menunggunya. Tapi akankah ia sanggup bertahan hingga saat
itu. Hasil yang ditunggu baru bisa dilihat besok.
Pelajaran hari
itu terasa cepat. Ia segera mengambil motornya. Rupanya belum ada yang
mengambil motor, maka Ryan segera memanfaatkan kesempatan itu dan pergi. Ketika
melewati pintu ia melihat Vina sedang berjalan bersama Maya. Ada dorongan untuk menyapanya namun tak jadi
ia lakukan. Pandangan matanya sempat dilihat Vina dan Ryan segera memacu
motornya keluar.
Apa yang
dilakukannya sekarang hanya menunggu datangnya sesuatu yang tak pernah ia
harapkan. Apa begini juga perasaan papa saat itu? Sedih mengetahui apa yang
menunggunya di depan, sedih mengetahui waktu yang ada untuk bersama-sama sangat
terbatas.
“Bu, ini adalah
hasil pemeriksaan kemarin,” dokter itu membuka amplop coklat dan mengeluarkan
beberapa lembar kertas. Ruangan dokter itu benar-benar menyiratkan kesunyian
yang mencekam.
Ryan sudah tau
apa yang ada di dalamnya. Sangat kecil kemungkinan cocok.
“Berdasarkan kecocokan
ibu dan saudari Nikky, pada saudara Ryan,” Ryan memandang bagian bawah meja
dokter. Ia tak ingin melihat kakak dan mamanya ketika mengetahui hasil
pemeriksaan yang sia-sia itu. Ia sudah melihat gambaran wajah penuh harap dari
mama dan kak Nikky, betapa itu tak berguna. Harapan kosong. Jika bisa ia ingin
biar ia saja yang mendengar hasil itu dan membiarkan mama tetap berharap dari
pada harus mengakhiri harapan mamanya.
“Maaf bu, tapi
hasilnya negatif,” dokter berkata penuh sesal. Seketika itu mama berteriak
histeris.
“Dokter bohong!
Kenapa dokter bohong?” Nikky langsung menenangkan mamanya meski air mata mengalir
deras dari matanya.
“Udah ma, udah,”
kata-kata Nikky dibalik tangisannya. “Kita pulang yuk! Ayo, ma!” ajak Nikky.
Ryan masih memandang bawah dan segera berdiri agar cepat pulang. Nikky menuntun
mamanya sendirian.
Meski sudah tau
hasilnya tidak mungkin cocok rasanya tetap menyakitkan. Mengetahui benar-benar
tak ada harapan untuk dirinya. Di mobil pun Ryan diam saja. Matanya memandang
kosong penuh putus asa yang tercetak jelas di wajahnya. Mamanya duduk lemas
masih terus menangis. Ryan benar-benar kehabisan kata-kata untuk menikmati
harinya esok.
Ryan mengunci
diri di kamar. Sempat ia berpikir untuk mati lebih cepat, namun itu hanya akan
menambah sedih kakak dan mamanya. Ia tak tau kepada siapa harus bercerita akan
hal ini. Kenyataan ini terlalu berat. Keputus asaan terlalu melingkupi
hidupnya. Dimanakah ia berada sekarang? Dimanakah dia harus berdiri untuk
menahan kenyataan ini?
Seminggu penuh
Ryan berhenti berbicara. Ia takut jika sekali ia berbicara maka semua bebannya
akan tumpah. Melihat teman-temannya tersenyum, tertawa menikmati dunia, ingin
ia berteriak akan ketidakadilan hidup yang ia dapatkan. Di sekolah Nino yang
paling sering mengobrol dengannya hanya dibalasnya dengan bahasa tubuh.
Ryan benci
melihat pandangan Vina yang penuh perhatian yang sangat diinginkannya. Ia harus
menghentikan ini sekarang. Ia tak ingin Vina berpaling, namun ia juga tak ingin
Vina merasa sedih. Ujian terbesarnya saat ini adalah menjauhkan orang-orang
yang mulai dekat dengannya. Ryan tak ingin perasaannya pada Vina menjadi alasan
untuk menumpahkan seluruh bebannya.
Pulang sekolah
ia duduk di tangga dekat parkiran motor, menunggu Vina keluar. Ryan tak ingin
ada sesuatu diantara mereka yang akan menjadi alasan yang menyakitkan ketika
harus ia tinggalkan. Satu jam ia menunggu dalam lamunan, namun Vina tak kunjung
keluar. Namun kemudian ia mendengar langkah kaki dan seseorang memegang
pundaknya.
Vina lega karena
akhirnya tugas kelompok yang baru saja ia lakukan sudah selesai. Ia menuruni
tangga menuju parkiran motor dan melihat hanya tinggal beberapa motor teronggok
di sana. Vina
baru sadar, di bagian bawah tangga, duduk seseorang yang sejak beberapa hari
lalu tak bisa lepas dari pikirannya.
Vina memegang
pundaknya. Dia hanya bergerak sedikit dan segera berdiri. Vina sudah mendengar
bahwa beberapa hari ini Ryan sama sekali tak bicara. Namun ia tak mengerti apa
yang dilakukannya siang bolong begini, sendirian di parkiran motor. Keadaan
benar-benar sepi. Ryan menoleh dan menatapnya, tatapan dingin tapi tersirat
pandangan memohon.
“Ryan, kamu
ngapain disini?” Vina mencoba bertanya. Ia tak berharap ada jawaban karena Ryan
sudah beberapa hari tak bicara. Namun kenyataan ia sangat peduli pada Ryan
membuatnya ingin tau apa yang dirasakan cowok ini.
“Ehhmm, Vin…,”
nadanya yang dingin tak dapat menyembunyikan bukti bahwa ia memang sudah
beberapa hari tak bicara. Suaranya agak serak.
“Ya?” Vina
benar-benar tak mengerti. Cowok yang paling anti diganggu apalagi sama cewek,
kini berdiri di depannya. Vina menebak Ryan sudah duduk di sini sejak pulang
sekolah tadi, dan dilihat dari sikapnya, Ryan menunggu dirinya.
“Vin, jatuh
cinta itu menyenangkan tapi akan menyakitkan jika terpaksa meninggalkannya.
Tapi lebih baik meninggalkannya untuk seseorang yang lebih baik,” perkataan
panjang keluar dari mulut Ryan. Datar, tanpa ekspresi, namun tetap dingin.
Matanya memandang ke parkiran motor.
Vina berpindah
berdiri di sebelah Ryan. Ia tidak mengerti apa maksudnya.
“Kenapa kamu
ngomong begitu?” mendadak Vina merasa dia seharusnya tau apa yang sedang
dibicarakan Ryan.
“Aku hanya
merasa ada yang mengganggu perasaanku dan berharap ada seseorang yang melakukan
perkataanku itu untukku,” kata-kata yang dengan ragu dikatakannya itu tak
melenyapkan nada dingin. “Entah mengapa aku merasa nggak pantas jatuh cinta,”
kata-kata terakhir itu diucapkan Ryan dengan pelan namun jelas sambil melangkah
perlahan menuju motornya.
Tak butuh waktu
lama untuk Vina menyadari hal itu. Vina sadar selama ini ia telah jatuh cinta
pada Ryan. Dan ia baru saja mengetahui hal ini, sedangkan Ryan yang sudah
mengetahuinya, merasakannya lebih dulu tak ingin Vina menyukainya. Entah apa
alasannya. Vina segera mengejar Ryan. Ia memegang bahu Ryan dan membalikkan
badan Ryan menghadapnya.
“Semua orang
berhak jatuh cinta. Aku mau jatuh cinta sama siapa itu urusan aku,” Vina
berkata dengan tenang menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia memandang mata
Ryan yang terpejam.
“Dan nggak ada
yang melarang kamu jatuh cinta,” jawab Ryan lembut. Semua nada dingin, kaku,
cueknya hilang. Vina terkejut mendengarnya. Ryan membuka matanya dan memandang
Vina.
“Dan nggak ada
yang melarang kamu juga,” Vina menegaskan. Air matanya mengalir.
“Hey, please…
jangan nangis,” Ryan mengusap air mata yang mengalir di pipi Vina dengan
punggung tangannya. Pandangannya begitu menentramkan. “Buat aku jatuh cinta
terlalu berharga jika hanya untuk ditinggalkan,” nadanya begitu lembut dan
menenangkan.
Setelah itu Ryan
berbalik dan meninggalkan Vina di parkiran motor sendirian. Vina melihat Ryan
pergi tanpa menatapnya lagi dari atas motornya.
Apa maksudnya
nggak pantas jatuh cinta? Apa salahnya sampai Ryan harus mengucapkan kata
penolakan bahkan sebelum Vina sadar ia jatuh cinta? Kenapa Ryan tak
membiarkannya menikmati sejenak perasaan yang seharusnya sangat indah ini?
Hatinya memang
sakit tapi ada hal yang menyebabkan Ryan mengatakan dia nggak pantas jatuh
cinta. Dan kenyataan bahwa Ryan bisa menjadi sangat lembut benar-benar
mengganggunya. Kenapa ia menyembunyikan dirinya selama ini?
Disinilah semua
harapannya habis. Habis sebelum sempat ia sadari bahwa ia memiliki harapan itu.
Hilang dan menyisakan dirinya ditinggal di tempat yang tak kan pernah terlupa.
Ryan ingin
kembali dan menarik semua omongannya. Ia sadar, kini ia telah terlanjur jatuh
cinta. Benar-benar sakit harus meninggalkan cinta ini bahkan sebelum ia
menyadarinya, meninggalkan orang yang disayanginya sendirian dengan hati
hancur. Melihatnya menangis membuat Ryan kembali menjadi Ryan yang perhatian
dan lembut. Tapi itu yang terbaik. Ryan tak ingin, orang yang dicintainya
menangis di depan tubuhnya esok.
Ia sampai di
rumahnya dan langsung terjatuh dari motor karena sakit kepala itu datang lagi.
Ryan melepas helmnya dan mengerang kesakitan. Separuh badannya di bawah motor,
tapi rasa sakit di kepalanya jauh lebih sakit.
Suara gaduh
motor jatuh membuat mamanya keluar dan mendapati Ryan tengah memegang kepalanya
sambil mengerang kesakitan.
“Pak Asman,
Nikky, tolong! Cepat!” mamanya segera menghampiri Ryan sambil meminta tolong.
Nikky datang,
begitu melihat Ryan, ia segera kembali ke dalam. Pak Asman segera membangunkan
motor yang menindih separuh badan Ryan dan menjauhkannya. Nikky datang dengan
membawa obat dan segelas air putih.
“Pak Asman,
siapin mobil! Kita ke rumah sakit sekarang,” perintah mama penuh cemas.
Ryan meminum
obat yang dibawa Nikky bersamaan dengan mengalirnya darah dari hidungnya.
“Ma!” Nikky
histeris melihat adiknya mimisan.
“Ryan!” mamanya
memanggil Ryan yang masih memegang kepalanya. Kemudian Ryan mulai agak tenang,
namun tangannya segera terjatuh ke lantai teras tempatnya jatuh. Lalu Ryan
merasa semuanya menjadi gelap.
Semuanya gelap,
tak berujung, hingga kemudian ia mendengar namanya dipanggil. Ryan mulai membuka matanya perlahan. Ia
merasakan sesuatu menempel di wajah dan tangannya.
“Ryan!” mamanya
memanggil. “Mama disini nak.”
Ryan memandangi
sekeliling dan bisa mencium aroma rumah sakit yang khas. Wajahnya dipasangi
masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Aroma rumah sakit sangat
kentara dari masker yang dipakainya. Ryan mengangkat tangan kirinya dan melihat
infus dipasang. Merasa cukup kuat untuk bisa bernafas, Ryan melepas maskernya.
“Gimana rasanya,
nak?” mamanya bertanya khawatir.
“Aku nggak apa-apa
kok,” jawab Ryan lemah.
“Nikky, panggil
dokter ya,” Ryan tidak mendengar jawaban Nikky tapi ia melihat Nikky pergi.
Semua
benar-benar diluar kendali. Ryan tak mengerti bagaimana mungkin bisa selemah
ini dirinya.
Lalu ia
mendengar pintu dibuka. Dokter masuk ditemani Nikky dan seorang suster. Dokter
itu menyenteri kedua mata Ryan dan menggunakan stetoskopnya. Setelah itu ia
mengecek tekanan darah Ryan.
“Semuanya sudah
jauh lebih baik. Jika besok pagi kondisinya tetap stabil, besok dia bisa pulang.
Permisi,” kata dokter itu singkat.
“Terimakasih,
dok,” kata mama tulus.
“Berapa lama aku
pingsan?” Ryan bertanya menyadari hari sepertinya sudah berganti.
“Cuma dua hari
kok,” kak Nikky menjawab penuh canda.
“Jangan bohong
napa sih?” Ryan mulai jengkel.
“Eh nggak
percaya ya ni anak. . . . kamu sih tidur
terus. Nggak liat ada sirkus sapi loncat kan?!”
candanya.
“Kakakmu bener.
Dua hari kamu nggak sadar,” mamanya membenarkan. Matanya bengkak karena
menangis terus.
Ingatannya
kembali ke dua hari yang lalu saat ia terjatuh dari motor. Apa yang telah ia
lakukan saat itu benar-benar ia sesali. Tapi apa yang Vina katakan di sana membuktikan bahwa
dugaan Ryan benar. Biarlah semua sakit ia yang menanggung daripada melihat
orang yang disayanginya menderita dan sedih. Mengingat kejadian itu membuat
Ryan merasa semakin kehilangan.
“Kata dokter,
kamu nggak boleh banyak pikiran dulu, itu bisa memperparah keadaan kamu,”
mamanya memberi nasehat karena melihat Ryan sedang berpikir.
Ryan diam saja.
Ia tak suka merasa lemah. Bahkan untuk berjalan pun harus sekuat tenaga.
Ketika tiba di
rumah, mamanya bahkan telah menyiapkan kursi roda untuknya. Ryan memandang
mamanya tak percaya. Kemudian berjalan tertatih-tatih menuju ke kamarnya,
meninggalkan mamanya bersama kursi roda. Sepanjang sisa hari itu Ryan hanya
tidur, karena badannya terasa sangat lemas. Ia sendiri heran, bagaimana ia
masih bisa tidur setelah 2 hari ia tak bangun sama sekali.
Keesokan
harinya, Ryan merasa jauh lebih baik. Ia sudah siap berangkat ke sekolah ketika
mamanya masuk ke kamar.
“Kamu udah mau
berangkat sekolah? Kamu yakin kamu kuat?” mamanya bertanya cemas.
“Aku nggak
apa-apa kok,” Ryan menenangkan mamanya lalu segera pergi ke tempat motornya.
Ketika melewati
cermin di wastafel, ia melihat rambutnya sudah mulai panjang. Ryan berencana
akan memotongnya sepulang sekolah. Namun kepucatan wajahnya terlalu kentara.
Di sekolah Nino
dan beberapa teman lain benar-benar menyambut baik kedatangannya.
“Kamu
bener-bener keliatan pucet!” canda Nino. “Makanya banyak kumpul-kumpul sama
kita dong!”
Ryan hanya
tersenyum kecil menanggapi gurauan itu.
“Kamu jadi ikutkan
ke pesta dansa?” Nino bertanya memastikan.
Yah. Itulah yang
diperlukan Ryan. Bertahan hingga hari itu bersama teman-temannya sebagai janji
terakhir yang harus ia tepati.
“Pasti,” jawab
Ryan mantap dengan semangat yang mengejutkan teman-temannya.
“Gimana kalo
kamu jemput temenku? Dia nggak punya tumpangan buat tempat pesta,” pinta Nino.
“Cewek atau
cowok?” nada dingin kembali tersirat di suara Ryan.
“Cewek. Tapi
tenang aja dia nggak bakal aneh-aneh. Tugas kamu cuma buat nganter dia sampe
tempat pesta aja. Gimana? Aku mau jemput Maya,” Nino tersenyum penuh arti.
“Tenang aja, itu Cuma temen kok,” tambah Nino takut Ryan salah sangka.
“Oke,” jawab
Ryan singkat.
“Sorry ya
ngrepotin,” kata Nino sambil tersenyum sok sungkan. Ryan hanya memukul lengan
Nino pelan.
Sepanjang sisa
minggu itu Ryan tak pernah henti untuk berusaha melupakan kejadian sebelum ia
terpaksa menginap selama 2 hari di rumah sakit. Berkali-kali secara tidak
sengaja, Ryan bertemu dengan Vina. Ryan segera mengubah arah berusaha agar
tidak terlalu terlihat bahwa ia memang menjauh. Namun sepanjang minggu itu
kondisinya semakin pulih meski sakit kepala tak pernah absen. Ia sudah berniat
untuk datang ke pesta itu sebagai janji terakhir yang akan ia tepati.
Di sekolah rumor
bahwa Ryan sudah punya pasangan ke pesta, terasa amat mengganggunya. Hanya
gara-gara perkataan yang dikatakan pada Rina, lalu seisi sekolah tau.
Ryan
bertanya-tanya, dengan siapakah Vina akan pergi. Ia benar-benar berharap akan
ada yang mengajak gadis itu. Ia berharap ada yang benar-benar bisa menggantikan
perannya di hati Vina.
“Ryan… Ryan….,”
mamanya memanggil. Yang dipanggil hanya menghampiri tanpa menyahut.
“Seminggu lagi kan ada pesta dansa…
kamu pake tuxedonya papa aja ya, ukurannya kayanya sama kok,” mamanya
mengingatkan pesta dansa yang nyaris seminggu tak dipikirkannya. Ryan hanya
mengangguk.
Ryan merasa ada
sesuatu yang akan terjadi padanya. Ia tak suka merasa begitu, seolah-olah
dirinya tak boleh merasakan kebahagiaan sedikit lagi.
Sakit kepala
jadi semakin rutin menyerangnya setiap 2 hari sekali, dan hal itu membuatnya
cemas. Pesta dansa sebentar lagi, meski menurut perhitungannya hari itu dia
tidak seharusnya sakit, namun apapun bisa terjadi.
“Udah ah!” Ryan
mengeluh ketika mama dan kakaknya tak ada habisnya mendandaninya. Mulai dari
rambut sampai sepatu mereka yang mengatur.
“Ini baru anak
mama,” kata mamanya penuh kebanggaan.
Ryan melirik jam
tangannya dan udah hampir setengah 6.
“Udah, udah. Aku
bisa telat kalo gini,” Ryan segera memasukkan dompet dan hapenya ke kantong
celananya.
“Tapi dasinya
belom nih!” Nikky yang paling menikmati mengotak atik adiknya menyahut.
“Ya aku pake di sana aja,” kata Ryan
sambil menyambar dasi dan langsung memasukkannya ke kantong jas.
“Nih, kamu pake
mobil mama,” kata mamanya menyodorkan kunci. “Jadi kamu bisa pake dasi sambil
nunggu lampu merah jadi ijo,” tambah mamanya geli. “Eh tapi emank kamu bisa
pake dasi?” canda mamanya disambut tawa Nikky.
Ryan segera
beranjak meninggalkan dua cewek yang sedang asyik mentertawakannya. Betapa sangat
menyenangkan suasana saat itu.
Benar kata
mamanya, seharusnya dasi itu juga dipakaikan oleh mama atau kakaknya yang lebih
ahli. Sudah nyaris tujuh tahun ia tak memakai dasi lagi. Di SD saja karena
terpaksa jadi bisa memakai dasi. Ia tak ingat caranya lagi. Dan sialnya lampu
merah terasa cepat sekali berganti hijau.
Ryan sampai di
alamat yang diberikan Nino. Ia sudah menyerah dalam usaha memakai dasi dan
membiarkannya teronggok begitu saja di lehernya, berharap tak ada yang
memperhatikan. Setelah memastikan itu rumah yang benar, Ryan menekan bel yang
ada di dekat pagar.
Seorang wanita
setengah baya keluar dan membuka gerbang.
“Mas, tunggu
sini dulu. Saya panggilkan Ibu dulu…,” pamit wanita itu.
“Eehhh saya cuma
mau jemput, jemput…,” Ryan menggaruk kepalanya. Niatnya tadi yang minta
dipanggilkan cewek yang akan dijemputnya sirna setelah ingat ia tak tau nama
cewek itu. Payah banget Nino! Mana sekarang ia disuruh menunggu di teras di
depan pintu yang terbuka lagi. Ia tak suka terlihat menunggu cewek yang sama
sekali tak dikenalnya.
Lamunannya
dibuyarkan oleh kedatangan seorang wanita setengah baya lainnya. Tampaknya ini
tuan rumah. Ryan memasang senyum terbaik yang bisa diberikannya.
“Permisi, tante.
Saya mau ….”
“Oya…. Tunggu
sebentar,” sela wanita ini langsung masuk ke dalam rumah lagi tanpa memandang
Ryan lagi. Wajahnya terlihat puas saat masuk ke dalam tadi. Ryan hanya heran
betapa sangat ramah namun terlalu cepat tanggap orang-orang di rumah ini.
Vina masih
berdiri di depan cermin. Ia tak percaya bahwa mamanya berhasil memakaikannya
dress biru muda yang tak pernah mau dipakainya. Nino memberi instruksi pada
mamanya untuk mendandaniku semaksimal mungkin. Sungguh konyol, dan lebih parah,
mama setuju akan hal itu setelah Nino mengatakan bukan dia yang akan menjemput
tapi temannya. Dan inilah hasilnya, sudah dua jam ia duduk di kamar bersama
mamanya.
Vina sudah siap
memanggil sopirnya karena ia yakin Nino berbohong tentang cowok yang akan
menjemputnya. Ia tak berjanji untuk datang dengan siapa pun. Hanya satu orang
yang ia harap ada di sampingnya meski itu tak mungkin.
Vina jadi
bertanya-tanya dengan siapa Ryan akan datang mengingat Ryan sudah berjanji akan
datang. Mungkinkah Ryan akhirnya memutuskan untuk mencoba mencintai wanita,
menghilangkan rasa ketidakpantasan yang akui saat itu? Mungkinkah gosip bahwa
Ryan sudah memiliki pasangan untuk pesta itu benar?
Bukannya tak ada
yang mengajaknya. Namun ia tak ingin berpura-pura bersikap manis pada cowok
yang ia tak suka atau tak kenal. Biar bagaimanapun ini adalah tahun terakhirnya
di sekolah dan tak ingin ketinggalan perayaan terakhirnya di SMA ini.
“Udah selesai,
Vin?” mamanya masuk ke kamar setelah tadi dipanggil bibi karena ada tamu.
“Udah kok.
Kenapa?” dengus Vina.
“Jangan gitulah.
Udah dijemput tu!” mamanya berkata dengan sangat manis.
Vina bahkan
belum menelepon Pak Radi untuk minta tolong diantar. Perasaannya jadi tak enak.
“Pak Radi udah
dateng?” Vina mencoba memastikan bahwa sopirnyalah yang tengah menunggu untuk
mengantarnya.
“Aduh kamu tuh
ya! Ya bukanlah,” dengus mamanya. “Percaya deh! Kamu nggak bakal nyesel,
perfect banget.”
“Namanya?” Vina
mencoba mencari tau.
“Hah, nama?
Bentar deh mama tanyain dulu,” mamanya berniat keluar.
“Aduh, mama.
Tunggu, daripada keluar masuk nggak jelas, mendingan aku ikut keluar aja,”
cegah Vina pada mamanya yang pelupa. Ia segera memakai sepatunya.
“Vin, cowok ini
bener-bener perfect. Pake tuxedonya lengkap lagi, nggak kaya temen-temen kamu
yang lain. Cocok banget sama kamu. Bener kata Nino, untung kamu didandanin kaya
gini. Kamu kenal dimana sihh?” mamanya menyerocos tanpa henti. Vina hanya diam
saja.
Cowok itu
berdiri menghadap ke luar. Badannya tegap, namun agak kurus dan dia emang pakai
tuxedo lengkap. Nggak kaya temen-temennya yang biasanya atas jas bawah jeans.
Tapi kayanya kemarin panitia udah mewajibkan para cowok untuk pake tuxedo, jadi
harusnya Vina nggak kaget.
Meski begitu,
cowok ini sepertinya nggak pernah pake tuxedo. Kerah kemeja bagian belakangnya
belum rapi. Vina yakin ia mengenal cowok ini, tapi gaya rambutnya yang digel membuatnya semakin
sulit di tebak.
“Nah ini dia
cowoknya,” mamanya langsung memperkenalkan ketika sampai di depan pintu.
Setengah kaget
cowok itu berbalik dan . . . .
“Ryan…?!” Vina
refleks menyebut nama cowok yang berdiri di depannya. Ryan juga kaget, namun ia
lebih bisa menguasai diri. Seperti biasa, kesan dingin dan tanpa ekspresi
tersirat jelas di wajahnya.
Sungguh Vina
mengakui Ryan begitu keren. Ia jauh lebih keren daripada biasanya. Vina
benar-benar tak ingin pergi dengannya. Cowok ini, cowok yang ia harapkan jadi
pacarnya yang tak mungkin dimilikinya menjemputnya. Menjemputnya dan hanya
menjemputnya untuk mengantar sampai di tempat pesta. Apa yang harus
dilakukannya?
Mama Vina sudah
siap meluncurkan sederet pertanyaan yang sepertinya sudah didaftar, namun Ryan
menyelamatkannya dari kewajiban menjawab itu semua.
“Kami berangkat
dulu tante,” pamit Ryan datar berusaha menyembunyikan kesan dingin yang
ditimbulkan. Tanpa perlu diaba-aba lagi Vina mengikuti Ryan.
Sebuah Jazz
hitam terparkir di depan rumahnya. Ryan membukakan pintu untuk Vina tanpa
ekspresi. Kemudian naik ke kursi pengemudi.
Satu menit yang
panjang hanya kesunyian yang saling berbisik menunggu dilenyapkan. Akhirnya
Vina memutuskan untuk memecah keheningan karena tau Ryan tak akan melakukannya.
“Kenapa kamu
jemput aku?” tanya Vina.
“Karena aku
disuruh Nino,” singkat, dingin dan tanpa ekspresi. Matanya lurus memandang
jalanan di depannya.
“Kenapa kamu
mau?” tanya Vina lagi. Vina merasa
jengkel pada Nino. Sangat menyakitkan jika orang yang disayangi, dicintai hanya
bisa dipandang untuk waktu yang singkat.
“Aku nggak tau
kalo cewek itu kamu,” jawaban Ryan yang terakhir lebih lembut dan terdengar
nada sesal di dalamnya. Suaranya menyiratkan keengganan berbicara. Keengganan untuk
berhubungan dalam hal apapun dengan Vina. Namun semua ini harus jelas.
“Jadi kalau kamu
tau siapa cewek itu dan bukan aku, kamu bakal jemput?” Vina tak bisa
menyembunyikan nada cemburunya.
“Pada akhirnya
aku akan tetap menjemputmu. Aku udah janji sama Nino, dia udah begitu sabar dan
baik padaku selama ini dan aku akan menepati janjiku,” dari nadanya Ryan
berharap itu adalah saat terakhir dia berbicara.
“Kenapa sih kamu
sepertinya anti sama aku?” Vina berharap bisa mendapat jawaban yang lebih masuk
akal. Ia benci sikap Ryan yang selalu menghindari pertemuan tak sengaja ketika
di sekolah.
“Aku bersikap
sama ke semuanya,” jawaban yang sama kembali diulangnya.
Vina menyadari
bahwa dasi yang Ryan kenakan benar-benar berantakan bentuknya.
“Tapi kenapa
saat itu kamu berkata seperti itu padaku?” Vina sampai pada pertanyaan yang ia
sendiri ingin tau kejelasannya.
Ryan sungguh tak
nyaman diinterogasi seperti ini. Seolah-olah dirinya salah satu tersangka kasus
kriminal.
“Karena cuma
kamu yang paling banyak bertanya,” dan itu memang benar. Hanya Vina yang selama
ini terus bertanya jika didekatnya. Hatinya berteriak kesakitan ingin
meneriakkan bahwa selama ini ia tak ingin berusaha menjauh, bukan maksud Ryan
untuk menyakiti hati Vina.
Mobil tiba-tiba
terasa condong ke depan sebelah kiri. Ryan segera menepikan mobilnya. Ia keluar
dan menemukan ban depan sebelah kiri, kempes. Sungguh malang nasibnya hari itu. Vina ikut keluar
dan melihat ban yang kempes itu.
Ryan
mengeluarkan hapenya dan menekan no telepon Nino.
“Ambil tasmu,
Nino akan kusuruh menjemputmu,” perintah Ryan tegas.
“Dan apa yang
akan kau lakukan?” tanya Vina dengan pandangan tak percaya.
Telepon Nino tak
diangkat. Ryan mencoba lagi.
“Aku? Aku akan
disini mengganti ban ini yang pasti,” jawab Ryan tak sabar. Sekali lagi
diteleponnya Nino.
“Aku ingin tetap
disini,” kata Vina mantap.
“Tidak, kamu
harus sampai disana tepat waktu. Lima
belas menit lagi pembukaan akan dimulai,” tegas Ryan. Dipandangnya Vina
“Kamu nggak
berhak ngatur aku, aku ingin tetap disini,” tegas Vina.
“Halo, No,”
akhirnya telepon diangkat. Tapi suara di tempat Vino benar-benar berisik,
ditambah suara jalanan tempat Ryan berdiri. “No, ban aku kempes.”
“Apa?” terdengar
suara di seberang di antara suara-suara keramaian.
“Ban mobilku
kempes, tolong kamu…,” belum selesai Ryan ngomong, Vina menarik tangan Ryan
yang memegang handphone. Vina merebutnya dan mematikan sambungan.
“Kalo kamu
memang nggak mau aku disini, oke aku akan pergi. Tapi atas kemauanku sendiri,”
Vina memandang Ryan sebentar lalu berbalik mengambil tasnya dalam mobil dan
berjalan ke arah mereka datang.
Ryan mengejar
Vina.
“Tunggu!” Ryan
memegang tangan Vina untuk menghentikannya.
“Apa lagi?” Vina
bertanya marah. “Kalau kamu mau sendirian, menanggung beban itu sendiri
silahkan, tapi jangan paksa aku.”
“Kamu nggak bisa
pulang sendirian,” Ryan mencoba tetap tenang.
“Aku bisa,” jawabnya
berusaha melepaskan tangannya dari Ryan.
Jalanan memang
ramai kendaraan tapi tak ada seorang pedagang pun yang berjualan di pinggir.
“Please,” mohon
Ryan. Suaranya benar-benar tulus dan pandangan matanya memastikan ketulusan
itu.
“Apa pedulimu?”
tanya Vina sinis.
“Karena aku ….
Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa,” dengan berat ia mengatakan hal yang tak
sudah ia usahakan tak ucapkan. Pertahanannya mulai runtuh sedikit demi sedikit.
“Balik ke mobil ya?” pohon Ryan penuh kelembutan. Tanpa menunggu jawaban, Ryan
segera menuntun Vina kembali ke mobil. Vina pun hanya menurut melihat Ryan
menarik tangannya.
“Kamu tunggu
sebentar,” Ryan meninggalkan Vina di depan kursi penumpang untuk mengambil alat
dongkrak di bagasi beserta ban serepnya. Ryan melepas jas dan dasinya lalu
menggulung lengan kemejanya agar bebas bergerak.
Dengan cekatan
Ryan mendongkrak mobil dan segera mengganti ban yang bocor itu.
“Kenapa? Kenapa
kamu selalu ingin memikul beban itu sendirian, seolah-olah itu salahmu?” Vina
bertanya datar, tanpa emosi sambil memandang ke jalanan.
“Karena itu
memang tanggungjawabku ketika tak ada yang bertindak,” jawab Ryan mantap, kesan
dingin tak begitu kentara.
“Tapi kenapa
pada saat itu kamu selalu menjauhkan orang yang ingin membantu, menemanimu?”
sekali lagi Vina bertanya.
Pertanyaan
mengejutkan itu datang dan Ryan merasakan hal itu memukul telak hatinya. Ia
bahagia karena wanita yang dicintainya menemaninya saat itu, meski ia
seharusnya tak membiarkan itu terjadi. Namun apa yang harus dijawabnya? Ia tak
mungkin menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Maka ia tak menjawab.
“Sudah kuduga,”
Vina berkata dengan yakin. “Kau merasa kau tak membutuhkan orang lain, kau
terlalu sombong, terlalu sombong untuk mengakui kau lemah.”
Ryan sungguh
sedih, Vina berpikir seperti itu. Ryan segera berdiri. Dipandangnya Vina yang
juga memandangnya.
“Bagaimana jika
aku memang lemah? Bagaimana jika aku memang merasa tak ada yang boleh
didekatku? Bagaimana jika aku tidak sombong melainkan aku memang melarang
hatiku untuk terlalu dekat dengan seseorang?” Ryan mengucap kalimat panjang itu
dengan nada putus asa.
Ia memasukkan
ban yang kempes ke dalam bagasi kemudian membereskan alat-alat dongkrak.
“Ayo kita pergi.
Sudah agak terlambat, tapi tak apa,” ajak Ryan kalem.
“Aku tak ingin
pergi ke pesta itu,” jawab Vina lalu masuk ke mobil.
Ryan segera
masuk ke kursi pengemudi.
“Lalu kau ingin
kemana?” tanya Ryan kalem.
“Aku ingin tetap
bersamamu,” jawab Vina mantap.
“Eerrgh….” Ryan
mengerang. “Kau tidak bisa, tak boleh bersamaku.”
“Please katakan
untukku yang terakhir kali bahwa kamu nggak butuh aku dan kamu nggak suka sama
aku. Please. Setelah itu aku nggak akan ganggu kamu lagi,” pinta Vina.
Ryan nggak
sanggup untuk menyangkal cinta yang berteriak untuk bebas dari hatinya terus
menerus. Hatinya sakit menahan itu semua.
“Mendingan
sekarang kita langsung ke gedung. Mereka pasti udah nungguin,” Ryan berusaha
mengubah topik. Ryan menyalakan mesin mobilnya.
“Please? Aku
bener-bener harus denger itu sekali lagi,” pinta Vina, suaranya mulai serak.
Ryan memandang
ke depan. Ia benci melihat Vina memohon-mohon padanya untuk melakukan hal yang
harus dilakukan dengan persiapan. Ia tak tahan lagi, sungguh terlalu menyiksa
baginya jika harus kehilangan cinta dan nyawa bersamaan.
“Bagaimana kalau
aku terlalu sayang sama kamu sampai aku tak bisa mengucapkannya? Bagaimana
kalau aku terlalu membutuhkanmu sampai-sampai aku harus mengusirmu? Bagaimana
jika aku terlalu mencintaimu hingga tak sanggup untuk melihatmu sedih?” runtuh
sudah semua pertahanan Ryan selama ini.
“Apa maksudmu?”
Vina menatap Ryan bingung.
“Arrrgh…. Vina
aku sayang sama kamu, aku cinta kamu, tapi aku nggak bisa mempertahankan ini,”
sebaris kalimat telah mewakili semuanya.
Dunia tiba-tiba
menjadi tempat yang indah ketika Vina tau cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
“Nggak ada yang
bisa misahin kita,” Vina berucap mantap.
“Kamu salah! Aku
udah bilang kita nggak bisa sama-sama,” Ryan menegaskan.
Kata-kata itu
menyakitkan hati Vina. Mengapa tidak? Apa salahnya? Air mata yang sudah dirasa
tak akan keluar, kembali menampakkan diri di pelupuk mata.
“Kenapa? Apa
salahku? Please bilang sama aku, apa yang harus aku lakukan supaya…,”
“Kamu harus
menjauh dari aku, seperti yang aku berusaha lakuin selama ini,” Ryan menyela
pertanyaan Vina. Ryan memukul kemudi yang dipegangnya. Ia membenci dirinya yang
telah mengucapkan semua kata-kata itu.
“Kenapa?” tanya
Vina singkat, tak ingin disela lagi.
“Karena aku nggak
mau kamu sedih,” Ryan setengah berteriak menjelaskan hal itu.
“Apa kamu pikir
aku akan senang menjauh dari kamu? Apa kamu pikir aku nggak sedih melihat kamu
berusaha sendiri entah melawan apa?” kalimat terakhir diucapkan seolah-olah
membuktikan apa yang Vina lihat selama ini. Air matanya mengalir membuktikan
kepedihan hatinya.
Ryan
meminggirkan mobilnya.
“Seenggaknya aku
nggak ingin kamu sedih, kamu terlalu berharga untukku,” begitu lembut perkataan
Ryan hingga Vina merasa ini bukan Ryan. Perkataan itu terasa begitu tulus.
“Kenapa kamu
menyembunyikan diri kamu selama ini? Kenapa?” tanya Vina mencoba tenang.
Ryan
memandangnya. Dia mengulurkan tangan dan sekali lagi menghapus air mata yang
mengalir di kedua pipi Vina.
“Karena aku
tidak pantas dicintai,” jawaban itu begitu membingungkan. “Jangan menangis!
Maafkan aku. . . .” pinta Ryan. “You are my angel, and I don’t want see you
sad. So please, tell me what can I do for you?” sebaris ucapan sederhana keluar
begitu romantisnya dari mulut Ryan.
“Jangan suruh
aku pergi dan biarkan malam ini aku tetap bersamamu,” jawaban yang sangat
diinginkan Vina terucap dengan tenang.
Ryan menghela
nafas. Menyesali setiap menit yang akan dia lalui.
“Baiklah,” jawab
Ryan nada dingin tersirat kembali.
“Dan kumohon,”
pinta Vina lagi. “Jangan siksa dirimu, jadilah dirimu sendiri.”
Secercah senyum
menawan terpasang di wajah Ryan dan Vina ikut tersenyum melihatnya. Setidaknya
malam ini ia akan bersama Ryan, bersama orang yang juga mencintainya. Ia tak
ingin memikirkan hari esok.
Ryan
mengemudikan mobilnya lagi. Sudah hampir setengah delapan ketika mereka sampai
di gedung. Parkir penuh, tak tampak ada yang kosong. Ryan menghentikan mobilnya
di depan Lobby.
“Kamu turun
dulu, aku mau cari parkir,” Ryan berucap sambil mengamati sekitar untuk melihat
sekiranya ada tempat yang kosong.
“Nggak. Kamu
udah janji,” jawab Vina. Ia takut Ryan pergi.
Ryan menghela
nafas dan meneruskan mencari tempat. Beruntung ada Stream yang sepertinya
berniat keluar dan Ryan memakai tempat Stream itu parkir sebelumnya.
Ryan
meluruskan lengan kemejanya lagi kemudian mengambil dasi dan jasnya. Kemudian
Ryan keluar dan membukakan pintu untuk Vina.
“Let’s
go my angel,” Ryan berkata dengan senyum menghiasi wajahnya. Jas dan dasinya ia
sampirkan di lengan sebelah kiri.
Vina
mengambil tasnya dan keluar dengan senyum bahagia.
Ryan memakai
jasnya sambil berjalan di sebelah Vina. Kemudian menaikkan kerah kemejanya
untuk memakai dasi.
“Sini aku
pakein, kamu kan
nggak bisa pake dasi,” kata Vina mengambil dasi dari tangan Ryan.
Ryan tersenyum
mendengarnya. “Kamu tau darimana?” tanyanya memandang Vina yang sibuk
memakaikan dasi.
“Sebelum kamu
nyopot dasi tadi, bentuknya udah nggak karuan,” kata Vina seolah-olah
menjelaskan pada anak kecil. Dengan waktu singkat, dasi itu sudah terpasang
gagah di balik jas Ryan.
Ryan memasang
lengan kanannya agar Vina bisa mengaitkan tangannya. Vina tersenyum melihat itu
lalu mengaitkan tangannya dengan wajah bahagia.
Mereka berjalan
ke dalam dengan wajah bahagia. Di dalam acara makan-makan sudah dimulai dan
musik sudah dimainkan. Beberapa bahkan sudah mulai berdansa di tengah. Nino
agak terkejut melihat tangan Ryan dan Vina saling mengait, namun tak berkata
apapun karena melihat wajah bahagia yang tak pernah dilihatnya pada kedua
temannya itu.
Ryan dan Vino
sama sekali tak berniat pada dansa. Mereka lebih suka menghabiskan waktu duduk
berdua di meja sambil makan dan ngobrol. Ryan terpaksa melewatkan obatnya
karena tak bisa dan tak ingin meninggalkan Vina. Cukup banyak cewek lewat yang
memandang mereka berdua, kagum, bingung, sekaligus terpesona.
Vina mengakuinya
bahwa Ryan jauh lebih ganteng kalau banyak tersenyum dan itulah yang dilihat
cewek-cewek malam itu. Dan tak banyak cewek yang bisa membuat Ryan seperti itu.
Ia merasa sangat beruntung berhasil melewatkan waktu dengan orang yang sangat
diinginkannya.
Waktu berjalan
sangat cepat. Nino sempat menanyakan alasan mengapa tadi Ryan menelpon tapi
Ryan berkata tak ada apa-apa. Lagu-lagu yang dimainkan benar-benar pas untuk
malam itu. Vina tak ragu melihat keceriaan Ryan bahwa ia bersungguh-sungguh
menyayanginya.
“Aku nggak akan
pergi,” Ryan berjanji pada Vina untuk mengambil mobil dan meminta Vina
menunggu. Vina mempercayainya, ia tersenyum pada Ryan yang berjalan menjauh.
Kebahagiaan
menyelimuti hati Ryan. Ia masuk ke mobil dan teringat akan obat yang
disimpannya di kantong jas. Ia memindahkan obat itu ke laci dasbor mobil, dan
segera menyalakan mesin untuk menjemput Vina. Ryan membukakan pintu untuk Vina
dan segera duduk di kursinya. Ia mengemudi dengan tenang dan pancaran
kebahagiaan tertera di wajahnya.
Vina mencoba
melupakan perkataan Ryan untuk menjauh tadi dan berharap Ryan tak akan
mengungkitnya. Kebahagiaan ini tak ingin ada yang merusak. Meski waktu tetap
terus berjalan.
Vina menekan VCD
player di mobil itu. Lagu Westlife terdengar. Ryan tak menyangka mamanyalah
yang membawa CD itu selama ini saat mendengar suara yang bernyanyi. Lagu Close
mengalun, seolah mewakili perasaan Ryan.
Ryan berhenti di
depan rumah Vina. Ia keluar dan membuka pintu untuk Vina. Vina keluar dan
tersenyum.
“Makasih ya,”
senyum kebahagiaan terlukis indah di wajahnya.
Ryan mengangguk
juga tersenyum tulus. Ia mengantar Vina sampai ke teras rumahnya.
“Vin, dengerin
aku,” Ryan menatap Vina yang juga menatapnya. “Apapun yang kita lewatin malem
ini nggak membuat aku narik ucapanku tadi. Percayalah! Itu yang terbaik!” Ryan
mencoba meyakinkan Vina lagi.
“Nggak. Ini
bukan malem terakhir kita akan bareng-bareng. Waktu kita masih panjang,” ucap
Vina yakin. Ryan menyembunyikan kesedihannya ketika mendengar itu.
“Aku pulang dulu
ya?” pamit Ryan sopan.
“Mau mampir?”
tawar Vina. Ryan menggeleng dan segera berjalan ke mobilnya. Ia melepas jasnya
dan memasukkannya ke dalam mobil. Ryan menunggu hingga Vina masuk ke rumahnya
baru kemudian Ryan masuk ke mobilnya.
Baru akan
menyalakan mesin, sakit kepala menghantam Ryan. Darah mengalir dari hidungnya.
Ryan segera meraih laci di dasbor dan membukanya. Ia mengambil obat itu dan
membukanya. Tubuhnya bersandar pada kursi penumpang di sebelahnya. Namun
sebelum bisa mengambil obat Ryan merasa ada yang akan keluar dari
tenggorokannya. Ia segera membuka pintu penumpang itu.
Kumohon jangan
sekarang, batin Ryan. Jangan saat aku masih disini. Namun apa yang dilawannya
lebih kuat daripada dirinya.
Tak dapat
ditahan lagi cairan merah kental keluar dari mulutnya. Bau darah sangat kuat
tercium. Untung ia sempat membuka pintu agar muntahannya tidak terjatuh di
dalam mobil. Botol obat yang dipegangnya jatuh dalam keadaan terbuka dan
menumpahkan isinya berserakan di luar dan di dalam mobil. Sekali lagi ia
merasakan akan muntah lagi dan menjulurkan kepala keluar pintu. Cairan merah
keluar dari mulutnya lagi dan menambah sakit kepala Ryan.
Ryan tergeletak
lemas.
Vina masuk ke
kamarnya dan berbaring di tempat tidur.
“Gimana tadi?”
mamanya masuk dengan wajah penasaran. “Mama telpon sampe nggak diangkat,” canda
mamanya jail.
Vina jadi
teringat hapenya. Tapi dimana tasnya?
“Aduh tasku
ketinggalan di mobil,” Vina segera berlari keluar meninggalkan mamanya yang bengong.
Vina melihat
mobil Jazz itu masih terparkir di depan rumahnya maka ia segera keluar. Dari
dalam pagar, ia melihat pintu penumpangnya terbuka, namun tak bisa melihat Ryan
dibalik kaca film yang tebal itu. Ia segera berlari membuka gerbang sebelum Ryan
berencana menyalakan mobilnya. Dari depan mobil itu tampak tak ada orangnya.
“Ryan… Tasku
ketinggalan di ….,” Vina tak menyelesaikan kalimatnya karena melihat cairan
merah di bawah pintu yang terbuka sedikit itu dan ada butiran berwarna putih
yang berserakan di dekatnya.
Ia mendekat dan
membuka pintu yang sudah terbuka itu lebih lebar.
“Ryan….,” Vina
membekap mulutnya melihat apa yang ada di depannya.
Bayangan itu tak
bisa pergi. Melihat Ryan dengan wajah penuh darah tanpa luka membuatnya sangat
sedih. Apa yang terjadi padanya? Mengapa bisa begitu?
Dokter keluar
dari ruang gawat darurat. Dan Vina bersama mamanya segera berdiri. Ia langsung
membawa Ryan ke rumah sakit ditemani mamanya, setelah sebelumnya menghubungi
mamanya Ryan. Mereka berjanji bertemu di rumah sakit. Saat ditelpon, mamanya
terdengar sangat histeris.
“Anda
keluarganya?” tanya dokternya.
“Bukan dok, kami
temannya,” mama Vina menjawab.
“Apa yang
terjadi padanya?” tanya Vina tak bisa tak khawatir.
“Maaf, saya
harus bicara dengan keluarganya dulu. Seharusnya pasien ini punya dokter
khusus,” kata dokter itu.
Bersamaan dengan
berakhirnya kata-kata dokter itu, serombongan dokter dan suster lainnya datang dengan
terburu-buru menuju ruang UGD yang sama. Dokter itu menghampiri dokter yang sedang
berbicara dengan Vina.
“Dok, apakah
anda sudah menerima pasien yang baru saja datang bernama Ryan?” dokter itu
bertanya dengan nada khawatir.
“Iya, dia baru
saja saya periksa,” jawab dokter itu.
“Sus, tolong di
periksa dulu,” kata dokter yang baru datang, kemudian berpaling ke Vina. Dan
dokter itu segera berjalan menuju ruang UGD.
“Tunggu, dok,”
cegah Vina. “Apa yang terjadi sama Ryan dok?”
“Lebih baik kamu
bertanya pada keluarganya saja,” saran dokter itu.
Vina menatap
kepergian dokter dengan putus asa. Apa sebegitu parahnya sampai hanya
keluarganya yang tau? Apa ini alasan semua sikap dingin Ryan?
Kemudian dua
orang perempuan datang.
“Dimana Ryan?”
tanya perempuan yang dikenali Vina sebagai mama Ryan. Wajahnya sangat cemas.
Kakaknya Ryan wajahnya juga cemas. Seolah-olah inilah yang mereka tau akan
datang.
“Di dalam
tante,” jawab Vina. Mama Vina masih berdiri di sampingnya.
“Ma, kita harus
nunggu,” kakak Ryan berusaha menahan mamanya yang ingin masuk ke ruang UGD.
Mereka nggak harus menunggu lama. Dokter yang terakhir memeriksa Ryan keluar
bersama dengan seorang suster.
“Siapkan ruang
ICU, lalu alat transfusi, siapkan golongan darah A,” perintah dokter itu lalu
membiarkan suster yang disuruhnya tadi pergi. Ia segera membuka pintu ruang UGD
lebar-lebar dan serombong suster mendorong bed rumah sakit yang membawa Ryan di
atasnya. Vina menutup mulutnya tidak tega melihat Ryan yang memakai masker
oxygen dan yang lebih parah, matanya terpejam. Dokter itu melihat keluarga Ryan
dan segera menghampirinya.
“Apa pun
hasilnya saat ini, bisa buruk atau baik tetap tidak mengubah hasil akhirnya,
jadi saya mohon ibu sabar,” dokter itu segera berlalu. Sementara mamanya Ryan
sangat terpukul Vina semakin merasa bingung.
Mereka semua
pindah ke ruang tunggu untuk pasien ICU. Vina menolak ajakan mamanya untuk
pulang, dan berkeras ingin melihat Ryan sadar.
“Ryan mengidap
leukemia seperti papa dulu,” kak Nikky bercerita padanya. Sebelumnya dia
memberitau namanya ke Vina.
“Hal itu kami
ketahui sejak empat bulan yang lalu. Kemudian aku memutuskan mengajak Ryan
balik ke Indonesia
supaya lebih dekat dengan mamanya. Kadang aku nggak kuat melihat Ryan kesakitan
seperti itu. Kami semua sudah cek untuk melihat kecocokan sumsum tulang
belakang, namun tak ada yang cocok,” ia berhenti bercerita. Seperti
menceritakan harapan kosong yang telah diberikannya.
“Entah mengapa,
saat mendengar hasil itu, Ryan seperti sudah tau hasilnya. Ia diam, tak
berbicara hingga lebih dari seminggu. Aku mengira saat kamu datang ke rumah
waktu itu, dia akan sedikit lebih ceria, namun ternyata tidak. Bahkan lebih
murung,” kak Nikky memandang lantai. “Dan kemudian aku menyadari, di sedang
jatuh cinta. Tapi aku tak pernah mengungkitnya kepada siapapun. Aku mengerti
betapa sedihnya Ryan harus menahan, memendam cinta itu. Hal itu semakin
terbukti ketika ia masuk rumah sakit yang terakhir kali.”
Nikky menarik
nafas untuk menguatkan dirinya.
“Sekitar tiga
minggu yang lalu, di kembali masuk rumah sakit setelah kami menemukannya
terjatuh dari motor sambil memegangi kepala. Dan saat itu hari dimana kami tau
darah mulai mengalir dari hidungnya. Kami tak tau kapan itu bermula karena Ryan
tak pernah bercerita. Ia tak ingin kami cemas. Ia tak sadar selama dua hari dan
sekali ia mengigau, meminta maaf. Sungguh-sungguh meminta maaf, entah pada
siapa, entah karena apa, namun ia terdengar sangat menyesal,” Nikky mengakhiri
ceritanya.
“Hari apa
tepatnya saat itu?” tanya Vina seperti menyadari sesuatu.
“Lima hari setelah kalian
datang. Hari Sabtu,” jawab Nikky. Vina teringat hari dimana Ryan mengatakan
dirinya tak pantas jatuh cinta atau pun jatuh cinta. Vina kembali menutup
mulutnya untuk menahan tangis yang serasa ingin meledak.
“Aku harap
sekarang kamu tau kenapa Ryan selalu bersikap dingin dan tak peduli,” Nikky
berharap.
“Tentu saja,”
jawab Vina setengah menangis. “Dia terlalu menyayangi teman-temannya dan tak
ingin ada satu pun orang yang mengenalnya sehingga dia tak perlu melihat mereka
sedih saat….saat… saat itu tiba,” Vina tak bisa mengucapkannya.
“Mungkin kamu
mau pulang? Kita semua nggak ada yang tau kapan Ryan bakal sadar? Kamu terlihat
sangat terpukul,” Nikky prihatin. Ia merangkul bahu Vina, mencoba
menenangkannya.
“Aku ingin
menunggunya, setidaknya sampai ia bangun. Tentu saja aku sangat sedih,” Vina
mencoba menahan tangisnya. “Baru tadi malam ia menyatakan cintanya meski itu
karena dia sudah tidak sanggup menahannya lagi, tadi malam adalah malam
terindah yang pernah kulewati. Dan kemudian aku menemukannya tergeletak dengan
wajah penuh darah di dalam mobil,” kata-kata itu mengalir dibalik jatuhnya air
mata.
Kemudian dokter
keluar dan menghampiri mama Ryan.
“Sungguh kami
terkejut. Pertumbuhan sel darah putih lebih cepat dari yang kami duga. Kami
mencoba memberinya transfusi untuk menjaga keseimbangannya meski hanya untuk
sementara,” kata dokter itu.
“Berapa lama,
dok?” akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut mama Ryan.
“Tiga minggu,
jika beruntung bisa sampai satu bulan. Namun kami tak tau. Tak sampai tiga
bulan, hanya itu yang bisa kami pastikan,” dokter itu berkata penuh penyesalan.
“Tiga minggu?”
kata itu keluar sebelum mama Ryan pingsan.
Sungguh pedih
hati semua orang saat itu. Ketika kebahagiaan baru ditemukan dan dirasakan
sesaat, sesuatu yang tak dapat dikendalikan mengambilnya. Tanpa memberikan lagi
waktu yang cukup untuk kembali menikmati keindahan yang dicipta untuk
dinikmatinya. Mama Ryan dibawa ke ruang perawatan agar dapat beristirahat dari
keterpukulannya. Semua memakluminya. Setelah seorang pria yang pernah
dicintainya meninggal, kini karena penyakit yang sama, anak lelakinya juga
harus meninggal.
“Dok, pasien
sudah mulai sadar,” seorang suster keluar dari ruangan dan memanggil dokter.
Nikky dan Vina
langsung masuk mengikuti dokter. Namun mereka hanya diperbolehkan melihat dari
balik kaca karena harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Dokter memeriksa
mata dan tekanan darah Ryan. Di tangan kiri Ryan, terpasang dua selang infus
dan selang berwarna merah yang mengalirkan darah.
Vina dapat
merasakan tatapan Ryan ke arahnya. Ryan melepas maskernya dengan tangan yang
tak diberi selang. Ia tersenyum polos, senyum seorang anak kecil yang ketahuan
mencuri roti kecil dari stoples. Senyum yang membuat Vina harus keluar ruangan
karena tak sanggup melihatnya. Senyum indah itu berada di antara hidup dan
mati, diantara alat-alat dokter yang membantunya hidup. Diantara orang-orang
yang menyayanginya, yang tak ingin kehilangannya. Terlalu mudah melihatnya
sebagai orang yang dingin dan tak peduli dari pada melihatnya sebagai orang
yang menyenangkan, yang sedang berdiri melawan penyakit yang menggerogotinya.
Ryan tak tau apa
yang terjadi, namun ia tau kedua pertahanan dirinya telah runtuh malam itu.
Tekadnya untuk memendam cintanya hancur setelah wanita yang dicintainya
memaksanya berbicara yang tak diinginkan Ryan. Dan kemudian penyakit ini datang
sesuka hati di saat yang tidak tepat.
Ryan melihat
Vina di balik kaca. Ia melepas maskernya, dan tersenyum pada Vina. Senyum yang
ia tunjukkan hanya untuknya. Namun, Vina justru keluar dengan mulut ditutup
oleh tangan. Tentu saja, pikir Ryan. Kini dia sudah tau dan akan
meninggalkannya. Meninggalkan Ryan, seperti yang diinginkannya dulu.
Kemudian dokter
yang memeriksanya keluar sambil mengangguk-angguk. Ia yakin dokter sudah
memberi tau kakak dan mamanya berapa lama waktu yang ia punya untuk hidup.
Bahkan mungkin Vina juga tau.
Ia tak ingin ada
yang masuk ke ruangan itu saat ini. Ia ingin sendiri, ingin menikmati hidupnya
jika waktunya memang hanya sebentar lagi. Namun sepertinya tak ada yang
menyuarakan isi hatinya. Vina masuk pertama dan langsung berdiri di sebelah
Ryan sambil menatap sayu. Ryan menatapnya, menunggunya mengatakan sesuatu.
Namun akhirnya Ryan merasa dirinya lebih ingin mengucapkan sesuatu.
“Jadi, kuharap
kau sudah memutuskan untuk pergi dan melupakanku?” tanya Ryan penuh harap.
Nikky yang berada di ujung bed menggeleng penuh arti pada Ryan.
“Mengapa kau
selalu berharap akan hal itu?” Vina bertanya balik, berusaha menahan tangis.
“Tenang saja, aku akan disini, tetap bersama kamu,” katanya sambil tersenyum.
“Kenapa?” tanya
Ryan keras. “Aku nggak bisa ngelindungin kamu, buat jalan aja akan susah buatku
setelah hari ini. Dan setelah hari ini, orang akan selalu menemaniku, bertanya
apakah aku baik-baik saja setiap saat,” Ryan tak bisa menahan lagi.
Vina tersenyum.
“Kau tetap saja sombong.”
Ryan mengalihkan
wajahnya dari Vina. Kepedihan begitu terasa di hatinya mengingat Vina tak juga
mau pergi. Ryan tak ingin melihatnya menangis, kapan pun, bahkan ketika ia tak
bisa melihat lagi.
Keadaan begitu
sunyi. Tak ada yang mencoba memecahnya. Kemudian mama masuk, ia segera memeluk
Ryan. Ryan memejamkan matanya.
“Tenang nak,
kamu akan sembuh, kamu akan sembuh. Percayalah,” kata mamanya yakin. Ryan ingin
menghentikan mamanya yang berucap omong kosong itu, namun ia membatalkan
niatnya, mengingat hanya dengan begitu mamanya akan tetap bertahan.
“Ma, aku mau
pulang,” pinta Ryan tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan mamanya. Tapi juga seisi
ruangan. “Please,” Ryan memohon.
“Nggak boleh.
Bentar lagi kamu sembuh. Tunggu bentar lagi aja, ya,” mamanya melarang
disela-sela tangisannya. Ryan memandang kakaknya, memohon.
“Ma…” panggil
Nikky. “Biar Ryan di rumah aja ya,” kakaknya membantu Ryan.
“Nikky, kamu
nggak mau adik kamu sembuh ya?” mamanya membentak Nikky.
“Ma, please ma”
Ryan menghentikan harapan kosong mamanya. “Biarin aku dirumah. Pada akhirnya
hasilnya tetap sama entah dirumah atau di sini,” Ryan mengatakannya dengan
berat.
“Nggak, kamu
pasti akan sembuh, nak,” mamanya tak menyerah.
“Kalau begitu
biarkan aku dirumah,” Ryan bersiap mengucapkan hal yang paling menyedihkan.
“Biarkan… Biarkan aku habiskan sisa waktuku bersama orang yang kusayangi di
rumah. Sama seperti yang papa lakukan dulu,” perkataan Ryan membuat mamanya
berteriak histeris.
“Nggak, kamu
nggak akan kaya papa,” kata mama namun tak ada keyakinan lagi dalam suaranya.
“Biarin aku
tinggal di tempat yang terdekat di hatiku sebelum aku benar-benar harus pergi,
benar-benar kembali bersama orang yang udah lama pergi” Ryan benar-benar
berniat untuk pulang.
Hari itu, semua
akhirnya mengerti apa yang Ryan inginkan. Membiarkannya beristirahat di rumah.
Mamanya telah mengirimkan surat
ke sekolah sebagai keterangan Ryan berhenti sekolah. Ryan menghabiskan hampir
sepanjang waktunya di kamar.
Setiap hari Vina
datang dan melihat keadaan Ryan. Dan setiap hari pula Ryan menanyakan keputusan
akhir Vina, apakah ia sudah memutuskan untuk pergi menjauh darinya. Ryan sangat
sedih melihat dirinya amat bergantung pada orang lain. Dan lebih sedih lagi
ketika melihat orang yang ia sayangi menangis melihatnya kesakitan.
Seminggu setelah
pulang dari rumah sakit, Ryan tak sanggup berada di rumah terus. Ia meraih
kursi roda di samping tempat tidurnya. Ia sudah tak kuat berjalan. Ia berusaha
memindahkan tubuhnya ke kursi itu sekuat tenaga. Dan ia bisa meski membutuhkan
waktu yang lama.
Digiringnya roda
ke teras belakang, dimana kebun yang selalu terawat terpasang di tempat itu. Ia
memegang setangkai bunga anggrek yang baru saja mekar. Bagaimana indahnya dunia
di matanya saat itu, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ryan mengarahkan
kursi rodanya ke pintu depan. Ia tak tau dimana kakak dan mamanya saat itu.
Tapi hal itu tak ia biarkan menghalangi niatnya. Ia membuka pintu dan keluar ke
teras depan. Menggiring roda melalui pagar dengan perlahan, tak ingin ada yang
dilewatkannya. Senja akan segera datang, namun ia yakin waktu tak akan
menghalanginya menikmati ini semua.
Ryan teringat
akan lapangan bola yang dulu sering digunakannya bermain bola, di ujung jalan sana. Ryan membawa
kursinya ke sana,
membawa ingatannya ke masa lalu. Masa di mana ia selalu tau dimana harus
bertanya ketika kau tak tau apa itu sepak bola. Dimana harus bertanya jika
ingin memberi hadiah pada mama atau kakaknya, atau masa dimana seseorang
mengajarinya arti perempuan sebagai seseorang yang harus dilindungi. Seseorang
yang saat itu masih ada untuk mengingatkannya bahwa laki-laki tak boleh
menangis dalam keadaan apapun, yang mengajarinya bahwa lelaki harus siap
menjadi orang yang bisa dicontoh.
Lapangan itu
masih seperti dulu, membentang luas dipenuhi pasir. Hanya saja dulu ada dirinya
dan papanya di sana.
Ia masih bisa melihat dirinya dan papanya bermain bola bersama. Berlari
mengejar bola diantara pasir yang berterbangan. Beristirahat di salah satu
pohon besar jika matahari sudah terlalu terik.
Matahari senja
membuat pasir di lapangan terlihat berwarna oranye. Awan-awan tipis berusaha
menghalangi sinar itu. Pemandangan matahari tenggelam yang ia tak tau kapan
bisa dilihatnya lagi. Tak tau siapa yang akan melihatnya setelah dirinya.
Oh, kumohon jangan
sampai ia melakukuan itu, batin Vina. Ia cemas setengah mati mendengar Ryan
nggak ada di rumah. Semuanya mencari Ryan. Kakaknya berusaha mencari ke
kompleks bagian barat, sedangkan Vina mencoba ke utara. Seharusnya Ryan nggak
bisa berjalan jauh dengan kursi roda, apalagi badannya yang lemah pasti nggak
akan mendukung untuk jalan jauh.
Ia sudah sampai
di ujung jalan. Hanya lapangan yang mengakhiri jalan itu. Harus ia cari kemana
lagi Ryan. Ia melempar pandangan secara menyeluruh ke sekelilingnya. Dan kemudian
perasaan lega menyelimutinya. Seseorang di atas kursi roda memandang matahari
tenggelam dari bawah salah satu pohon di lapangan itu. Vina berlari
menghampirinya.
Vina memegang
bahu Ryan. Ryan setengah terkejut, melihat ke belakang, melihat Vina yang
napasnya tersengal-sengal.
“Kumohon….,”
Vina menarik nafas lagi, masih ngos-ngosan. “Jangan pernah pergi sendirian…
atau setidaknya beritahu seseorang jika kau ingin pergi,” Vina berkata sambil
tersenyum ceria.
Ryan
menghembuskan nafas lega, karena ia mengira telah terjadi sesuatu. Ia ikut
tersenyum mendengar perkataan Vina.
“Kau datang…,”
kata Ryan datar, kembali memandang matahari di depannya.
“Aku sudah
bilang, aku akan menemanimu,” kata Vina mantap. “Aku nggak akan ninggalin
kamu.”
Ryan diam
merenung. “Tapi akulah yang akan meninggalkanmu,” Ryan mengatakan hal yang
setiap hari ia katakan pada Vina.
“Cukup,” stop
Vina yang kewalahan menghadapi Ryan. “Kamu nggak tau itu. Bisa aja aku yang