Kamis, 15 September 2016

CLAY

Tanah liat. Begitu kental, sulit ditembus namun lingkungan yang membentuknya, memberikan gambaran tentang dunia saat ini, memberinya proses untuk mengetahui apa yang diinginkan dunia ataupun dirinya sendiri. Kemudian seorang pengrajin datang, mengambil dirinya, membentuknya dalam rupa yang sedemikian agar tampak indah bagi dunia namun tak pernah benar-benar mengubah struktur asli yang telah tercampur padanya. Begitu liat, ramah pada air di sisi luar, namun sulit untuk benar-benar mencampurkan air itu ke dalamnya, liat. Perlahan tangan-tangan terampil dengan penuh kesabaran menyentuhnya lembut, tekanan sedikit di ujung sana dan sini, rabaan halus untuk memastikan tak ada bentuk yang luput. Sangat mudah untuk kembali menghancurkannya, masih sangat mungkin membentuknya menjadi sesuatu yang lain, terlampau aman untuk merasakan kejanggalan karena semua masih dalam proses meski tak dipungkiri ada ketakutan bagaimana ia akan diterima di dunia sebenarnya dalam wujud barunya yang masih dalam proses dan belum matang.

Indah. Satu kata yang mudah untuk menggambarkanmu meski proses terakhir yang paling menyakitkan belum terlewati. Namun tak ada yang melarang bagaimana orang-orang mengimpikanmu hadir di dunia, menjadi bagian dari dunia.

Tungku pembakaran telah panas, siap memberikan proses terakhir. Menyakitkan mungkin, namun deritanya tersamar dengan baik oleh berbagai pikiran dan doktrin-doktrin yang masih berusaha menghampirimu, menunggu untuk diseleksi dan akhirnya ikut terbakar menyatu denganmu. Panas itu hanya proses panjang yang menunggumu siap untuk berhasil. Secara nyata tentunya sangat menyakitkan, mengetahui bahwa dunia menghampirimu dengan kekejamannya sendiri hanya untuk melihatmu mampu melewatkannya dan menerima ketakutan dan kehampaan lebih daripada sebelumnya.

Berjam-jam, tak hanya dunia yang gelisah menantikanmu, bahkan pengrajinmu pun tak ingin gagal. Pengrajin yang berpikir bahwa dialah pembentukmu sejati, berpikir mengambilmu mentah-mentah dari alam dan bangga karena dapat membawamu pada dunia. Namun benarkah itu? Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun terlibat dalam kehadiran, kematanganmu, maka bangga benar ada ketika kamu keluar dari tungku pembakaran. Keras, tak lagi liat dan mudah dibentuk, namun siap untuk dihadapkan pada dunia.

Dan dunia mengagumimu, memandangmu pada keindahan serta ketrampilan yang diselipkan pengrajin padamu. Kamu menjadi bagian dari dunia, berguna secara nyata, menghadirkan kebahagiaan dan kesenangan tersendiri dalam kekakuanmu yang entah bagaimana kamu, jauh di dalam dirimu sana berpijak dan berpikir.

Hingga suatu saat, ketika kamu berdiri megah menghiasi suatu ruangan, atau berguna secara sederhana dalam kehidupan insan lain, hidupmu hancur karena ulah entah kesengajaan maupun tidak. Tatanan, kekakuanmu yang telah tercampur dan menjadi bagian dari dunia tercerai berai menjadi beberapa dan mungkin lebih bagian-bagian. Kamu jatuh. Kamu bukan lagi tanah liat murni yang ketika jatuh takkan mudah tercerai berai, tidak lagi di tangan pengrajin yang ketika terjadi kesalahan masih dapat dibentuk ulang, kamu telah menjadi sesuatu yang ketika jatuh akan membuatmu tercerai berai, tubuhmu terpisah-pisah. Perlu usaha untuk mengembalikanmu utuh, namun benarkah kamu utuh kembali? Perekat mampu mengembalikan bentukmu, namun tak semua kembali menjadi satu. Serpihan-serpihan kecil yang tak mungkin direkatkan kembali akan terbuang sia-sia, sari-sari tubuhmu akan cacat, dan benarkah luka itu sepenuhnya hilang oleh perekat? Kamu tetap kehilangan, entah sebagian besar atau pun kecil. Malang lagi ketika dunia merasa tak lagi memerlukanmu dan kamu tersapu menjadi satu dari banyak bagian untuk dilempar pada tempat sampah, tempat semua hal yang tak lagi berguna berakhir.

Aku menemukanmu ketika kamu berada di tangan pengrajin, ketika bentukmu, struktur liatmu masih berusaha kupahami. Aku jatuh cinta padamu dan kamu mengetahuinya. Namun aku tak siap dengan diriku, fakta bahwa aku bisa mencintaimu, fakta bahwa aku perlu berhadapan dengan kamu, orang yang telah bermanis pahit dengan dunia meski umurmu tak menggambarkannya. Kulepas keyakinanku dan berjuang, berdebat, mencari lagi siapa diriku, apakah aku ini, mengapa aku, mengapa sekarang. Kamu ada bersamaku ketika aku dalam pergulatan, ketika kamu dalam pembentukan, dan kemudian kamu menghilang, atau mungkin aku.

Masih kupikir kamu hanya persinggahan yang mengganggu keyakinanku hingga kita kembali bertemu. Aku dengan keputusasaan menerima siapa diriku yang mencintaimu, dan kamu disana dengan bentuk barumu yang indah. Kukatakan lagi siapa aku, dan apa kamu bagi diriku, namun kamu tak lagi sama, dengan kamu yang baru, yang telah begitu sempurna menghadapi dunia dan aku dengan sisa-sisa keputusasaan yang ada ditambah dengan kemantapan keputusan dalam diriku. Jungkir balik konyol karena cinta kujalani, konyol jelas namun sungguh terasa.  Dan sekali lagi kamu tetap kamu yang baru, tak ada lagi yang mampu membentukmu kembali atau pun memberikanmu doktrin-doktrin meski hanya kamu yang tau mana yang ingin kamu terima.

Aku tak pernah mengharapkanmu jatuh, aku berdoa untukmu. Kepahitanmu sudah cukup banyak dan memenuhi kenangan-kenanganmu, aku hanya ingin ada lebih banyak kebahagiaan pada dirimu, lebih dari yang kamu miliki saat ini. Aku tahu aku takkan jadi bagian dari kebahagiaan-kebahagiaanmu, bahkan mungkin aku akan meninggalkan bekas luka padamu, namun aku akan berusaha untuk membuatmu tersenyum dan kuat, memahamimu dari jauh, menyadari betapa kamu mengubah hidupku dengan indah.

Jika ada waktu, coba ingat aku sesekali….

Jumat, 16 September 2016

2:10 AM Platinum Internet Cafe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar