setiap detik begitu berarti, begitu kata orang, entah apa katamu, namun terkadang itu benar bagiku. siapa atau mengapa benar dan siapa atau mengapa benar merupakan pertanyaan mudah, namun pertanyaan yang sesungguhnya, apakah siap mendengar jawabannya?
"hai selamat pagi," mungkin ini tak lagi pagi namun sapaan itu lebih mudah dilontarkan dibanding dengan mencari kata lain untuk bisa mendengar suaramu ketika memberi jawaban meski tak selalu seperti yang diharapkan. tiga kata sederhana yang entah bagaimana lebih siap bagiku mendengar responnya dan mungkin menjadi alasan mengapa kamu akan menjawabku, sederhana dan tak perlu berpikir.
langkahku tak berhenti, masih terantuk-antuk kenyataan namun semakin mudah berjalan di atasnya. setelah sapaan singkat, siapa mengerti bagaimana untuk melanjutkan, siapa? kuhitung satu persatu anak tangga didepanku, dan sebelum selesai hingga di tingkat paling atas kuputuskan untuk mulai menaikinya. anak tangga pertama, bosan. anak tangga kedua, manja. anak tangga ketiga, dewasa. lelah, pejuang, mandiri, keras kepala, bingung, menyerah, enggan, ragu-ragu, dan kuterhenti. ada banyak yang ingin kuucap namun aku tak ingin mengakhiri anak-anak tangga ini dengan kata tanya.
sebatang coklat kuletakkan di atas jok motormu, berharap kamu cukup mengerti siapa yang meletakkannya, sekaligus teringat bahwa kamu terlalu obyektif dalam menghadapi segala hal, tak ambil resiko dengan harapan berlebih yang sering ditampakkan banyak orang. mudah saja mencuri motormu, membawanya berkeliling sambil membayangkan perjalanan-perjalanan yang telah kita lalui, bangkitkan lagi semuanya dan berharap akan tercipta lagi dalam batas-batas yang lebih luas.
kupijaki anak tangga terakhir, sebaris memori itu hanya sebagai alibi keengganan untuk membahas sifatmu lebih jauh. setelah kurenungkan, aku mengerti dirimu sebaik aku tak mengerti dirimu. butuh lebih dari dirimu untuk mempelajarimu, dan itu kudapatkan dari orang lain, dengan pola pikir yang sebagian besar begitu menggambarkanmu. apalagi yang mampu kugambarkan di wajahku ketika mengingatmu selain tertawa. bodoh, sia-sia, lelah, mati rasa, dan yang begitu kuat dramanya adalah sakit. tawa lain terlontar, mengingat diriku pernah berusaha mundur dan gagal hingga akhirnya aku hanya berjalan di tempat.
aku tak mengerti merah putih sebaik dirimu, aku tak mengerti sakit sebaik dirimu, aku tak mengerti pengorbanan, patah hati, cinta, keluarga sebaik dirimu sama seperti aku gagal memahamimu. pembelaan selalu muncul, kelelahan pernah ada, menyerah? tak pernah sebaik ini aku menyerah hingga aku bertahan,
lagi aku tertawa dalam diam. orang sastra bilang ini adalah ironi ketika tertawa muncul saat kesedihan yang dirasa. namun semua ini lebih mudah disikapi dengan tawa. ironi telah berlalu sangat lama.
just keep close... i don't live this world easily, and everybody knows, mostly those who dies earlier. and may be mostly you know it...
13 sept 2016
midnight, 1;41 am
Tidak ada komentar:
Posting Komentar