Minggu, 01 Mei 2011

TERBAWA DIMENSI



Aku tersadar ketika mendengar gelak tawa lega orang yang sangat kukenal. Kupilih memastikan sesuatu sebelum fokus ke tawa itu. Kusapu pandanganku ke belakang untuk memperjelas apa yang baru saja terjadi-yang seharusnya kuingat, atau kutau- sekelompok polisi yang berbaris berjejer terlihat memeriksa antrian panjang puluhan sepeda motor. Neraka bagi segilintir orang seperti aku yang –menurut kesimpulanku – tidak semua beruntung, namun aku beruntung. Tawa itu masih terdengar namun belum mampu mengundang tatapan mataku. Aku tertarik pada motor-motor yang  terpaksa keluar dari antrian dan memarkir motor mereka, lalu dengan wajah beragam- jengkel, bingung, takut, masa bodoh, cemas, bahkan lega- menghampiri beberapa polisi yang tampak menulis beralas mobil polisi besar, entah panther atau kijang, namun ujung depannya bisa digunakan sebagai meja.
Ia mengulurkan sesuatu kepadaku yang masih terpaku, segera kuambil begitu sadar dan menemukan selembar kertas penyelamatku. Dia tampak menyimpan kembali miliknya masih dengan tatapan tak percaya yang penuh kelegaan. Aku memyimpulkan mereka tau lebih jelas dan merasakan lebih dalam apa yang baru saja kami lewati.
Roda empat ini belum juga berjalan, euforia masih terlalu kental. Ia menepuk pundakku pelan, mengingatkanku kita tetap belum sampai tujuan. Aku pun berjalan dan dia mengikuti.
Jalanan kosong namun tidak sepi, matahari tetap terik ketika kami tiba. Aku tahu sesuatu maka kusimpulkan sesuatu. Mungkin bila kami datang satu jam lebih awal, aku akan menemukan kami sedang mengantri hingga memotong jalan kampung yang beraspal panas. Segelas the hangat aku harap cukup untuk memangkas hausku meski udara panas sedang berlomba-lomba memandikanku. Sudah pasti obrolan takkan jauh dari euforia sesaat tadi. Alunan bunyi gesekan batu yang merupakan sumber kelezatan menjadi ciri khas tersendiri. Ia tampak puas dengan porsi yang bisa diambil, piringnya penuh, wajahnya terang. Penemuan tempat makan dengan nasi tak dihitung. Dia mengambil secukupnya, mungkin lebih sedikit, masih mulas katanya. Dia belum bisa melupakan –menurut kesimpulanku- rasa bingung, takut hingga lega yang datang berurutan. Obrolan ringan memenuhi suasana.
Beranjak bukan berarti selesai. Waktu memeta jelas arah selanjutnya hingga aku sungguh-sungguh lupa dengan apa yang kukenakan dan dimana aku berdiri saat itu. Setidaknya tidak dengan ini, batinku. Sederet bayangan yang akan terjadi di tempat ini sudah membuatku merinding terlebih dahulu, bukan seram hanya akan cukup berkesan.
Aku tersadar ketika aku merasa namaku dipanggil. Aku yakin dia baru saja menarikku untuk masuk ke sebuah toko, dan kemudian aku disini. Masih bingung dengan perbedaan drastis yang menelan kesadaranku. Aku tau tempat ini. Aku beranjak dari kursi dan menemukan sepasang senyum, kelegaan lagi-lagi. Sesuatu di tangan mereka akan menjadi pengingat bagaimana hari ini akan selalu diingat. Aku pun ikut tersenyum senang. Sebuah memori membisikkanku bahwa beberapa menit sebelumnya aku duduk bersama dengan mereka, kemudian ia menyebutkan angka 14.14 yang kukira nomor sesuatu melainkan angka jam. Ia memejamkan mata sebentar kemudian kembali seperti semula.

Mendung di luar menunggu kami. Dia berpisah dan aku membawa roda duaku kea rah yang berlawanan dengan rumahku. Sekali lagi bersama ia aku memilih jalan yang salah. Bisa namun ada yang lebih baik untuk dijadikan pilihan. Tak perlu menunggu  lama, perjalanan tiba-tiba dikawal oleh rintik halus hujan yang menyegarkan. Aku berhenti di tempat yang benar untuk menurunkan ia.
Sedikit kesegaran dari rintik hujan yang jatuh tak membawaku ke dimensi yang berbeda seperti yang terjadi sebelumnya. Sedikit banjir musiman –hanya datang ketika hujan deras- sedikit membuatku bingung. Setidaknya ini akan membuatku tetap terjaga dan tidak tertelan waktu yang berlalu begitu cepat.

Minggu 1 Mei 2011
Pukul 00.30 WIB
disalin berdasarkan tulisan asli dengan memotong bagian akhir, kelengkapan disimpan oleh penulis
Adeninova Atmojo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar