Selasa, 21 Februari 2012

Garry

Hari 1
Hari ini aku ke mall, dan seperti biasa, penuh dengan para pelancong, tapi aku tak peduli setidaknya aku mendapat refreshing. Refreshing yang sangat menyenangkan karena terpaksa kuhabiskan mencari Handphoneku yang tertukar dengan seorang cowok. Menurutku dan aku bersikeras, dia yang menabrakku. Aku menemukannya tentu saja, kedua-duanya, handphone dan penabrak yang membawa handphoneku. Mungkin sebetulnya aku terlalu berlebihan, karena dia juga mencariku, bagaimana tidak aku juga membawa handphonenya. Aku sedang berjalan kemudian, ehm, lalu lelaki itu menabrakku, tanganku yang sedang asyik dengan handphone, singkatnya, langsung terjatuh. Aku sempat berteriak kecil, tak seperti dia yang langsung memungut handphonenya lalu memandangku dengan pandangan menusuk dan segera berlalu. Ketika kami bertemu kembali tentu saja dia langsung mengulurkan handphoneku, dan begitu sebaliknya.

Hari 5
Sepulang aku sekolah dia sudah ada di kamarku. Ya mau bagaimana lagi, sepertinya dia seorang lelaki yang butuh teman dan aku seorang cewek yang sedang butuh sosok kakak. Aku selalu mengumpat kalau dia sudah mengeluhkan tentang sekolah regulerku. Dia kan homeschooling, bisa kapan saja dia pergi, belum lagi kesimpulanku mengenai pribadinya yang agak emosional dan pemberontak. Bagus kalau dia memang ada disini setelah waktu belajarnya usai, tapi kalau gurunya ditinggal begitu saja ya bukan salahku. Dia mengeluh sebentar tentang sekolahku dan kemudian keperluan utamanya pun keluar. Dia mulai menceritakan sejak semalam dia pulang dari rumahku dan sampai tadi sebelum ia berangkat ke sini, bertengkar lagi ia rupanya dengan ibunya. Aku hanya bisa garuk-garuk kepala, tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya butuh pendengar.

Hari 7
Hari ini aku menemukan blognya, aku tak pernah tahu kalau ia memotretku. “my younger sister/brother” tulisnya dibawah foto itu. “brother?” umpatku. Dasar payah, itu kan bisa dilihat semua orang. Ya memang aku kayak gini. Waktu aku tanya tentang itu dia cuma ketawa, dan pas aku mau potret dia malah dia lempar aku dengan bantal lalu pergi sembunyi di balik selimutku. Hancur sudah kamarku dengan adanya dia. Sisa hari itu kuhabiskan untuk memotretnya sembunyi-sembunyi, tapi bagaimanapun dia lebih berpengalaman, semua gagal, dan hasilnya kembali lagi ke kamarku yang hancur sia-sia.

Hari 10
Aku baru sadar kalau seharian itu aku terus mengoceh dan dia diam, diam mendengarkan dengan perhatian. Ternyata dia juga bisa mendengarkan. Kalau teringat hal itu aku lagi-lagi hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku. Mungkin hari esok aku akan mencoba lebih tenang. Kakakku itu sekarang sepertinya sudah jauh lebih baik daripada saat pertama kali bertemu. Dia mengajakku jalan-jalan ke mal, dan seperti aku, dia juga suka duduk dan hanya menikmati suasana, jadi tak masalah ketika aku mengajaknya untuk duduk dan hanya merenung. Aku menceritakan padanya betapa aku suka melihat bintang-bintang di langit, karena itu semua yang membuatku tenang. Dan dia malah bertanya dengan wajah tak tertahan “Jadi aku ga bisa buat kamu tenang?” wajahnya benar-benar ingin dipukul. Wajah yang amat sangat memancing rasa gatal di tanganku. Kubaca novel yang kubawa, aku tak peduli dengan apa yang dilakukannya, kalau dia mulai berbicara aku menutup bukuku dan mendengarkannya.

Hari 12
Dia bilang dia berkenalan dengan seorang cewek, karena salah kirim sms. Itu agak tidak mungkin untukku, lalu aku mulai berpikir apakah dia tukang mabuk, tapi tampaknya tidak, matanya selalu cerah dan tubuhnya tak pernah kurus, selama aku mengenalnya. Dia bilang dia sedang memakai handphonenya yang untuk mengirim sms ke pacarnya, aku tau dia punya tapi dia tak pernah membicarakannya dan aku tak mau ikut campur. Dia bilang kalau smsnya berisi kata-kata pedas yang sedang mengusahakan putus, tapi karena katanya (aku tak tau apakah itu hanya alasannya atau apa) semua nomor kontaknya hilang sehingga dia harus menyalin dari buku telepon sakunya, dan setelah dicek dari pesan terkirim ia menemukan nomornya salah satu digit dengan yang seharusnya, langsung saja ia meminta maaf, karena yang pertama kata-kata itu menurutnya agak jahat sehingga harus diluruskan, yang kedua dia tipe orang yang sopan dan tak suka menyakiti orang lain, meskipun dia cuek. Dia bilang sih orangnya asyik, meski belum pernah ketemu. Aku mendengarkan sambil membongkar isi handphonenya dan mengganti isi simnya dengan milikku, ia merusakkan handphoneku kemaren. Rentetan pesan masuk mengantri untuk dibuka. Lega rasanya ia memiliki pegangan hidup akhirnya.


Hari 20
Aku begitu lelah hari ini. Dia memang pendengar yang baik dan tahu bagaimana cara merubah suasana hati orang. Kalau sedang positif, semuanya bisa terhibur dan sebaliknya. Seingatku dia cerita lagi tentang pertengkaran di rumahnya, dan sepertinya sesuai dengan dugaanku, dia sedang dalam masa-masa pemulihan dari penyakit emosionalnya. Mungkin ada karena belakangan ini dia punya banyak teman baru. Aku sudah merasa cukup punya seseorang yang mau mendengarkanku berbicara terutama lagi seseorang yang mau bercerita padaku. Aku tak pernah bingung atau pun takut kalau ia gonta ganti pacar yang penting dia kakakku, kalau aku nasehatin dia mau, itu pertanda bagus, tapi kalau tak mau bukan hakku juga untuk mengatur.

Hari 30
Sore tadi dia telpon, heran juga telpon tapi kemudian aku sadar kalau handphoneku lagi rusak, kedengarannya dia lagi kalut, suaranya aneh dan ya begitulah pokoknya. Makanya malam ini sekalian aku pulang les, aku mampir di rumahnya. Sepi. Aku masuk ke kamarnya, dia pernah cerita kamarnya ada di lantai satu, karena Cuma itu kamar yang aku lihat di lantai satu aku masuk tentunya dengan seizing si mbok. Dia sering cerita ke simbok ternyata. Handphonenya di atas kasur, tergeletak begitu saja. Saat kucek ada beberapa sms yang belum terjawab, mungkin dari teman salah kirim pesannya. Kukirimkan sebuah pesan ke nomor yang tak kutahu tersebut, orangnya juga sih. Beberapa saat kemudian keluar balasan dari nomor tersebut. Dia juga nggak tahu. Kemudian tiba-tiba sebuah suara motor berhenti diluar, aku merasa kenal dengan suaranya. Tentu saja itu dia. Kebut-kebutan, ya Cuma itu sih kebiasaannya tapi tetep aja kalo lagi emosi lebih rawan kecelakaan pastinya. Dasar aneh.

Hari 31
Dia sudah agak tenang dan mulai bercerita tentang kemaren. Tiket pesawat, Seattle, Amerika, sekolah. Oke menurutku itu cukup untuk mewakili semua ucapannya. Wow…. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Bingung, sedih, kehilangan, tak kubiarkan tampak di permukaan wajahku. Dasar aneh, diriku sekarang. Kejutan pertama, bagiku. Dia bilang padaku kalau ternyata teman salah kirim sms nya itu adalah kakak kelasku, dengan kata lain…. Yaaa begitulah. Aku tak mau berpikir lagi. Kebetulan aku sedang tak ingin cerita jadi tak masalah kalau aku diam dan sepertinya dia mengerti. Dia juga tak ingin pergi tapi senekat apapun tetap saja yang harus berkorban adalah dirinya.

Hari 39
Kosong. Otakku kosong. Apa yang harus kuberikan untuk seseorang yang amat berharga pada saat dia pergi supaya bisa ingat padaku? Arrgghh …. Tapi siapa suruh juga baru ngasi tahu hari ini kalau berangkatnya besok. Dasar payah plus aneh. Jadi sebetulnya itu aku harus bagaimana? Kalau aku beri sesuatu tapi dia malah nggak pulang ke sini lagi kan malah aku yang susah, tapi kalau nggak dikasi kenang-kenangan bisa-bisa dia lupa sama aku. Dan dia malah sudah beri tahu aku apa yang dia tinggalkan untukku. Handphonenya. Tentu saja seharusnya begitu, dia yang menghancurkan handphoneku harus bertanggung jawab, bisa-bisanya dia bilang itu kenang-kenangan, plus nomornya lagi. Sekarang aku bingung. Tidurku pasti nyenyak karena capek mikir sepanjang malam, dan besok pagi pas aku pulang sekolah dia sudah pergi.

Hari 40
Aku yang memang sudah dasarnya tidak bisa tenang di dalam kelas semakin menjadi lagi. Waktu aku sampai rumah aku Cuma menemukan sekotak handphone terkutuk miliknya plus nomornya dan sebuah surat. Dia itu bahkan tidak punya email, alamat pasti saja masih buta. Bisa gila aku. Kubongkar kotak tempat handphonenya. Tertulis sesuatu di tutup kotak bagian dalam, Garry. Sedikit narsis juga rupanya atau dia hanya ingin membuatku selalu teringat. Aku benci menjadi sendirian lagi. Bergulat dengan pulpen dan kertas atau MicrosoftWord di laptop saja aku masih tak mampu menggambarkan detailnya, dan kini aku harus kembali pada tradisi itu. Kugenggam tanganku, berharap masih ada lengannya disana, namun hanya sekumpulan angin yang berlarian takut terperangkap. I hope I’ll see you again.

In memoriam of Garry
Me

Adeninova Atmojo
Selasa 7 February 2012
In my room at 22.07 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar