Selasa, 01 November 2011

It's Time

Ryan turun dari pesawat dan langsung menuju ruang bagasi tanpa menunggu kakaknya. Ia sudah ingin cepat pulang dan beristirahat. Saking terburu-burunya ia menabrak seorang cewek. Semua barang bawaan cewek itu jatuh. Cewek itu membalikkan badan untuk melihat siapa yang telah menabrak sekaligus menjatuhkan semua bawaannya. Sesaan cewek itu terlihat akan marah namun sesuatu di wajah Ryan membut cewek itu hanya melongo. Ryan segera mengambil barang bawaannya yang jatuh.
“Sorry,” kata Ryan menyodorkan bawaan cewek itu dan segera pergi tanpa sadar cewek itu masih menatapnya.
Ryan menunggu di ruang bagasi dengan tidak sabar. Barang yang ditunggu keluar bersamaan dengan datangnya kakaknya.
“Kak Nik, ayo!,” Ryan segera meletakkan barang-barang di troli lalu mendorongnya ke arah supir yang sudah menunggu.
“Mama mana, Pak?”, Nikky bertanya pada supir yang menjemputnya.
“Tadi pagi baru aja terbang ke Singapura, tepat sebelum kalian telpon minta dijemput. Non Nikky sama Mas Ryan kok pulang sich? Sekolah disana nggak enak ya?
“Lho kan mama udah tau kalo kita mau pulang kan?!”, sergah Nikky.
“Bukan nggak nyaman,” Nikky melirik Ryan yang bersandar ke jendela. “Cuma, rasanya lebih kebiasa di Indonesia.”
Sisa perjalanan ke rumah berjalan hening. Sampai di rumah Ryan segera membawa barang miliknya ke kamar yang sudah ditinggalin selama 6 bulan. Sore itu ia ingin segera istirahat, berharap apa yang membuatnya pulang ke Indonesia hanya mimpi.



Kebiasaan bangun pagi di London nggak hilang juga di Indonesia meski perbedaan waktu cukup besar. Jam 6 pagi Ryan sudah siap untuk berangkat ke sekolah barunya. Ia masih nggak bisa percaya bahwa satu, ia pulang ke Indonesia. Dua, mamanya yang sudah diberitahu bahwa Ryan sakit dan butuh mamanya malah pergi ke negeri seberang.
“Ry, obatnya!” kak Nikky masuk ke kamar sambil membawa bungkusan bercap rumah sakit di London.
Ryan segera mengambil bungkusan itu dan segera meminumnya dengan segelas air putih yang dibawa oleh kakaknya juga.
“Huh, tak ada yang peduli padaku,” dengus Ryan sambil melempar bungkusan obat yang telah diminumnya ke tempat tidur.
“Kita harus kasih tau mama yang sebenernya,” Nikky berusaha menenangkan.
“Sudah biarkan saja. Kalo mama pulang cuma karena tau aku sakit parah, berarti mama emang nggak peduli sama aku, sama kita. Udahlah ini toh juga penyakit pada umumnya.”
“Aku berangkat dulu,” tambahnya ketika melihat Nikky ingin berbicara lagi.
Masih agak terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah barunya, namun ia tak tahan memikirkan masalah di rumah.
Sekolah tempat ia didaftarkan sebagai murid pindahan bukan sekolah besar namun cukup nyaman untuk menghabiskan sisa kelas 3 SMAnya yang tinggal sebentar lagi.
Sungguh malang, setelah menghabiskan waktu menunggu di kantin sampai bel, Ryan tetap tak bisa menghindari adat memperkenalkan diri di depan kelas yang sangat memalukan. Ia memilih duduk di kursi kosong tanpa sebelah, daripada duduk bersama seorang anak cowok yang terlihat berharap ia memilihnya. Ryan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Pelajaran yang diberikan sudah sering dibacanya dan ia menghabiskan 2 jam untuk melamun daripada mendengarkan guru. Sebelum istirahat seorang cowok datang dan mengenalkan dirinya.
“Hey, aku Nino,” tangannya diulurkan.
“Hey. Aku yakin kamu sudah tau namaku,” jawab Ryan menjabat tangan Nino sambil tersenyum sedikit.
Nino bisa merasakan bahwa Ryan tak ingin diganggu, meski Ryan berusaha bersikap baik. Nino segera meninggalkan Ryan dengan memastikan Ryan tau dirinya memberi waktu padanya untuk sendiri. Ryan sadar akan hal itu, dan agak heran. Tak biasanya ada orang yang mau meninggalkan pusat perhatian tanpa sebuah pertanyaan pun terjawab.
Ketika istirahat datang, Ryan memilih di kelas daripada melihat-lihat lingkungan sekolah barunya. Berkali-kali banyak kepala mengok ke dalam kelas untuk melihat si anak baru. Rupanya berita ada anak baru cepat menyebar dan menjadi daya tarik tersendiri.
Seorang cewek yang sepertinya Ryan kenal sekaligus nggak kenal masuk ke kelas dan berjalan ke arahnya.
“Aku Vina,” kata cewek itu sepenuh tenaga. Mukanya memerah.




Butuh nyali besar buat kenalan sama cowok yang kemarin menabraknya di bandara. Cowok yang ekspresinya sedingin es. Kalimat pertama tadi tu dikatakannya dengan harapan cowok ini akan memberitahu namanya sehingga, Vina punya kesempatan untuk mengumpulkan lagi tenaganya. Cowok itu menatapnya dengan pandangan yang tak bisa ditebak. Tetap harus diakui bahwa cowok ini bener-bener keren dan cakep. Dilirik dari kemarin dia menabraknya, di sekepala lebih tinggi dari pada Vina.
“Ehm, aku Ryan,” jawabnya singkat.
“Ada yang bisa kubantu?,” tambah Ryan ketika sesaat Vina tak mengatakan apa pun juga.
“Ehm, kemarin aku yang kamu tabrak di ruang pengambilan bagasi di bandara,” akhirnya keluar sekalimat panjang dengan lancar meski Vina nggak sempat bernafas.
“Oh, sorry yang kemarin aku lagi buru-buru,” kata Ryan berusaha meminta maaf dengan benar.
“Bukan. Yang kemarin nggak papa. Aku cuma nggak nyangka kamu juga sekolah disini,” Vina mulai bisa beradaptasi dengan gaya bicara Ryan yang sulit ditebak.
“Emmmh,” hanya itu yang keluar untuk menanggapi kalimat terakhir Vina.
Vina yang baru aja mulai mengerti gaya bicara Ryan mulai gelagapan lagi mencari topik. Sejenak hening dan Ryan memindahkan pandangannya ke luar jendela, melamun lagi.
“Kalo gitu aku balik dulu,” akhirnya Vina menyerah karena kehabisan topik. Vina segera berjalan keluar kelas setelah pamitannya hanya dibalas anggukan tanpa melihat ke arahnya. Sebagian cowok membuatnya bingung. Ryan diam karena kebiasaan, pilihan atau malu? Namun jika dilihat dari mimik wajah dan caranya menatap, itu adalah sebuah pilihan.




Ada juga cewek yang berani berkenalan dengan dia. Ryan tau cewek itu berusaha mengajaknya mengobrol, namun Ryan juga sadar bahwa dirinya sama sekali tak mendukung adanya percakapan itu. Ryan baru sadar bahwa cewek bukan teman sekelasnya, dan agak mengejutkan karena dia sebagai cewek tidak memprotes tindakannya yang telah menabrak Vina kemarin.
Hingga pulang sekolah tak ada yang menarik. Ada satu pelajaran yang memang harus ia perhatikan penuh jika tak ingin tertinggal. Ketika bel berbunyi, seorang guru masuk dan menahan murid-murid yang ingin keluar. Ia membagikan lembaran pada anak-anak yang sudah ingin pulang segera dengan kewalahan. Ryan hanya menunggu dengan sabar di belakang.
Namun kemudian kepalanya terasa mau pecah dan segera menyambar lembaran yang ada di tangan guru itu dan langsung pergi. Sambaran Ryan tadi membuat beberapa lembar lainnya jatuh, namun Ryan sudah tak memperhatikan lagi, ia hanya ingin sampai rumah dengan segera. Meski begitu ada saja penghalang. Ia menabrak seseorang, namun rasa sakit sudah tak bisa dibendung dan ia tak bisa berkonsentrasi hingga Ryan langsung pergi tanpa mengucap apa pun.




Benar atau tidak? Itu pertanyaan yang menggema di pikiran Vina jika mengingat bahwa sekali lagi dalam dua hari terakhir Ryan menabraknya, dan untuk yang terakhir tak ada satu kata pun yang terucap. Mungkin ia memang bukan orang baik-baik, pikir Vina. Namun ada suara kecil yang menyangkal pernyataan itu. Wajah Ryan terlihat sangat buru-buru. Bahkan Vina yakin, Ryan tak sadar bahwa orang yang ditabraknya adalah orang yang sama dengan kemarin.
Sungguh bukan hari yang baik baginya. Sudah kenalan nggak digubris sekarang gara-gara surat pemberitahuan datangnya telat jadi telat juga Vina pulang. Tak banyak yang bisa diharapkan dari perjalanan ke Dieng atau selama di Dieng.




Ryan turun dari mobil dan segera masuk ke rumah. Ia langsung menuju kamar tidurnya. Ia mengobrak-abrik lemari mencari obat. Nikky masuk dan heran melihat tingkah Ryan.
“Kamu cari apa?” tanya Nikky.
“Dimana obatnya kak? Kepalaku sakit!” jawab Ryan singkat. Jawaban itu sudah mewakilkan semuanya bagi Nikky bahwa ia harus ikut mencari obat itu juga.
“Tadi pagi kan kamu yang  minum!” kata Nikky sambil melihat di bawah selimut. Dan obat yang dicarinya pun ditemukan.
“Nih!” Nikky menyodorkan 2 buah pil kepada Ryan.
Ryan langsung menyambarnya dan menelannya. Setelah itu ia agak tenang dan menjatuhkan diri ke kasur.
Ryan yang tadi masuk ke kamar secara terburu-buru sehingga isi tasnya berserakan dimana-mana. Nikky mengambil selebaran yang tadi dibagikan. Ia membuka klipnya lalu membacanya. Ryan yang masih menunggu obat yang minum bekerja tidak sadar apa yang sedang kakaknya lakukan.
“Kamu nggak boleh ikut ke Dieng!” tiba-tiba kakaknya berkata tegas.
“Hah?” Ryan bertanya bingung. Mukanya meringis masih menahan sakit kepalanya.
“Ini ada surat pemberitahuan akan ada rekreasi ke Dieng selama 3 hari 2 malam seminggu lagi, dan kamu nggak boleh ikut,” Nikky menjelaskan.
“Jadi itu isinya,” respon Ryan. “Aku akan tetap ikut. Aku masih anak baru dan kegiatan itu bisa membuat aku lebih beradaptasi dengan lingkungan sekolah,” bantah Ryan.
“Kalo kamu mau ikut ya udah nggak papa. Tapi 3 hari lagi kamu ikut kakak ke dokter buat minta surat ijin hal-hal yang tidak boleh dilakukan sesuai kondisimu,” Ryan agak terkejut karena kakaknya sedang lunak. Tapi sama saja jika membawa surat ijin semacam itu.
“Hhheh . . . .  ok”, Ryan mendengus menyerah. Sakit kepalanya mulai reda. Namun penyakit yang mengintainya tetap membuatnya was-was.
“Biayanya berapa kak?” tanya Ryan pada kakaknya yang masih memegang surat itu.
“Tulisannya sich lima puluh ribu. Kenapa?,” Nikky balas bertanya.
“Nggak apa-apa,” jawab Ryan sambil berpikir. “Kak, papa meninggal gara-gara apa sih?”
“Hah?,” Nikky agak terkejut mendengar pertanyaan adiknya itu. Ia tak pernah menduga Ryan akan menanyakannya.
“Papa tu sakit apa?” desak Ryan.
“Papa…. Papa itu …kebanyakannn ngrokok makanya dia sakit trus meninggal. Kenapa kamu tanya tentang papa?” Nikky berusaha menyamarkan ekspresi wajahnya yang kurang meyakinkan.
“Nggak. Aku cuma bingung aja. Rasanya waktu aku umur tujuh tahun harusnya kan aku tau kenapa papa meninggal waktu itu,” jawab Ryan mengakui kepolosannya. “Ya udah aku mau tidur,” tambah Ryan dengan nada polos yang belum hilang.
Kakaknya tidak menjawab, namun segera keluar menutup pintu kamar, membiarkan adiknya beristirahat.




Motor yang dikendarai Ryan serasa membangunkan semua otot-ototnya yang masih ingin tidur. Setelah berdebat sebentar akhirnya kakaknya mengijinkan dia naik motornya waktu SMP dulu. Meski udah lama nggak dipake, tapi Pak Asman, sopirnya rajin memanasi motor ini dan kadang-kadang dipakai mengantar penmbantu ke pasar.
Saat sampai sekolah, anak-anak udah cukup banyak, namun parkiran motor masih agak sepi sehingga cukup mudah mendapat tempat parker yang strategis.
Semua cewek yang Ryan lewati melihat ke arahnya tanpa berusaha menyembunyikan tatapan mereka. Ryan merasa risih dan berjalan lebih cepat ke kelasnya. Namun baru sampai di depan kelas dan belum sempat meletakkan tasnya, Nino muncul.
“Kamu ikut ke Dieng kan?” tanyanya.
“Aku ikut,” jawab Ryan singkat berusaha sedikit tersenyum meski ia sama sekali tak berminat.
“Kamu di bus duduk sama aku ya!” Ryan hanya mengangguk, dan setelah melihat anggukan Ryan, Nino segera keluar kelas. Nino tampak tak terganggu dengan wajah dingin Ryan.
Hari itu Ryan memutuskan untuk mencoba makanan yang ada di kantin, berhubung ia belum sarapan, sementara kakaknya sudah membawakan obat, maka, mau tidak mau ia harus makan. Ia membeli semangkuk bakso setelah sebelumnya ia meminum obat. Sebuah meja kosong di pojok kantin seperti sudah dipersiapkan untuk dirinya. Ia makan dengan tenang sampai sejumlah cewek datang dan mulai bertanya padanya.
“Kamu anak baru itu kan?” tanya cewek yang sepertinya ketua geng.
Ryan hanya balas mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari baksonya.
“Punya hape kan. Boleh minta no nya?” cewek tadi bertanya lagi disambut teriakan ciieee ciiieeee bukan hanya dari teman se-gengnya tapi juga sekitar meja yang mendengar.
Kali ini Ryan terpaksa menjawab, “Ada tapi nggak pernah aktif,” singkat dan dingin.
“Aku Rina, ini Kani, Chika, ….,” cewek yang memperkenalkan diri sebagai Rina, memberitahu semua nama orang di gengnya. Namun baru tiga nama, Ryan sudah asyik dengan baksonya. Bersamaan dengan suapan terakhir, gantian cowok-cowok dalam jumlah besar datang. Ryan berdiri untuk kembali ke kelas dan berusaha melepaskan diri dari cewek-cewel ini.
Cowok itu menghampiri Ryan dan menatapnya dengan pandangan mengancam. Lalu sebelah tangan cowok itu merangkul cewek yang namanya Rina tadi. Ryan menatap mata cowok itu tanpa rasa bersalah sambil menerobos kerumunan. Cowok itu terlihat puas dengan sikap cuek yang ditunjukkan oleh Ryan.




Setelah kejadian minggu lalu nggak ada yang berusaha berkenalan lagi dengan Ryan. Ryan terlalu dingin pada mereka. Beberapa cowok yang dikenal Ryan bertambah tapi mereka lebih suka tinggal diam. Tidak seperti Nino yang paling tidak sehari dua kali menyapa atau menawarkan bantuan. Ryan merasa tidak enak pada Nino. Ia tidak berhak mendapat perlakuan dingin. Tapi itu lebih baik bagi Ryan jika ia tak ingin punya teman.
            Atau Vina kadang juga menyapa meski hanya dibalas dengan tatapan dingin dari Vino atau dengan anggukan. Ryan jadi berpikir apakah mereka tidak ingin menjauh dariku. Dari orang yang tak pernah menganggap mereka ada?
            “Obatnya udah?” pertanyaan kakaknya membuyarkan lamunan Ryan. Ryan pun hanya mengangguk.
            “Surat ijin? Jaket, sweater? Senter?” kakaknya menyerocos. Mengabsen semua bawaan Ryan. Sikap kakaknya agak ganjil dalam seminggu terakhir. Tak ada perdebatan, tak ada teriakan juga.
            “Udahlah, kak. Ini di sekolah. Dan lagi pula itu cuma 3 hari,” Ryan berusaha meredakan kecemasan kakaknya.
            “Sorry. Aku cuma terlalu khawatir,” Nikky berusaha tenang.
            Rombongan sudah berkumpul dan siap berangkat. Para guru berusaha mengabsen.
            “Udah sana!” Nikky menyuruh. “Hati-hati!” tambahnya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
            Ryan berjalan ke arah bus sebelum ia teringat akan sesuatu.
            “Jangan coba-coba hubungi mama!” katanya serius dan dingin.




Rombongan besar itu membawa 4 bus pariwisata level VIP. Cukup mewah. Satu bus berisi anak dari bermacam-macam kelas. Dan Nino senang bukan main ketika tau gebetannya berada satu bus dengannya.
“Aku mau pacaran dulu ya . . . . .  doain semoga bisa pacaran beneran,” pamit Nino penuh harap. Nino tak perlu merasa tak enak meninggalkan Ryan duduk sendirian, Nino tau apa yang diinginkan Ryan.
“Oke,” jawab Ryan dengan senyum tulus.
Setelah itu Nino segera berjalan ke bagian belakang bus. Ryan memasang I-Podnya dan berusaha terlelap dalam buaian lagu.




“Gimana?  Kapan mau jadian sama Nino?,” tanya Vina.
“Apaan sihh?” Maya menyangkal. Mukanya merah.
“Udah ngaku aja!” giliran Inka yang mengorek informasi. Maya hanya diem aja.
“Eh, tu sih Nino ke sini!” Vina memberitahu. Maya langsung melihat ke arah depan. Bisa saja Vina bohong untuk mengerjai Maya, namun Nino memang sedang menuju ke arah mereka. Nino semakin dekat dan Maya semakin merah wajahnya.
“Boleh aku pinjem bentar nggak tempat duduknya?” Nino bertanya pada Vina yang duduk di sebelah Maya. Maya langsung memberi instruksi dengan tangan agar aku segera pergi.
Baiklah aku pergi, kata Vina dalam hati. Vina berdiri dan menyerahkan kursinya ke Nino. Inka tertawa penuh arti sekaligus kasihan melihat melihat Vina berdiri .
Vina melihat ke belakang dan sadar bahwa kursi sudah penuh. Akhirnya Vina berjalan ke depan dan dan melihat dari belakang ada satu kursi yang ia tebak adalah kursi milik Nino tadi. Ketika akan duduk, Vina tersadar bahwa Nino duduk bersama Ryan.
Vina berusaha duduk diam agar tidak mengganggu Ryan yang tampaknya sedang tidur sangat nyenyak. Wajah Ryan terlihat sangat polos ketika tidur. Ada segaris beban yang tampak memenuhi garis di keningnya.
Bus tiba-tiba mengerem mendadak, mengejutkan seluruh penumpang. Ryan segera bangun dan kembali ke alam sadar.
“Sorry, bukan aku yang mbangunin kamu,” Vina segera berbicara ketika melihat Ryan menatapnya penuh tanda tanya. “Busnya ngerem mendadak,” tambahnya.
“Nggak papa kok. Cuma kaget,” bahkan kalimat sekecil itu pun tetap mengandung nada dingin yang sangat jelas. Ryan melepaskan Headset yang tersambung ke I-Pod dari telinganya.
Setelah itu tak ada pembicaraan. Vina berharap Ryan menanyakan sesuatu untuk mengisi keheningan, tapi tak ada apapun. Ia sudah berusaha menyapa Ryan berulang kali di sekolah namun selalu mendapat respon yang dingin. Vina jadi ingin tau kenapa ia bersikap seperti itu.
“Ehmm, kamu sepertinya nggak suka ya sama aku?” Vina berusaha menarik perhatiannya. Dan sepertinya berhasil. Ryan langsung menengok ke arah Vina.
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanyanya masih dengan nada dingin. Ryan membuang pandangannya ke luar jendela.
Vina memandang lantai bus.
“Kamu selalu bersikap dingin sama aku dan aku nggak tau apa salahku,” kata-kata itu meluncur begitu saja. Dan begitu sadar apa yang ia katakan, Vina langsung memandang Ryan. Ryan tampak berusaha mencari jawaban yang tepat, berusaha keras lebih tepatnya.
“Aku bersikap sama dengan semua cewek,” jawaban singkat itu menyadarkan Vina bahwa Ryan memang sengaja berperilaku dingin pada semua orang terutama cewek. Tapi kenapa? Kenyataan bahwa Ryan tak ingin merasakan kehadiran cewek membuat Vina kecewa.
“Aku tidak mengerti. Mereka nggak punya salah apapun kepadamu kuharap, termasuk aku,” Vina berkata tidak dengan nada mendesak, namun cukup mengganggu Ryan.
“Mungkin hanya kebiasaan,” jawab Ryan singkat, dingin, dan mengakhiri percakapan.
Keheningan menyelimuti keduanya selama sisa perjalanan. Vina dapat melihat, bahwa Ryan berusaha tidur kembali. Wajahnya bukan tipe wajah yang mudah dilupakan jika diamati lebih jauh. Dari wajah itu Vina seperti merasakan rasa kesepian dan diabaikan. Dengkuran kecil yang hanya bisa didengar Vina keluar dari mulut kecil Ryan. Dengkuran itu terasa menenangkan hati.
“Vin, dah mau sampai,” sebuah suara membangunkannya. Kepalanya terasa agak kaku karena menggantung di atas pundak kanannya. Nino berdiri di depannya, masih menunggu.
“Tolong dibangunin ya Ryan. Aku mau ngambilin barang-barangnya Maya yang ada di atas,” tambah Nino setelah yakin Vina sudah bangun.
Vina bengong mendengar permintaan Nino.
“Ry, Ryan. Kita udah mau sampe,” Vina mencoba dengan lembut. Ditepuknya lengan Ryan yang tertutup jaket.
“Ryan, bangun,” cobanya lagi dengan lembut. Di tepuknya pergelangan tangan Ryan yang tak tertutup jaket. Hangat yang tak wajar terasa di tangan Vina. Terlalu hangat untuk orang sehat. Tangannya masih di atas  tangan Ryan ketika Ryan mendadak bangun. Vina segera menarik tangannya. Dapat dilihat bahwa Ryan berusaha bangun. Wajahnya terlalu pucat untuk menempuh perjalanan 4 jam.
“Kamu sakit?” tanya Vina refleks. Kekhawatiran menyelimuti wajahnya.
Ryan segera tersadar.
“Nggak,” jawab Ryan. Wajahnya tetap pucat namun tak bisa menyembunyikan kekerenan. Dengan cepat Ryan juga keluar dari barisan kursi seperti Vina dan anak lainnya yang berusaha menurunkan barang dari bagasi kecil di atas. Namun baru saja berdiri untuk mengambil barangnya, Vina melihat Ryan agak sempoyongan dan segera berpegangan pada kursi lagi.
Ryan menatapnya dengan pandangan tak usah ikut campur yang halus. Itulah kali pertama Vina mendapat perlakuan yang menurutnya halus dari Ryan. Vina berpikir pasti itu hanya syndrome bangun tidur yang diderita orang setelah tidur terlalu lama atau terlalu nyenyak.





Sungguh membosankan semua kegiatan yang diadakan. Ryan hanya duduk dan mendengarkan seperti yang lainnya juga. Pembagian kamar sudah ditetapkan dan kegiatan seperti itulah yang akan diberikan sepanjang sisa hari itu. Makan siang dan malam menjadi ajang ngobrol yang menyenangkan jika mengingat pada waktu lain hanya bisa duduk dan mendengar.
Ryan tak pernah menyangka akan ada orang yang menanyakan kewarasannya. Apalagi orang itu cewek. Segala perilakunya selama ini tak pernah ada yang menanyakan kecuali satu cewek ini. Dan pertanyaan yang diajukannya tepat mengenai sasaran. Bagaimana ia sangat tanggap pada keadaan seseorang sungguh membuat Ryan kagum. Ia sudah lama tak pernah tidur senyenyak itu, karena ia takut akan menghadapi mimpi yang lebih buruk. Namun suhu badan naik dan pusing tak juga hilang bersamaan dengan mimpi buruk.
Perhatian yang diberika Vina membuat Ryan merasa terganggu. Ia tak terbiasa mendapat perhatian dari orang yang tak dikenalnya, cewek lagi. Hal itu tak bisa ia lupakan.
“Kamu mau langsung tidur?” Nino bertanya setengah tak percaya ketika jam tidur datang.
“Memang masih ada acara?” tanya Ryan lebih lunak dari biasanya. Ia harus beristirahat cukup, apalagi cuaca sangat dingin.
“Tapi bukannya tadi kamu udah tidur lama banget,” tanya Argha.
“Kalo bisa tidur ya mending tidur sekarang kan,” Ryan menjawab dengan mengangkat bahu dan sedikit senyum terlukis di wajahnya.
Ryan tak sadar bahwa teman-teman sekamarnya agak tak percaya akan sikapnya yang lebih hangat meski sikap cuek masih kental dalam setiap kata-katanya.
Hari kedua jauh lebih baik karena terdapat banyak permainan dalam kegiatan. Ryan berhasil menunjukkan kerjasama yang baik dengan ketiga orang teman sekamarnya dalam permainan penyelamatan teman. Ketika semua temannya tertangkap, ialah yang mengembalikan keutuhan dengan mata tertutup dan yang paling terlihat ialah bahwa Ryan sama sekali tak bicara dalam permainan itu. Meski teman-temannya memuji keahliannya mendengarkan suara teman sekelompok. Hanya saja sekali Ryan tertawa lepas setelah permainan karena mendengar lelucon dari Nino. Ryan sendiri merasa lebih sehat ketika tertawa.





Lelahnya hari kedua tak berarti banyak, karena lelah hari ini bukan lelah duduk dan mendengar tapi bermain. Setidaknya itulah yang Vina pikirkan saat malam api unggun berlangsung. Semuanya berkumpul di halaman luas di belakang villa. Semua masih membicarakan hari itu. Penyelamatan Ryan dalam salah satu permainan menjadi salah satu topik yang tak lepas dari setiap mulut.
Acara baru akan mulai lima belas menit lagi tapi sebagian sudah siap di pinggir lingkaran. Vina tak melewatkan apa pun, termasuk tawa lepas yang tak pernah dilihatnya dari wajah Ryan. Betapa sangat bahagianya wajah Ryan ketika tertawa tadi. Seolah-olah sudah sangat lama tak ada yang membuatnya tertawa.
Vina merasa bagaimana dirinya begitu peduli pada Ryan. Wajah cowok itu selalu terlukis di pikirannya sejak kemarin.
“May, aku ke kamar mandi dulu ya?” Vina segera beranjak. Sebetulnya setiap kamar ada kamar mandinya, tapi karena harus buka kunci, Vina merasa tak sanggup maka ia langsung ke kamar mandi umum dekat kamar para cowok.





Ryan berusaha menjaga kondisinya setelah kegiatan hari ini. Airlah yang membuatnya was was. Permainan awal yang menggunakan air lalu dilanjutkan permainan berikutnya tanpa ganti baju benar-benar petaka. Obat yang biasanya ia abaikan dan hanya minum seingatnya saja, hari itu ia minum dengan tepat, bahkan yang 2 jam sekali pun ia minum juga meski tidak terlalu perlu.
“Akhirnya keluar juga kamu! Cepet udah kebelet nih!” Argha segera masuk kamar mandi dan mendorong Ryan keluar. Teman-teman yang lain hanya tertawa melihat tingkah Argha yang konyol. Sementara Ryan sendiri segera duduk di pinggir tempat tidurnya.
Namun sekali lagi ketika Ryan memikirkan penyakitnya, maka sakit pun datang dan langsung memeras kepala Ryan. Ryan terlonjak dan berusaha memasang wajah tenang, meski tak mudah. Maka ia segera mengambil ranselnya dan keluar dari kamar meninggalkan yang lainnya. Ia berlari ke kamar mandi umum terdekat. Ia tau bahwa orang-orang sedang berada di kamar masing-masing atau di pinggir api unggun, maka pasti kamar mandi itu sepi.
Ia segera masuk ke ruangan dan meletakkan tasnya di lantai di antara pintu-pintu yang terbuka.
“Aaarrrghh….,” erangnya tak kuasa menahan sakit. Ia masih terus mencari dimana terakhir kali ia menyimpan obatnya. Baru satu jam yang lalu ketika makan malam berakhir ia menyimpan obatnya tanpa ada yang tau.
Satu. Ia temukan satu dari ketiga obatnya. Terus cari, katanya dalam hati. Payah! Gara-gara kontrol dokter kemarin, obat yang harus diminum jadi tambah banyak, pikirnya. Ryan meletakkan obat pertamanya di lantai, dan meneruskan mencari. Obat kedua ia temukan di bagian bawah tasnya. Tangannya gemetar hebat, sehingga obat yang ia pegang jatuh dan menggelinding menjauhinya. Namun Ryan tak peduli, yang penting kurang satu obat lagi belum ia temukan. Akhirnya ia membalik tasnya agar semua isinya keluar. Dan itu dia. Obat ke tiga yang ia cari.
Sakit kepalanya membuatnya tak bisa berpikir. Ia menyambar obat ke satu dan segera mengambil obat kedua. Bersama obat ke tiga ia menghampiri wastafel terdekat. Ia telan semua obat sesuai dosis meski tangannya bergetar hebat. Lalu ia segera mengambil air dari keran untuk membantu melancarkan penelanan obat.
Setelah itu ia pun jatuh berbaring di lantai ruang kamar mandi yang dingin. Menunggu hilangnya rasa sakit. Botol-botol obat ikut terlepas dari tangannya. Terasa amat lama. Lalu sebuah suara, suara kunci dibuka terdengar, namun berusaha ia abaikan.
“Ryan?” sebuah suara yang tak ingin didengarnya memanggil. Ia tak ingin mendengar siapa pun.
Ryan menengok dan melihat Vina berdiri kurang dari 2 meter darinya dan semakin dekat.
“Stop!” sergah Ryan. Ryan mencoba berdiri. Kepalanya masih ingin pecah meski sudah lebih baik, sehingga ketika berdiri ia berpegangan pada bibir wastafel dengan kaki gemetar. Setelah bisa berdiri dengan stabil, Ryan membereskan seluruh isi tasnya beserta obatnya.
“Untuk apa surat ijin ini?” Vina berkata sambil membaca surat itu. Ryan sadar, bahwa yang dipegang Vina adalah surat ijin untuk guru dari dokter tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya. Rupanya saat ia mengeluarkan isi tasnya surat itu terbang lebih jauh dari yang lain. Segera ia menghentikan kegiatannya membereskan isi tas dan segera menghampiri Vina, dan mengambil surat itu lalu meremas dan membasahinya hingga hancur.
“Lebih baik kamu nggak ikut campur!” perintah Ryan kasar.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Vina mencoba mengabaikan perintah Ryan.
Ryan jatuh berlutut karena kakinya gemetaran. “Nggak ada yang salah sama aku,” bentak Ryan. Kepalanya berdenyut dan refleks Ryan memegang kepalanya. Sudah jauh lebih baik. Ryan segera membereskan sisa isi tasnya dan beranjak pergi.
“Untuk apa obat-obat itu?” sebuah perntanyaan keluar dari mulut Vina dan membuat Ryan berhenti melangkah.
“Bukan urusan yang harus kamu pikirkan,” kata Ryan tanpa membalikkan badan dan ia segera pergi.





Sepanjang sisa malam setelah api unggun, Vina duduk di depan laptop dan modem yang ia bawa dari rumah. Sekali lagi ia mengetikkan kalimat ‘ciri-ciri pecandu’ dan berusaha mencocokkan dengan apa yang ia lihat di kamar mandi. Vina menduga Ryan adalah seorang pecandu melihat bagaimana ia tak ingin ada orang yang tau. Minum secara sembunyi-sembunyi, cocok. Sakau, tampaknya Ryan tadi lebih ke gemetaran daripada sakau, pikir Vina, jadi tak cocok. Lalu Vina teringat akan surat ijin dari dokter yang tadi baru dibacanya sedikit.
Baiklah, akhirnya Vina menyerah dan memilih menunggu perjalanan pulang sebagai saat yang tepat untuk menginterogasi Ryan. Sungguh tak adil bahwa ia memikirkan Ryan yang sudah membentak-bentaknya. Meski begitu, Vina tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Vina yakin besok Nino akan duduk dengan Maya lagi dan otomatis tak ada kursi lain selain di tempatnya kemarin.
Vina mematikan modem dan laptopnya lalu memasukkannya ke tas. Ia tak bisa berhenti memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada si anak baru. Terlalu misterius. Malam itu ia berusaha tenang menunggu datangnya pagi, berusaha menepis bayang Ryan dengan wajah pucat yang dilihatnya.
Keesokan paginya, acaranya hanyalah berfoto dan berjalan-jalan seputar villa. Vina yang biasanya menikmati acara foto-foto dimana pun dan kapan pun tampak tak bersemangat. Dari kejauhan Vina melihat gengnya Rina minta tolong difotokan dengan pose meloncat dengan setting pemandangan kaki gunung. Jika tidak dalam keadaan ini pasti ia yang ada di sana.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke bus duluan. Ia menemukan Nino dan Maya sudah duduk di tempat kemarin ia dan Maya duduk. Ada juga beberapa orang yang sudah terlalu lelah untuk beraktifitas lebih. Akhirnya, Vina memilih tempat di bagian tengah. Ia masuk dan duduk dekat jendela. Ia jadi berpikir, jika Nino disini, dimanakah Ryan? Mungkinkah ia bersama yang lain? Atau duduk merenung sendirian?





Semalaman sudah Ryan merenungkan kejadian itu. Ia agak merasa bersalah karena membentak Vina semalam. Tapi ia tak bisa menyalahkan dirinya juga. Rasa sakit membuatnya lebih defensif. Amat sangat tidak sopan perbuatan itu pada seorang wanita. Ryan sudah menyiapkan serangkaian alasan jika akhirnya Vina memilih untuk bertanya. Tapi ia berharap Vina takkan bertanya.
Duduk di atas batu dan melihat alam yang belum tentu akan dilihatnya lagi membuatnya tak ingat waktu. Ketika melihat ke jam tangan, ia sadar lima belas menit lagi bus akan berangkat. Ia membawa ranselnya dan berjalan ke arah bus di parkir. Tampaknya bus hanya tinggal menunggu para guru yang masih duduk-duduk di trotoar jalan.
Benar-benar penuh bus itu. Ia yakin pasti bisa menemukan satu tempat kosong untuknya. Di bagian belakang, sudah terlalu penuh, begitu juga bagian depan. Namun ia melihat sebuah kursi kosong dan seseorang duduk di sebelahnya di dekat jendela. Tak ada pilihan lain maka ia mengambil kursi itu.
Hening. Tak ada yang memulai bicara. Ryan benar-benar ingin minta maaf akan kekasarannya kemarin namun tidak berani mengucapkannya.
Setelah bus berjalan, akhirnya Ryan memutuskan untuk bersikap gentle. Maka ia memandang Vina.
“Eeehhmmm…… soal kemarin aku minta maaf,” Ryan berusaha setulus mungkin meski sekarang ia merasa bahwa nada dingin sudah terikat kuat pada logatnya. “Aku nggak bermaksud membentak kamu,” selesai. Ryan sudah lega bisa mengucapkannya meski belum mengetahui apa jawabannya. Lalu ia melempar pandangan ke pemandangan depan bus.
Masih belum ada jawaban.
“Oke…. Nggak masalah,” Vina menjawab tulus. “Tapi kamu itu kenapa? Kamu sakit apa?” pertanyaan itu terdengar tulus.
“Ehm….,” Ryan sedang menyusun jawaban yang akan dilontarkan. Sekilas ia ingin memberitahu yang sebenarnya, namun ia tak ingin orang tau bahwa ia lemah lalu merasa kasihan padanya.
“Ya?” desak Vina.
“Jika seorang anak jatuh dari sepeda dan mamanya langsung membawanya ke dokter padahal anak itu sudah SMA, apa perasaanmu?” sungguh tidak nyaman rasanya harus berbicara sebanyak itu. Ryan masih memandang ke depan.
“Jadi ini merupakan masalah mama yang terlalu khawatir?” simpul Vina.
“Begitulah,” jawab Ryan kembali dingin. Ryan menoleh untuk melihat wajah Vina apa ia percaya atau tidak. Dan tampaknya ia percaya. Ryan belum pernah benar-benar memandang wajah Vina. Ketika ia melihat wajah itu, seperti ada pancaran perhatian tulus. Ryan sangat membenci perhatian semacam itu. Seolah-olah dia itu sangat perlu pengobatan atau perhatian. Lalu Ryan membuang wajah lagi. Namun wajah itu sangat tulus dan menentramkan hati.
“Jadi bisa kau jelaskan untuk apa surat ijin itu?” selidik Vina lagi.
Ryan mulai sadar bahwa cewek ini udah cukup tau sampai disini, dan cewek ini harus dibuat menjauh darinya.
“Hal yang sama juga,” jawab Ryan dingin. “Aku minta maaf  bukan berarti aku menarik perkataanku,” tambah Ryan lebih dingin.
“Mungkin seharusnya kau periksa ke dokter secara menyeluruh untuk meyakinkan mamamu,” sarannya.
“Sudah kubilang jangan ikut campur!” suara Ryan lebih lembut namun juga tegas. Kata-kata Vina sangat menyakitkan hatinya, mengingat mamanya sama sekali tak peduli dengannya. Ryan memandang Vina dengan pandangan memohon. Akhirnya hal itu tak berarti.
“Jadi kamu sebetulnya sakit apa?” desak Vina.
Ryan tak ingin bertengkar dengan seorang cewek hanya gara-gara cewek itu terlalu perhatian. Maka ia segera memposisikan diri untuk tidur, mengabaikan pertanyaan Vina.
“Aku heran. Setelah kuberitahu yang sebenarnya kau malah berharap lebih. Apa kau berharap aku ini punya penyakit parah sehingga aku akan mati?” balas Ryan akhirnya untuk membungkam Vina. Kata-kata itu menyiratkan nada dingin yang amat menyakitkan. Ryan menatap mata cewek itu dan menangkap perasaan bersalah. Namun ia tidak boleh menenangkan cewek itu meski keinginan itu begitu kuat. Maka ia pun berusaha tidur.





Ada perasaan sakit yang sangat kuat, ketika perhatian yang diberikannya disalah artikan. Vina tak bermaksud untuk menyinggung perasaan Ryan. Air matanya serasa sampai ingin keluar. Seharusnya tak begini. Seharusnya ia bisa seperti biasanya, dicuekin, dimarahin, dituduh oleh siapa pun namun ia tetap membuka mata. Bukan seperti sekarang, memejamkan mata untuk menahan tangis.
Sekali lagi dengkuran kecil keluar dari mulut kecil Ryan dan menenangkan hati Vina. Perjalanan kali ini terasa lebih lama karena ia tak bisa tidur, namun cukup nyaman bisa mengamati Ryan tidur. Ada kebahagiaan tersendiri melihat Ryan tidur begitu damai.
Sebagian besar anak turun di pinggir jalan dekat rumah mereka sehingga saat sampai di sekolah tak banyak yang tersisa. Vina dan Ryan termasuk diantaranya. Kali ini Ryan bangun dengan sendirinya dan segera mengambil barangnya yang ada di bagasi atas. Biar bagaimanapun ia adalah seorang lelaki, maka ia menurunkan juga tas ransel Vina yang ternyata lebih berat dari miliknya tanpa sepatah kata pun. Setelah itu Ryan segera turun, meinggalkan Vina yang terheran-heran melihat kesopanan Ryan.
Vina segera turun, takut mamanya mengomel karena kelamaan menunggu. Masih ada empat orang, lima termasuk dirinya dan … Ryan yang belum dijemput. Ketiga orang memutuskan untuk ke kamar mandi sekolah sebentar ketika sebuah mobil Kijang Innova hitam datang dan berhenti di depan Ryan.
Perhatian Vina terserap penuh ke mobil itu.




Akhirnya mobil yang ditunggunya datang juga. Ryan sudah ingin pulang ke rumah. Terlalu banyak kebohongan yang dikatakannya dalam 3 hari terakhir, dan itu sangat mengganggunya. Ia sama sekali tak ingin berbohong pada Vina, dan entah mengapa rasa ingin jujur begitu kuat menderanya jika ia berada di dekat Vina.
Ryan heran karena Pak Azman membawa mobil yang besar bukan yang lebih kecil seperti biasanya. Mobil itu berhenti di depannya. Pintu tengahnya dibuka dari dalam dan Ryan melepas ranselnya agar bisa masuk ke duluan ke mobil bagian belakang. Ia meletakkan ranselnya ke dalam, ada kak Nikky di dalam yang memindahkan ranselnya ke bagasi. Baru satu kaki naik di mobil, Ryan menyadari sesuatu yang membuatnya menurunkan kaki lagi.
“Ayo pulang, Ry!” akhirnya suara itu muncul juga. Terdengar dari jok depan mobil.
“Kapan mama pulang?” tanya Ryan dari luar, dengan nada yang benar-benar dingin. Matanya memandang kakaknya yang duduk di kursi tengah dengan pandangan menuduh. Kakinya yang sudah naik tadi ia turunkan lagi.
“Udah Ry, ada banyak orang disini!” Nikky menengahi. Jika bukan karena ada orang disekitar Ryan pasti lebih memilih lari daripada naik mobil.
Ryan segera masuk mobil dengan muka marah. Sepanjang perjalanan tak ada yang berusaha memecah keheningan. Semuanya sudah menduga akan ekspresi Ryan. Tak ada yang mengharapkan lebih baik dari itu.
Sesampainya di rumah, Ryan langsung masuk kamar. Ia membereskan sisa-sisa kehidupannya di Dieng, dan selebihnya ia mengurung diri di kamar.
Keadaan yang sebelum ia berangkat tampak sangat menyenangkan kini berubah drastis bukan hanya di sekolah yang kini ada seseorang dan itu cewek yang berusaha memperhatikan hidupnya. Dan di rumah, mama pulang. Hidup macam apa yang menunggunya esok?
“Ry, Kakak masuk ya?” terdengar suara Nikky setelah ketukan di pintu. Ryan tetap tak menjawab, hanya duduk diam di lantai sambil bersandar di tempat tidur. Ia tampak tak suka ada yang mengganggu. Kakaknya masuk dan membiarkan pintu terbuka.
“Ryan, kakak nggak kuat bohong lagi. Apalagi ini menyangkut hidup kamu,” suara itu terdengar sangat tulus. “Kakak sama mama nggak ingin kehilangan lagi,” kata-kata tampak belum selesai. Ryan merasa ada yang disembunyikan dibalik kalimat itu.
Ryan tetap diam. Berusaha kembali ke lamunannya.
“Ryan, mama sayang sama kamu nak,” suara mamanya terdengar memecah keheningan. Suara yang sangat dirindukan sekaligus tak ingin didengar Ryan. Ryan menoleh sedikit meski tak memandang mamanya.
“Mama rasa inilah saatnya, kamu tau sesuatu, sesuatu yang mungkin akan membuat kamu kecewa,” suara mamanya bergetar seperti mengenang sesuatu yang sangat menyedihkan.
“Kami nggak pernah cerita karena kami ingin kamu hidup tanpa beban, nak,” tambahnya lagi. Suaranya terdengar seperti sedang menangis. Ryan tetap diam, tapi Nikky dan mamanya tau kalau Ryan mendengarkan.
“Papa meninggal….,” Ryan agak terkejut. Dari sekian banyak kenangan pahit kenapa ini yang dipilih. “Papa itu meninggal karena sakit, sakit parah. Sungguh saat itu mama nggak mampu berbuat apa-apa untuk papamu,” mamanya tampak tak kuat menyelesaikan cerita itu.
“Ryan…,” giliran kakaknya meneruskan “Papa meninggal karena penyakit, penyakit leukemia, penyakit yang kami nggak tau bahwa penyakit itu juga, juga kamu miliki,” kakaknya berusaha keras menyelesaikan cerita itu.
“Maafin mama, sayang,” kata mamanya tulus. “Kami sungguh tak ingin membuatmu tak tau apapun.”
Benar-benar menyakitkan bagaimana lamanya ia tak tau apapun dan kini penyakit yang sama juga mengobrak-abrik tubuhnya.
“Tapi kenapa begitu lama?” Ryan bertanya menahan marah mencoba mencari kejelasan.
Tak ada yang menjawab. Ryan tampak sangat terpukul atas kenyataan itu. Mamanya menghela nafas kemudian menjawab.
“Penyakit itu hanya bisa disembuhkan dengan pencangkokan sumsum tulang belakang,” katanya sudah lebih tenang. “Semua kakak, adik papamu check ke dokter untuk melihat kecocokan. Ingatkah kamu ketika bersama papa kita sekeluarga pergi ke dokter untuk terakhir kalinya?” suara mamanya terdengar sangat sedih. “Kita juga ikut check. Dan setelah itu dokter mengumumkan  ada satu hasil yang cocok dengan papa… semua bersorak gembira termasuk papamu. Senyum yang sempat hilang terpasang lagi di wajahnya,” mamanya kembali berhenti.
Ryan merasa kini mereka sudah sampai pada alasan utama.
“Nggak ada yang percaya pada hasil itu, senyum papamu hanya bertahan sebentar,” mamanya mulai menangis. “Tak ada yang mengira hasil itu positif ada di kamu Ry,” suara mamanya menghilang.
“Tapi papa nggak mau mengganggu pertumbuhan kamu. Anak lelaki yang disayanginya. Operasi itu terlalu berbahaya untuk umur kamu saat itu,” Nikky meneruskan bagiannya. Nadanya datar tanpa emosi.
Dan semuanya menjadi jelas mengapa itu dirahasiakan. Hati Ryan sakit sekali ketika mendengar itu. Tentu saja tak ada yang mengira hasil positifnya ada di tangan seorang anak kecil yang tak tau apapun. Dan papa lebih memilih menikmati penyakitnya daripada mengambil sesuatu yang pasti akan membuat Ryan lebih lemah. Mendengar hal itu saat ini benar-benar membuatnya begitu sakit. Dan akan lebih sakit lagi jika didengar oleh anak kecil polos yang baru berusia tujuh tahun.
Lalu Ryan menyadari sesuatu. Sesuatu yang memang akan terjadi.
“Kalau begitu, semua sudah jelas,” suara Ryan terdengar bergetar. “Aku juga hanya tinggal menunggu waktu seperti yang juga papa lakukan,” suaranya benar-benar putus asa.
“Nak, ini belum berakhir,” suara mamanya dipenuhi harapan. “Beristirahatlah hari Minggu besok dan hari Seninnya mama sudah memesan jadwal untuk kita check agar kamu bisa hidup lebih lama. Masih ada kesempatan,” mamanya benar-benar berharap.
‘Masih ada kesempatan’ kata-kata tak berhenti mengganggu pikiran dan hatinya. Omong kosong, batin Ryan. Papanya tak melakukan hal yang membahayakan orang yang dicintainya, begitu juga aku. Jika ia masih boleh melihat hari esok biarlah ia melihatnya tanpa perlu ada yang berkorban, bahkan jika memang hidupnya harus berakhir biarlah itu berakhir tanpa menyeret orang lain ke dalam penyakitnya.
Hari minggu sekali lagi sakit itu mengganggunya. Ketika akan meminum obat itu, sesuatu menetes ke dalam gelas. Darahnya yang lain segera mengalir dari hidungnya diselingi sakit kepala. Ryan langsung mengusap darah dengan lengan kaosnya, namun tetap mengalir. Akhirnya ia menelan obat itu dengan air bercampur darah dan segera berbaring. Menunggu berhentinya darah mengalir. Ia tak suka menyadari bahwa dirinya sekarang hanya seonggok makanan bagi penyakit semakin berjaya penuh kemenangan.
Tak ada yang perlu tau apa yang terjadi hari itu. Hanya sekali sehingga tak perlu dicemaskan, pikir Ryan. Biar bagaimanapun ia tak ingin membuat kakak atau mamanya cemas lagi. Ia sudah cukup merepotkan.
Ryan sudah menyiapkan surat ijin sakit untuk sekolah. Teman-temannya pasti menganggapnya mudah sakit, namun itulah kenyataannya. Maka sebelum ke rumah sakit, Pak Asman disuruh mengantar surat dulu ke sekolahnya.
Di mobil tak ada yang mencoba berbicara. Kak Nikky dan gelisah dengan keadaan diam, sama juga dengan mama, namun Ryan sendiri merasa nyaman dengan kesunyian ini. Ryan merasa agak dingin hari itu, maka ia memakai kaos lengan panjang dan celana jins.
Pemeriksaan benar-benar lama dan menegangkan. Dokter yang memeriksa sepertinya tidak berharap banyak atas hasil tes itu seperti Ryan. Tidak seperti mama yang sangat berharap. Baru jam dua mereka sampai di rumah.
Entah ada acara apa, tapi ada enam motor yang tidak dikenalnya diparkir di depan teras rumahnya. Lalu, tiba-tiba bibi keluar.
“Den Ryan, itu ada temannya datang mau menengok,” bibi menjelaskan.
“Arrrggh…,” erang Ryan. Ia tidak suka dengan keadaan diharuskan banyak ngomong. Namun sebaliknya dengan mamanya. Wajahnya yang sudah pucat pun bertambah pucat.
“Wah… temen-temen baru kamu baik ya! Ayo, masuk!” kata mama ketika melihat aku berhenti masuk ke dalam rumah.
Ryan pun melangkah. Dan tentu saja. Sepuluh orang datang dan memenuhi ruang tamu. Dan kemudian Ryan merasa tau siapa tau yang mencetuskan ide menengok dirinya.





Ketika sampai, Vina merasa salah rumah. Tak mungkin juga guru memberi alamat yang salah. Rumahnya sangat sepi. Lalu Nino menekan bel di pojok gerbang dan tak lama seorang yang sepertinya merupakan pembantu membukakan pintu. Ia tampak terkejut melihat banyaknya orang yang berdiri di luar pagarnya seperti mau demo.
“Mau cari siapa ya?” tanyanya sopan.
“Kami teman-temannya Ryan ingin menengoknya,” Nino memberi penjelasan.
“Silahkan, tapi den Ryan lagi pergi sebentar. Sebentar lagi pulang katanya,” kata bibi langsung membuka gerbang.
Semua anak disuruh masuk dan duduk di ruang tamu. Vina merasa bahwa rumah ini sempat tak ada penghuninya kecuali para pembantu untuk beberapa lama. Rumah ini terlalu sunyi dan sangat besar.
Tak sampai satu menit mereka duduk, ada suara klakson mobil. Pembantu tadi yang baru saja masuk segera keluar lagi. Terdengar mobil masuk dan pintu ditutup. Lalu Ryan masuk ke dalam. Vina melihat wajahnya pucat meski begitu mama Ryan muncul di belakangnya dengan senyum manis yang khas dari para ibu-ibu yang memanjakan anaknya.
Kemudian secara tak sengaja Vina menatap Ryan yang menatapnya dengan pandangan menuduh. Vina yakin Ryan sudah mengira bahwa ia yang mencetuskan ide menengoknya. Sepanjang hari Minggu kemarin ia tak bisa berhenti memikirkannya, dan kemudian hari ini dia mendengar Ryan tidak masuk.
Ryan benar-benar terlihat keren meski wajahnya pucat. Kaos lengan panjangnya terlihat sangat pas di tubuhnya yang terlihat, terlihat lebih kurus. Ryan duduk di sofa berlengan untuk satu orang.
“Permisi tante,” beberapa orang berbicara bersama pada mama Ryan termasuk Vina.
“O, ya silahkan. Mau minum apa?” mama menawarkan. Namun belum sempat menjawab bibi sudah membawakan senampan gelas penuh es sirup. “Sudah lama ya?” tebak mama Ryan.
“Belum kok tante,” kali ini Vina menjawab refleks.
“Baru aja datang,” Maya yang baru jadian sama Nino melanjutkan.
“Ya udah tante masuk dulu ya,” pamitan itu hanya dibalas dengan anggukan dan senyum.
Kemudian seorang cewek cantik masuk dan tersenyum sambil mengangguk dan langsung masuk ke dalam. Vina merasa tidak suka melihat cewek itu disini. Apalagi sebelum masuk, dia menepuk pundak Ryan dengan sangat bersahabat. Seolah-olah belum pernah diberi sikap dingin oleh Ryan.
“Kamu sakit apa?” tanya Nino memulai.
“Cuma  radang tenggorokan,” jawab Ryan singkat berusaha menghilangkan sikap dinginnya meski tak bisa.
“Oya, sebulan lagi kan ulang tahun sekolah. Ada pesta dansanya. Kamu ikut ya?” tanya Nino.
“Hah? Kok pesta dansa?” tanya Ryan mencoba terlihat tertarik. Vina yang melihatnya, ingin segera pulang.
“Jadi setiap dua tahun sekali pesta dansa diadakan sedangkan tahun depannya diadakan bazaar,” suara Maya memberikan penjelasan.
”Gratis kok,” Argha menambahkan. Biar bagaimanapun Vina dan kawan-kawan sudah berencana akan membuat Ryan datang.
“Ya nanti aku lihat dulu. Aku nggak bisa datang kalo ada kerjaan di rumah yang belum selesai,” Vina dapat merasakan keraguan dalam kalimat itu.
Lalu Mama Ryan datang membawa stoples-stoples makanan dan cemilan.
“Eh, ayo diminum lho!” ajak mamanya. “Ryan pasti dateng,” mamanya memastikan. “Ya kan, Ry?”
Ryan memutar matanya, menganggap itu hanyalah janji konyol.
“Makasih tante,” Nino terlihat sangat senang.
Mamanya Ryan kembali ke dalam.
“Ini brosurnya. Harus pakai tuksedo jangan pake jeans ya…. Ini tahun terakhir kita sekolah! Makanya kamu harus dateng,” Argha juga bersemangat menunjukkan brosurnya. Sementara Vina mengamati bahwa ketika Argha berbicara Ryan kembali melamun.
Ryan hanya mengangguk. Teman-teman yang lain asyik ngobrol sendiri dan mereka menikmati hidangan yang telah di keluarkan. Vina benar-benar merasa bingung pada teman-temannya kerjanya hanya makan saja. Sepuluh menit kemudian, Vina mengajak mereka pulang dan menyuruh Nino berpamitan.
“Ry, kayanya kamu nggak papa deh, jadi kami pulang dulu ya,” katanya mencoba bergurau. Namun Ryan hanya tersenyum kecil.
Ryan mengantar mereka ke teras tempat motor mereka diparkir. Vina beranjak ke motornya. Vina melihat Ryan menghilang di ruangan yang sepertinya merupakan garasi.
“Vin, ban kamu kayanya agak kempes tuh,” Maya membuyarkan lamunannya.
“Hah?” Vina melihat ke bannya dan kemudian. “Tapi kayanya nggak bocor kok. Yang penting masih bisa sampe rumah,” Vina merasa tidak yakin dengan perkataannya sendiri.
“Kayanya emang nggak bocor. Tapi lebih baik dipompa dulu aja,” Argha menyahut.
Lalu Ryan muncul dari garasi membawa pompa yang sepertinya sudah lama tidak digunakan.
“Sini aku pompain dulu,” Ryan berkata tanpa memandang Vina dan langsung mendekat ke ban belakang yang kempes.
Vina mundur dari motornya. Membiarkan Ryan menstandarkan motornya pada standar tengah dengan mudahnya. Beberapa langsung pulang, tanpa menunggu Vina. Hanya tinggal Nino, Maya, dan Argha yang menunggunya. Nino bersama Maya dan Argha membawa motor sendiri. Ryan dengan mudahnya memompa ban itu, sesekali ia memegang untuk merasakan ban sudah cukup keras atau belum.
Ryan kembali menstandarakan motor ke keadaan semula, tak lupa diputar dulu motor Vina agar mudah keluar pagar. Perasaan Vina benar-benar kacau. Ia senang Ryan memperhatikannya, motornya setidaknya.
“Ryan, ban mobilnya sekalian tuh,” cewek tadi yang masuk ke rumah ternyata duduk di teras sejak tadi dan mengamati kerja Ryan.
“Apaan sih, Kak?”  Ryan berkata dingin. Tapi nampaknya nada dingin yang tersirat sama sekali tak mengganggu cewek itu. Ada perasaan lega ketika Ryan memanggil cewek itu dengan ‘Kak’. Nino, Maya dan Argha hanya ketawa menanggapi permintaan cewek itu pada Ryan.
“Udah, nih,” kata Ryan pada Vina sambil tetap menatap motornya. Dari caranya bekerja barusan, Vina sama sekali tak melihat bahwa Ryan sakit.
“Thanks ya,” Vina berkata malu-malu dan segera naik ke motornya. Yang lain segera menstarter motornya, begitu juga Vina. Mereka segera pergi, tak ingin mengganggu tuan rumah yang tampaknya tak suka diganggu. Perasaan bahagia yang tak bisa dijelaskan mengganggu Vina sepanjang perjalanan.




Ryan meletakkan pompa itu di garasi kembali lalu masuk ke rumah. Kakaknya memandangnya sambil tersenyum penuh arti. Ryan yang malas menanggapi kakaknya, segera masuk kamar.
“Ry, kamu naksir ya sama cewek tadi?” kakaknya langsung menuduh seenaknya.
“Hah?” hanya itu respon Ryan lalu geleng-geleng. Ia berbaring di tempat tidurnya. Ia sama sekali tak menyangka apa yang dilakukannya tadi menimbulkan pikiran aneh di kakaknya. Kak Nikky pun keluar karena tak mendapat jawaban masih sambil senyum-senyum.
Ryan sama sekali tak mengerti tentang tindakan refleknya tadi ketika melihat salah satu ban motor yang ternyata motor Vina kempes. Ia sedang tak ingin jatuh cinta. Ia benar-benar takut jatuh cinta. Entah mengapa ia senang mendapat ucapan terimakasih dari Vina. Seharusnya ia tetap dingin seperti biasa dan membiarkan mereka berlalu seperti sebuah film. Namun ada perasaan yang menginginkan Vina untuk mengingatnya, mengenalnya setidaknya.
Tak banyak yang bisa dilakukan hari itu. Menyiapkan untuk sekolah adalah hal yang paling bisa menyibukkan pikirannya saat ini. Hatinya gelisah memikirkan hasil tes darah siang tadi. Dan kemudian sekali lagi ia menyadari sesuatu yang harusnya ia sadari.
Jika hanya ia yang cocok dengan almarhum papanya, maka akankah ada yang cocok dengannya. Sangat kecil kemungkinan ini. Hal ini kembali memukulnya mundur, semakin mengikis harapannya yang hanya tinggal mimpi.
Paginya Ryan terbangun, wajahnya pucat dan badannya hangat.
Mamanya mencoba membujuknya untuk tidak sekolah, namun Ryan menolak.
“Aku lebih suka menghabiskan sisa waktuku di sekolah daripada menunggu di rumah,” kata-kata itu menyakitkan hati mamanya. Kakaknya yang mendengar itu hanya geleng-geleng kepala.
Ryan menikmati perjalanannya ke sekolah dan berniat datang ketika bel berbunyi. Namun seberapapun lamanya ia menghabiskan waktu di jalan, ia tetap sampai lebih cepat karena berangkat lebih pagi. Motornya ia parkir di tempat terjauh agar bisa menghabiskan waktu lama untuk berjalan ke kelasnya.
Ryan benci dipandangi oleh cewek-cewek ketika ia lewat. Sangat tidak sopan. Namun keberuntungan tak dipihaknya.
“Ryan, kamu ikut ke pesta dansa kan?” Rina memegang pundaknya dari belakang seolah sudah kenal cukup lama. Pengikutnya baru tiga orang, tampaknya belum banyak yang datang.
Ryan hanya mengangkat bahu. Namun Rina tidak juga menyerah.
“Udah tau mau berangkat sama siapa?” tanyanya mencoba menarik perhatian Ryan.
Ryan benar-benar risih. Maka akhirnya ia mengatakan sesuatu yang tidak diharapkan Rina.
“Udah,” jawab Ryan dengan nada dingin amat jelas tertera. Rina langsung berhenti bicara seolah ada sepatu yang dijejalkan ke mulutnya.
Ryan meneruskan ke kelas dan duduk diam. Lebih banyak melamun. Ia tak menyukai kenyataan bahwa ada pesta dansa yang menunggunya. Tapi akankah ia sanggup bertahan hingga saat itu. Hasil yang ditunggu baru bisa dilihat besok.
Pelajaran hari itu terasa cepat. Ia segera mengambil motornya. Rupanya belum ada yang mengambil motor, maka Ryan segera memanfaatkan kesempatan itu dan pergi. Ketika melewati pintu ia melihat Vina sedang berjalan bersama Maya. Ada dorongan untuk menyapanya namun tak jadi ia lakukan. Pandangan matanya sempat dilihat Vina dan Ryan segera memacu motornya keluar.
Apa yang dilakukannya sekarang hanya menunggu datangnya sesuatu yang tak pernah ia harapkan. Apa begini juga perasaan papa saat itu? Sedih mengetahui apa yang menunggunya di depan, sedih mengetahui waktu yang ada untuk bersama-sama sangat terbatas.
“Bu, ini adalah hasil pemeriksaan kemarin,” dokter itu membuka amplop coklat dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ruangan dokter itu benar-benar menyiratkan kesunyian yang mencekam.
Ryan sudah tau apa yang ada di dalamnya. Sangat kecil kemungkinan cocok.
“Berdasarkan kecocokan ibu dan saudari Nikky, pada saudara Ryan,” Ryan memandang bagian bawah meja dokter. Ia tak ingin melihat kakak dan mamanya ketika mengetahui hasil pemeriksaan yang sia-sia itu. Ia sudah melihat gambaran wajah penuh harap dari mama dan kak Nikky, betapa itu tak berguna. Harapan kosong. Jika bisa ia ingin biar ia saja yang mendengar hasil itu dan membiarkan mama tetap berharap dari pada harus mengakhiri harapan mamanya.
“Maaf bu, tapi hasilnya negatif,” dokter berkata penuh sesal. Seketika itu mama berteriak histeris.
“Dokter bohong! Kenapa dokter bohong?” Nikky langsung menenangkan mamanya meski air mata mengalir deras dari matanya.
“Udah ma, udah,” kata-kata Nikky dibalik tangisannya. “Kita pulang yuk! Ayo, ma!” ajak Nikky. Ryan masih memandang bawah dan segera berdiri agar cepat pulang. Nikky menuntun mamanya sendirian.
Meski sudah tau hasilnya tidak mungkin cocok rasanya tetap menyakitkan. Mengetahui benar-benar tak ada harapan untuk dirinya. Di mobil pun Ryan diam saja. Matanya memandang kosong penuh putus asa yang tercetak jelas di wajahnya. Mamanya duduk lemas masih terus menangis. Ryan benar-benar kehabisan kata-kata untuk menikmati harinya esok.
Ryan mengunci diri di kamar. Sempat ia berpikir untuk mati lebih cepat, namun itu hanya akan menambah sedih kakak dan mamanya. Ia tak tau kepada siapa harus bercerita akan hal ini. Kenyataan ini terlalu berat. Keputus asaan terlalu melingkupi hidupnya. Dimanakah ia berada sekarang? Dimanakah dia harus berdiri untuk menahan kenyataan ini?
Seminggu penuh Ryan berhenti berbicara. Ia takut jika sekali ia berbicara maka semua bebannya akan tumpah. Melihat teman-temannya tersenyum, tertawa menikmati dunia, ingin ia berteriak akan ketidakadilan hidup yang ia dapatkan. Di sekolah Nino yang paling sering mengobrol dengannya hanya dibalasnya dengan bahasa tubuh.
Ryan benci melihat pandangan Vina yang penuh perhatian yang sangat diinginkannya. Ia harus menghentikan ini sekarang. Ia tak ingin Vina berpaling, namun ia juga tak ingin Vina merasa sedih. Ujian terbesarnya saat ini adalah menjauhkan orang-orang yang mulai dekat dengannya. Ryan tak ingin perasaannya pada Vina menjadi alasan untuk menumpahkan seluruh bebannya.
Pulang sekolah ia duduk di tangga dekat parkiran motor, menunggu Vina keluar. Ryan tak ingin ada sesuatu diantara mereka yang akan menjadi alasan yang menyakitkan ketika harus ia tinggalkan. Satu jam ia menunggu dalam lamunan, namun Vina tak kunjung keluar. Namun kemudian ia mendengar langkah kaki dan seseorang memegang pundaknya.




Vina lega karena akhirnya tugas kelompok yang baru saja ia lakukan sudah selesai. Ia menuruni tangga menuju parkiran motor dan melihat hanya tinggal beberapa motor teronggok di sana. Vina baru sadar, di bagian bawah tangga, duduk seseorang yang sejak beberapa hari lalu tak bisa lepas dari pikirannya.
Vina memegang pundaknya. Dia hanya bergerak sedikit dan segera berdiri. Vina sudah mendengar bahwa beberapa hari ini Ryan sama sekali tak bicara. Namun ia tak mengerti apa yang dilakukannya siang bolong begini, sendirian di parkiran motor. Keadaan benar-benar sepi. Ryan menoleh dan menatapnya, tatapan dingin tapi tersirat pandangan memohon.
“Ryan, kamu ngapain disini?” Vina mencoba bertanya. Ia tak berharap ada jawaban karena Ryan sudah beberapa hari tak bicara. Namun kenyataan ia sangat peduli pada Ryan membuatnya ingin tau apa yang dirasakan cowok ini.
“Ehhmm, Vin…,” nadanya yang dingin tak dapat menyembunyikan bukti bahwa ia memang sudah beberapa hari tak bicara. Suaranya agak serak.
“Ya?” Vina benar-benar tak mengerti. Cowok yang paling anti diganggu apalagi sama cewek, kini berdiri di depannya. Vina menebak Ryan sudah duduk di sini sejak pulang sekolah tadi, dan dilihat dari sikapnya, Ryan menunggu dirinya.
“Vin, jatuh cinta itu menyenangkan tapi akan menyakitkan jika terpaksa meninggalkannya. Tapi lebih baik meninggalkannya untuk seseorang yang lebih baik,” perkataan panjang keluar dari mulut Ryan. Datar, tanpa ekspresi, namun tetap dingin. Matanya memandang ke parkiran motor.
Vina berpindah berdiri di sebelah Ryan. Ia tidak mengerti apa maksudnya.
“Kenapa kamu ngomong begitu?” mendadak Vina merasa dia seharusnya tau apa yang sedang dibicarakan Ryan.
“Aku hanya merasa ada yang mengganggu perasaanku dan berharap ada seseorang yang melakukan perkataanku itu untukku,” kata-kata yang dengan ragu dikatakannya itu tak melenyapkan nada dingin. “Entah mengapa aku merasa nggak pantas jatuh cinta,” kata-kata terakhir itu diucapkan Ryan dengan pelan namun jelas sambil melangkah perlahan menuju motornya.
Tak butuh waktu lama untuk Vina menyadari hal itu. Vina sadar selama ini ia telah jatuh cinta pada Ryan. Dan ia baru saja mengetahui hal ini, sedangkan Ryan yang sudah mengetahuinya, merasakannya lebih dulu tak ingin Vina menyukainya. Entah apa alasannya. Vina segera mengejar Ryan. Ia memegang bahu Ryan dan membalikkan badan Ryan menghadapnya.
“Semua orang berhak jatuh cinta. Aku mau jatuh cinta sama siapa itu urusan aku,” Vina berkata dengan tenang menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia memandang mata Ryan yang terpejam.
“Dan nggak ada yang melarang kamu jatuh cinta,” jawab Ryan lembut. Semua nada dingin, kaku, cueknya hilang. Vina terkejut mendengarnya. Ryan membuka matanya dan memandang Vina.
“Dan nggak ada yang melarang kamu juga,” Vina menegaskan. Air matanya mengalir.
“Hey, please… jangan nangis,” Ryan mengusap air mata yang mengalir di pipi Vina dengan punggung tangannya. Pandangannya begitu menentramkan. “Buat aku jatuh cinta terlalu berharga jika hanya untuk ditinggalkan,” nadanya begitu lembut dan menenangkan.
Setelah itu Ryan berbalik dan meninggalkan Vina di parkiran motor sendirian. Vina melihat Ryan pergi tanpa menatapnya lagi dari atas motornya.
Apa maksudnya nggak pantas jatuh cinta? Apa salahnya sampai Ryan harus mengucapkan kata penolakan bahkan sebelum Vina sadar ia jatuh cinta? Kenapa Ryan tak membiarkannya menikmati sejenak perasaan yang seharusnya sangat indah ini?
Hatinya memang sakit tapi ada hal yang menyebabkan Ryan mengatakan dia nggak pantas jatuh cinta. Dan kenyataan bahwa Ryan bisa menjadi sangat lembut benar-benar mengganggunya. Kenapa ia menyembunyikan dirinya selama ini?
Disinilah semua harapannya habis. Habis sebelum sempat ia sadari bahwa ia memiliki harapan itu. Hilang dan menyisakan dirinya ditinggal di tempat yang tak kan pernah terlupa.




Ryan ingin kembali dan menarik semua omongannya. Ia sadar, kini ia telah terlanjur jatuh cinta. Benar-benar sakit harus meninggalkan cinta ini bahkan sebelum ia menyadarinya, meninggalkan orang yang disayanginya sendirian dengan hati hancur. Melihatnya menangis membuat Ryan kembali menjadi Ryan yang perhatian dan lembut. Tapi itu yang terbaik. Ryan tak ingin, orang yang dicintainya menangis di depan tubuhnya esok.
Ia sampai di rumahnya dan langsung terjatuh dari motor karena sakit kepala itu datang lagi. Ryan melepas helmnya dan mengerang kesakitan. Separuh badannya di bawah motor, tapi rasa sakit di kepalanya jauh lebih sakit.
Suara gaduh motor jatuh membuat mamanya keluar dan mendapati Ryan tengah memegang kepalanya sambil mengerang kesakitan.
“Pak Asman, Nikky, tolong! Cepat!” mamanya segera menghampiri Ryan sambil meminta tolong.
Nikky datang, begitu melihat Ryan, ia segera kembali ke dalam. Pak Asman segera membangunkan motor yang menindih separuh badan Ryan dan menjauhkannya. Nikky datang dengan membawa obat dan segelas air putih.
“Pak Asman, siapin mobil! Kita ke rumah sakit sekarang,” perintah mama penuh cemas.
Ryan meminum obat yang dibawa Nikky bersamaan dengan mengalirnya darah dari hidungnya.
“Ma!” Nikky histeris melihat adiknya mimisan.
“Ryan!” mamanya memanggil Ryan yang masih memegang kepalanya. Kemudian Ryan mulai agak tenang, namun tangannya segera terjatuh ke lantai teras tempatnya jatuh. Lalu Ryan merasa semuanya menjadi gelap.




Semuanya gelap, tak berujung, hingga kemudian ia mendengar namanya dipanggil.  Ryan mulai membuka matanya perlahan. Ia merasakan sesuatu menempel di wajah dan tangannya.
“Ryan!” mamanya memanggil. “Mama disini nak.”
Ryan memandangi sekeliling dan bisa mencium aroma rumah sakit yang khas. Wajahnya dipasangi masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Aroma rumah sakit sangat kentara dari masker yang dipakainya. Ryan mengangkat tangan kirinya dan melihat infus dipasang. Merasa cukup kuat untuk bisa bernafas, Ryan melepas maskernya.
“Gimana rasanya, nak?” mamanya bertanya khawatir.
“Aku nggak apa-apa kok,” jawab Ryan lemah.
“Nikky, panggil dokter ya,” Ryan tidak mendengar jawaban Nikky tapi ia melihat Nikky pergi.
Semua benar-benar diluar kendali. Ryan tak mengerti bagaimana mungkin bisa selemah ini dirinya.
Lalu ia mendengar pintu dibuka. Dokter masuk ditemani Nikky dan seorang suster. Dokter itu menyenteri kedua mata Ryan dan menggunakan stetoskopnya. Setelah itu ia mengecek tekanan darah Ryan.
“Semuanya sudah jauh lebih baik. Jika besok pagi kondisinya tetap stabil, besok dia bisa pulang. Permisi,” kata dokter itu singkat.
“Terimakasih, dok,” kata mama tulus.
“Berapa lama aku pingsan?” Ryan bertanya menyadari hari sepertinya sudah berganti.
“Cuma dua hari kok,” kak Nikky menjawab penuh canda.
“Jangan bohong napa sih?” Ryan mulai jengkel.
“Eh nggak percaya ya ni anak. . . .  kamu sih tidur terus. Nggak liat ada sirkus sapi loncat kan?!” candanya.
“Kakakmu bener. Dua hari kamu nggak sadar,” mamanya membenarkan. Matanya bengkak karena menangis terus.
Ingatannya kembali ke dua hari yang lalu saat ia terjatuh dari motor. Apa yang telah ia lakukan saat itu benar-benar ia sesali. Tapi apa yang Vina katakan di sana membuktikan bahwa dugaan Ryan benar. Biarlah semua sakit ia yang menanggung daripada melihat orang yang disayanginya menderita dan sedih. Mengingat kejadian itu membuat Ryan merasa semakin kehilangan.
“Kata dokter, kamu nggak boleh banyak pikiran dulu, itu bisa memperparah keadaan kamu,” mamanya memberi nasehat karena melihat Ryan sedang berpikir.
Ryan diam saja. Ia tak suka merasa lemah. Bahkan untuk berjalan pun harus sekuat tenaga.
Ketika tiba di rumah, mamanya bahkan telah menyiapkan kursi roda untuknya. Ryan memandang mamanya tak percaya. Kemudian berjalan tertatih-tatih menuju ke kamarnya, meninggalkan mamanya bersama kursi roda. Sepanjang sisa hari itu Ryan hanya tidur, karena badannya terasa sangat lemas. Ia sendiri heran, bagaimana ia masih bisa tidur setelah 2 hari ia tak bangun sama sekali.
Keesokan harinya, Ryan merasa jauh lebih baik. Ia sudah siap berangkat ke sekolah ketika mamanya masuk ke kamar.
“Kamu udah mau berangkat sekolah? Kamu yakin kamu kuat?” mamanya bertanya cemas.
“Aku nggak apa-apa kok,” Ryan menenangkan mamanya lalu segera pergi ke tempat motornya.
Ketika melewati cermin di wastafel, ia melihat rambutnya sudah mulai panjang. Ryan berencana akan memotongnya sepulang sekolah. Namun kepucatan wajahnya terlalu kentara.
Di sekolah Nino dan beberapa teman lain benar-benar menyambut baik kedatangannya.
“Kamu bener-bener keliatan pucet!” canda Nino. “Makanya banyak kumpul-kumpul sama kita dong!”
Ryan hanya tersenyum kecil menanggapi gurauan itu.
“Kamu jadi ikutkan ke pesta dansa?” Nino bertanya memastikan.
Yah. Itulah yang diperlukan Ryan. Bertahan hingga hari itu bersama teman-temannya sebagai janji terakhir yang harus ia tepati.
“Pasti,” jawab Ryan mantap dengan semangat yang mengejutkan teman-temannya.
“Gimana kalo kamu jemput temenku? Dia nggak punya tumpangan buat tempat pesta,” pinta Nino.
“Cewek atau cowok?” nada dingin kembali tersirat di suara Ryan.
“Cewek. Tapi tenang aja dia nggak bakal aneh-aneh. Tugas kamu cuma buat nganter dia sampe tempat pesta aja. Gimana? Aku mau jemput Maya,” Nino tersenyum penuh arti. “Tenang aja, itu Cuma temen kok,” tambah Nino takut Ryan salah sangka.
“Oke,” jawab Ryan singkat.
“Sorry ya ngrepotin,” kata Nino sambil tersenyum sok sungkan. Ryan hanya memukul lengan Nino pelan.
Sepanjang sisa minggu itu Ryan tak pernah henti untuk berusaha melupakan kejadian sebelum ia terpaksa menginap selama 2 hari di rumah sakit. Berkali-kali secara tidak sengaja, Ryan bertemu dengan Vina. Ryan segera mengubah arah berusaha agar tidak terlalu terlihat bahwa ia memang menjauh. Namun sepanjang minggu itu kondisinya semakin pulih meski sakit kepala tak pernah absen. Ia sudah berniat untuk datang ke pesta itu sebagai janji terakhir yang akan ia tepati.
Di sekolah rumor bahwa Ryan sudah punya pasangan ke pesta, terasa amat mengganggunya. Hanya gara-gara perkataan yang dikatakan pada Rina, lalu seisi sekolah tau.
Ryan bertanya-tanya, dengan siapakah Vina akan pergi. Ia benar-benar berharap akan ada yang mengajak gadis itu. Ia berharap ada yang benar-benar bisa menggantikan perannya di hati Vina.
“Ryan… Ryan….,” mamanya memanggil. Yang dipanggil hanya menghampiri tanpa menyahut.
“Seminggu lagi kan ada pesta dansa… kamu pake tuxedonya papa aja ya, ukurannya kayanya sama kok,” mamanya mengingatkan pesta dansa yang nyaris seminggu tak dipikirkannya. Ryan hanya mengangguk.
Ryan merasa ada sesuatu yang akan terjadi padanya. Ia tak suka merasa begitu, seolah-olah dirinya tak boleh merasakan kebahagiaan sedikit lagi.
Sakit kepala jadi semakin rutin menyerangnya setiap 2 hari sekali, dan hal itu membuatnya cemas. Pesta dansa sebentar lagi, meski menurut perhitungannya hari itu dia tidak seharusnya sakit, namun apapun bisa terjadi.





“Udah ah!” Ryan mengeluh ketika mama dan kakaknya tak ada habisnya mendandaninya. Mulai dari rambut sampai sepatu mereka yang mengatur.
“Ini baru anak mama,” kata mamanya penuh kebanggaan.
Ryan melirik jam tangannya dan udah hampir setengah 6.
“Udah, udah. Aku bisa telat kalo gini,” Ryan segera memasukkan dompet dan hapenya ke kantong celananya.
“Tapi dasinya belom nih!” Nikky yang paling menikmati mengotak atik adiknya menyahut.
“Ya aku pake di sana aja,” kata Ryan sambil menyambar dasi dan langsung memasukkannya ke kantong jas.
“Nih, kamu pake mobil mama,” kata mamanya menyodorkan kunci. “Jadi kamu bisa pake dasi sambil nunggu lampu merah jadi ijo,” tambah mamanya geli. “Eh tapi emank kamu bisa pake dasi?” canda mamanya disambut tawa Nikky.
Ryan segera beranjak meninggalkan dua cewek yang sedang asyik mentertawakannya. Betapa sangat menyenangkan suasana saat itu.
Benar kata mamanya, seharusnya dasi itu juga dipakaikan oleh mama atau kakaknya yang lebih ahli. Sudah nyaris tujuh tahun ia tak memakai dasi lagi. Di SD saja karena terpaksa jadi bisa memakai dasi. Ia tak ingat caranya lagi. Dan sialnya lampu merah terasa cepat sekali berganti hijau.
Ryan sampai di alamat yang diberikan Nino. Ia sudah menyerah dalam usaha memakai dasi dan membiarkannya teronggok begitu saja di lehernya, berharap tak ada yang memperhatikan. Setelah memastikan itu rumah yang benar, Ryan menekan bel yang ada di dekat pagar.
Seorang wanita setengah baya keluar dan membuka gerbang.
“Mas, tunggu sini dulu. Saya panggilkan Ibu dulu…,” pamit wanita itu.
“Eehhh saya cuma mau jemput, jemput…,” Ryan menggaruk kepalanya. Niatnya tadi yang minta dipanggilkan cewek yang akan dijemputnya sirna setelah ingat ia tak tau nama cewek itu. Payah banget Nino! Mana sekarang ia disuruh menunggu di teras di depan pintu yang terbuka lagi. Ia tak suka terlihat menunggu cewek yang sama sekali tak dikenalnya.
Lamunannya dibuyarkan oleh kedatangan seorang wanita setengah baya lainnya. Tampaknya ini tuan rumah. Ryan memasang senyum terbaik yang bisa diberikannya.
“Permisi, tante. Saya mau ….”
“Oya…. Tunggu sebentar,” sela wanita ini langsung masuk ke dalam rumah lagi tanpa memandang Ryan lagi. Wajahnya terlihat puas saat masuk ke dalam tadi. Ryan hanya heran betapa sangat ramah namun terlalu cepat tanggap orang-orang di rumah ini.






Vina masih berdiri di depan cermin. Ia tak percaya bahwa mamanya berhasil memakaikannya dress biru muda yang tak pernah mau dipakainya. Nino memberi instruksi pada mamanya untuk mendandaniku semaksimal mungkin. Sungguh konyol, dan lebih parah, mama setuju akan hal itu setelah Nino mengatakan bukan dia yang akan menjemput tapi temannya. Dan inilah hasilnya, sudah dua jam ia duduk di kamar bersama mamanya.
Vina sudah siap memanggil sopirnya karena ia yakin Nino berbohong tentang cowok yang akan menjemputnya. Ia tak berjanji untuk datang dengan siapa pun. Hanya satu orang yang ia harap ada di sampingnya meski itu tak mungkin.
Vina jadi bertanya-tanya dengan siapa Ryan akan datang mengingat Ryan sudah berjanji akan datang. Mungkinkah Ryan akhirnya memutuskan untuk mencoba mencintai wanita, menghilangkan rasa ketidakpantasan yang akui saat itu? Mungkinkah gosip bahwa Ryan sudah memiliki pasangan untuk pesta itu benar?
Bukannya tak ada yang mengajaknya. Namun ia tak ingin berpura-pura bersikap manis pada cowok yang ia tak suka atau tak kenal. Biar bagaimanapun ini adalah tahun terakhirnya di sekolah dan tak ingin ketinggalan perayaan terakhirnya di SMA ini.
“Udah selesai, Vin?” mamanya masuk ke kamar setelah tadi dipanggil bibi karena ada tamu.
“Udah kok. Kenapa?” dengus Vina.
“Jangan gitulah. Udah dijemput tu!” mamanya berkata dengan sangat manis.
Vina bahkan belum menelepon Pak Radi untuk minta tolong diantar. Perasaannya jadi tak enak.
“Pak Radi udah dateng?” Vina mencoba memastikan bahwa sopirnyalah yang tengah menunggu untuk mengantarnya.
“Aduh kamu tuh ya! Ya bukanlah,” dengus mamanya. “Percaya deh! Kamu nggak bakal nyesel, perfect banget.”
“Namanya?” Vina mencoba mencari tau.
“Hah, nama? Bentar deh mama tanyain dulu,” mamanya berniat keluar.
“Aduh, mama. Tunggu, daripada keluar masuk nggak jelas, mendingan aku ikut keluar aja,” cegah Vina pada mamanya yang pelupa. Ia segera memakai sepatunya.
“Vin, cowok ini bener-bener perfect. Pake tuxedonya lengkap lagi, nggak kaya temen-temen kamu yang lain. Cocok banget sama kamu. Bener kata Nino, untung kamu didandanin kaya gini. Kamu kenal dimana sihh?” mamanya menyerocos tanpa henti. Vina hanya diam saja.
Cowok itu berdiri menghadap ke luar. Badannya tegap, namun agak kurus dan dia emang pakai tuxedo lengkap. Nggak kaya temen-temennya yang biasanya atas jas bawah jeans. Tapi kayanya kemarin panitia udah mewajibkan para cowok untuk pake tuxedo, jadi harusnya Vina nggak kaget.
Meski begitu, cowok ini sepertinya nggak pernah pake tuxedo. Kerah kemeja bagian belakangnya belum rapi. Vina yakin ia mengenal cowok ini, tapi gaya rambutnya yang digel membuatnya semakin sulit di tebak.
“Nah ini dia cowoknya,” mamanya langsung memperkenalkan ketika sampai di depan pintu.
Setengah kaget cowok itu berbalik dan . . . .
“Ryan…?!” Vina refleks menyebut nama cowok yang berdiri di depannya. Ryan juga kaget, namun ia lebih bisa menguasai diri. Seperti biasa, kesan dingin dan tanpa ekspresi tersirat jelas di wajahnya.
Sungguh Vina mengakui Ryan begitu keren. Ia jauh lebih keren daripada biasanya. Vina benar-benar tak ingin pergi dengannya. Cowok ini, cowok yang ia harapkan jadi pacarnya yang tak mungkin dimilikinya menjemputnya. Menjemputnya dan hanya menjemputnya untuk mengantar sampai di tempat pesta. Apa yang harus dilakukannya?
Mama Vina sudah siap meluncurkan sederet pertanyaan yang sepertinya sudah didaftar, namun Ryan menyelamatkannya dari kewajiban menjawab itu semua.
“Kami berangkat dulu tante,” pamit Ryan datar berusaha menyembunyikan kesan dingin yang ditimbulkan. Tanpa perlu diaba-aba lagi Vina mengikuti Ryan.
Sebuah Jazz hitam terparkir di depan rumahnya. Ryan membukakan pintu untuk Vina tanpa ekspresi. Kemudian naik ke kursi pengemudi.
Satu menit yang panjang hanya kesunyian yang saling berbisik menunggu dilenyapkan. Akhirnya Vina memutuskan untuk memecah keheningan karena tau Ryan tak akan melakukannya.
“Kenapa kamu jemput aku?” tanya Vina.
“Karena aku disuruh Nino,” singkat, dingin dan tanpa ekspresi. Matanya lurus memandang jalanan di depannya.
“Kenapa kamu mau?”  tanya Vina lagi. Vina merasa jengkel pada Nino. Sangat menyakitkan jika orang yang disayangi, dicintai hanya bisa dipandang untuk waktu yang singkat.
“Aku nggak tau kalo cewek itu kamu,” jawaban Ryan yang terakhir lebih lembut dan terdengar nada sesal di dalamnya. Suaranya menyiratkan keengganan berbicara. Keengganan untuk berhubungan dalam hal apapun dengan Vina. Namun semua ini harus jelas.
“Jadi kalau kamu tau siapa cewek itu dan bukan aku, kamu bakal jemput?” Vina tak bisa menyembunyikan nada cemburunya.
“Pada akhirnya aku akan tetap menjemputmu. Aku udah janji sama Nino, dia udah begitu sabar dan baik padaku selama ini dan aku akan menepati janjiku,” dari nadanya Ryan berharap itu adalah saat terakhir dia berbicara.
“Kenapa sih kamu sepertinya anti sama aku?” Vina berharap bisa mendapat jawaban yang lebih masuk akal. Ia benci sikap Ryan yang selalu menghindari pertemuan tak sengaja ketika di sekolah.
“Aku bersikap sama ke semuanya,” jawaban yang sama kembali diulangnya.
Vina menyadari bahwa dasi yang Ryan kenakan benar-benar berantakan bentuknya.
“Tapi kenapa saat itu kamu berkata seperti itu padaku?” Vina sampai pada pertanyaan yang ia sendiri ingin tau kejelasannya.





Ryan sungguh tak nyaman diinterogasi seperti ini. Seolah-olah dirinya salah satu tersangka kasus kriminal.
“Karena cuma kamu yang paling banyak bertanya,” dan itu memang benar. Hanya Vina yang selama ini terus bertanya jika didekatnya. Hatinya berteriak kesakitan ingin meneriakkan bahwa selama ini ia tak ingin berusaha menjauh, bukan maksud Ryan untuk menyakiti hati Vina.
Mobil tiba-tiba terasa condong ke depan sebelah kiri. Ryan segera menepikan mobilnya. Ia keluar dan menemukan ban depan sebelah kiri, kempes. Sungguh malang nasibnya hari itu. Vina ikut keluar dan melihat ban yang kempes itu.
Ryan mengeluarkan hapenya dan menekan no telepon Nino.
“Ambil tasmu, Nino akan kusuruh menjemputmu,” perintah Ryan tegas.
“Dan apa yang akan kau lakukan?” tanya Vina dengan pandangan tak percaya.
Telepon Nino tak diangkat. Ryan mencoba lagi.
“Aku? Aku akan disini mengganti ban ini yang pasti,” jawab Ryan tak sabar. Sekali lagi diteleponnya Nino.
“Aku ingin tetap disini,” kata Vina mantap.
“Tidak, kamu harus sampai disana tepat waktu. Lima belas menit lagi pembukaan akan dimulai,” tegas Ryan. Dipandangnya Vina
“Kamu nggak berhak ngatur aku, aku ingin tetap disini,” tegas Vina.
“Halo, No,” akhirnya telepon diangkat. Tapi suara di tempat Vino benar-benar berisik, ditambah suara jalanan tempat Ryan berdiri. “No, ban aku kempes.”
“Apa?” terdengar suara di seberang di antara suara-suara keramaian.
“Ban mobilku kempes, tolong kamu…,” belum selesai Ryan ngomong, Vina menarik tangan Ryan yang memegang handphone. Vina merebutnya dan mematikan sambungan.
“Kalo kamu memang nggak mau aku disini, oke aku akan pergi. Tapi atas kemauanku sendiri,” Vina memandang Ryan sebentar lalu berbalik mengambil tasnya dalam mobil dan berjalan ke arah mereka datang.
Ryan mengejar Vina.
“Tunggu!” Ryan memegang tangan Vina untuk menghentikannya.
“Apa lagi?” Vina bertanya marah. “Kalau kamu mau sendirian, menanggung beban itu sendiri silahkan, tapi jangan paksa aku.”
“Kamu nggak bisa pulang sendirian,” Ryan mencoba tetap tenang.
“Aku bisa,” jawabnya berusaha melepaskan tangannya dari Ryan.
Jalanan memang ramai kendaraan tapi tak ada seorang pedagang pun yang berjualan di pinggir.
“Please,” mohon Ryan. Suaranya benar-benar tulus dan pandangan matanya memastikan ketulusan itu.
“Apa pedulimu?” tanya Vina sinis.
“Karena aku …. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa,” dengan berat ia mengatakan hal yang tak sudah ia usahakan tak ucapkan. Pertahanannya mulai runtuh sedikit demi sedikit. “Balik ke mobil ya?” pohon Ryan penuh kelembutan. Tanpa menunggu jawaban, Ryan segera menuntun Vina kembali ke mobil. Vina pun hanya menurut melihat Ryan menarik tangannya.
“Kamu tunggu sebentar,” Ryan meninggalkan Vina di depan kursi penumpang untuk mengambil alat dongkrak di bagasi beserta ban serepnya. Ryan melepas jas dan dasinya lalu menggulung lengan kemejanya agar bebas bergerak.
Dengan cekatan Ryan mendongkrak mobil dan segera mengganti ban yang bocor itu.
“Kenapa? Kenapa kamu selalu ingin memikul beban itu sendirian, seolah-olah itu salahmu?” Vina bertanya datar, tanpa emosi sambil memandang ke jalanan.
“Karena itu memang tanggungjawabku ketika tak ada yang bertindak,” jawab Ryan mantap, kesan dingin tak begitu kentara.
“Tapi kenapa pada saat itu kamu selalu menjauhkan orang yang ingin membantu, menemanimu?” sekali lagi Vina bertanya.
Pertanyaan mengejutkan itu datang dan Ryan merasakan hal itu memukul telak hatinya. Ia bahagia karena wanita yang dicintainya menemaninya saat itu, meski ia seharusnya tak membiarkan itu terjadi. Namun apa yang harus dijawabnya? Ia tak mungkin menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Maka ia tak menjawab.
“Sudah kuduga,” Vina berkata dengan yakin. “Kau merasa kau tak membutuhkan orang lain, kau terlalu sombong, terlalu sombong untuk mengakui kau lemah.”
Ryan sungguh sedih, Vina berpikir seperti itu. Ryan segera berdiri. Dipandangnya Vina yang juga memandangnya.
“Bagaimana jika aku memang lemah? Bagaimana jika aku memang merasa tak ada yang boleh didekatku? Bagaimana jika aku tidak sombong melainkan aku memang melarang hatiku untuk terlalu dekat dengan seseorang?” Ryan mengucap kalimat panjang itu dengan nada putus asa.
Ia memasukkan ban yang kempes ke dalam bagasi kemudian membereskan alat-alat dongkrak.
“Ayo kita pergi. Sudah agak terlambat, tapi tak apa,” ajak Ryan kalem.
“Aku tak ingin pergi ke pesta itu,” jawab Vina lalu masuk ke mobil.
Ryan segera masuk ke kursi pengemudi.
“Lalu kau ingin kemana?” tanya Ryan kalem.
“Aku ingin tetap bersamamu,” jawab Vina mantap.
“Eerrgh….” Ryan mengerang. “Kau tidak bisa, tak boleh bersamaku.”
“Please katakan untukku yang terakhir kali bahwa kamu nggak butuh aku dan kamu nggak suka sama aku. Please. Setelah itu aku nggak akan ganggu kamu lagi,” pinta Vina.
Ryan nggak sanggup untuk menyangkal cinta yang berteriak untuk bebas dari hatinya terus menerus. Hatinya sakit menahan itu semua.
“Mendingan sekarang kita langsung ke gedung. Mereka pasti udah nungguin,” Ryan berusaha mengubah topik. Ryan menyalakan mesin mobilnya.
“Please? Aku bener-bener harus denger itu sekali lagi,” pinta Vina, suaranya mulai serak.
Ryan memandang ke depan. Ia benci melihat Vina memohon-mohon padanya untuk melakukan hal yang harus dilakukan dengan persiapan. Ia tak tahan lagi, sungguh terlalu menyiksa baginya jika harus kehilangan cinta dan nyawa bersamaan.
“Bagaimana kalau aku terlalu sayang sama kamu sampai aku tak bisa mengucapkannya? Bagaimana kalau aku terlalu membutuhkanmu sampai-sampai aku harus mengusirmu? Bagaimana jika aku terlalu mencintaimu hingga tak sanggup untuk melihatmu sedih?” runtuh sudah semua pertahanan Ryan selama ini.
“Apa maksudmu?” Vina menatap Ryan bingung.
“Arrrgh…. Vina aku sayang sama kamu, aku cinta kamu, tapi aku nggak bisa mempertahankan ini,” sebaris kalimat telah mewakili semuanya.




Dunia tiba-tiba menjadi tempat yang indah ketika Vina tau cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
“Nggak ada yang bisa misahin kita,” Vina berucap mantap.
“Kamu salah! Aku udah bilang kita nggak bisa sama-sama,” Ryan menegaskan.
Kata-kata itu menyakitkan hati Vina. Mengapa tidak? Apa salahnya? Air mata yang sudah dirasa tak akan keluar, kembali menampakkan diri di pelupuk mata.
“Kenapa? Apa salahku? Please bilang sama aku, apa yang harus aku lakukan supaya…,”
“Kamu harus menjauh dari aku, seperti yang aku berusaha lakuin selama ini,” Ryan menyela pertanyaan Vina. Ryan memukul kemudi yang dipegangnya. Ia membenci dirinya yang telah mengucapkan semua kata-kata itu.
“Kenapa?” tanya Vina singkat, tak ingin disela lagi.
“Karena aku nggak mau kamu sedih,” Ryan setengah berteriak menjelaskan hal itu.
“Apa kamu pikir aku akan senang menjauh dari kamu? Apa kamu pikir aku nggak sedih melihat kamu berusaha sendiri entah melawan apa?” kalimat terakhir diucapkan seolah-olah membuktikan apa yang Vina lihat selama ini. Air matanya mengalir membuktikan kepedihan hatinya.
Ryan meminggirkan mobilnya.
“Seenggaknya aku nggak ingin kamu sedih, kamu terlalu berharga untukku,” begitu lembut perkataan Ryan hingga Vina merasa ini bukan Ryan. Perkataan itu terasa begitu tulus.
“Kenapa kamu menyembunyikan diri kamu selama ini? Kenapa?” tanya Vina mencoba tenang.
Ryan memandangnya. Dia mengulurkan tangan dan sekali lagi menghapus air mata yang mengalir di kedua pipi Vina.
“Karena aku tidak pantas dicintai,” jawaban itu begitu membingungkan. “Jangan menangis! Maafkan aku. . . .” pinta Ryan. “You are my angel, and I don’t want see you sad. So please, tell me what can I do for you?” sebaris ucapan sederhana keluar begitu romantisnya dari mulut Ryan.
“Jangan suruh aku pergi dan biarkan malam ini aku tetap bersamamu,” jawaban yang sangat diinginkan Vina terucap dengan tenang.
Ryan menghela nafas. Menyesali setiap menit yang akan dia lalui.
“Baiklah,” jawab Ryan nada dingin tersirat kembali.
“Dan kumohon,” pinta Vina lagi. “Jangan siksa dirimu, jadilah dirimu sendiri.”
Secercah senyum menawan terpasang di wajah Ryan dan Vina ikut tersenyum melihatnya. Setidaknya malam ini ia akan bersama Ryan, bersama orang yang juga mencintainya. Ia tak ingin memikirkan hari esok.
Ryan mengemudikan mobilnya lagi. Sudah hampir setengah delapan ketika mereka sampai di gedung. Parkir penuh, tak tampak ada yang kosong. Ryan menghentikan mobilnya di depan Lobby.
“Kamu turun dulu, aku mau cari parkir,” Ryan berucap sambil mengamati sekitar untuk melihat sekiranya ada tempat yang kosong.
“Nggak. Kamu udah janji,” jawab Vina. Ia takut Ryan pergi.
Ryan menghela nafas dan meneruskan mencari tempat. Beruntung ada Stream yang sepertinya berniat keluar dan Ryan memakai tempat Stream itu parkir sebelumnya.
            Ryan meluruskan lengan kemejanya lagi kemudian mengambil dasi dan jasnya. Kemudian Ryan keluar dan membukakan pintu untuk Vina.
            “Let’s go my angel,” Ryan berkata dengan senyum menghiasi wajahnya. Jas dan dasinya ia sampirkan di lengan sebelah kiri.
            Vina mengambil tasnya dan keluar dengan senyum bahagia.
Ryan memakai jasnya sambil berjalan di sebelah Vina. Kemudian menaikkan kerah kemejanya untuk memakai dasi.
“Sini aku pakein, kamu kan nggak bisa pake dasi,” kata Vina mengambil dasi dari tangan Ryan.
Ryan tersenyum mendengarnya. “Kamu tau darimana?” tanyanya memandang Vina yang sibuk memakaikan dasi.
“Sebelum kamu nyopot dasi tadi, bentuknya udah nggak karuan,” kata Vina seolah-olah menjelaskan pada anak kecil. Dengan waktu singkat, dasi itu sudah terpasang gagah di balik jas Ryan.
Ryan memasang lengan kanannya agar Vina bisa mengaitkan tangannya. Vina tersenyum melihat itu lalu mengaitkan tangannya dengan wajah bahagia.
Mereka berjalan ke dalam dengan wajah bahagia. Di dalam acara makan-makan sudah dimulai dan musik sudah dimainkan. Beberapa bahkan sudah mulai berdansa di tengah. Nino agak terkejut melihat tangan Ryan dan Vina saling mengait, namun tak berkata apapun karena melihat wajah bahagia yang tak pernah dilihatnya pada kedua temannya itu.
Ryan dan Vino sama sekali tak berniat pada dansa. Mereka lebih suka menghabiskan waktu duduk berdua di meja sambil makan dan ngobrol. Ryan terpaksa melewatkan obatnya karena tak bisa dan tak ingin meninggalkan Vina. Cukup banyak cewek lewat yang memandang mereka berdua, kagum, bingung, sekaligus terpesona.
Vina mengakuinya bahwa Ryan jauh lebih ganteng kalau banyak tersenyum dan itulah yang dilihat cewek-cewek malam itu. Dan tak banyak cewek yang bisa membuat Ryan seperti itu. Ia merasa sangat beruntung berhasil melewatkan waktu dengan orang yang sangat diinginkannya.
Waktu berjalan sangat cepat. Nino sempat menanyakan alasan mengapa tadi Ryan menelpon tapi Ryan berkata tak ada apa-apa. Lagu-lagu yang dimainkan benar-benar pas untuk malam itu. Vina tak ragu melihat keceriaan Ryan bahwa ia bersungguh-sungguh menyayanginya.
“Aku nggak akan pergi,” Ryan berjanji pada Vina untuk mengambil mobil dan meminta Vina menunggu. Vina mempercayainya, ia tersenyum pada Ryan yang berjalan menjauh.
Kebahagiaan menyelimuti hati Ryan. Ia masuk ke mobil dan teringat akan obat yang disimpannya di kantong jas. Ia memindahkan obat itu ke laci dasbor mobil, dan segera menyalakan mesin untuk menjemput Vina. Ryan membukakan pintu untuk Vina dan segera duduk di kursinya. Ia mengemudi dengan tenang dan pancaran kebahagiaan tertera di wajahnya.
Vina mencoba melupakan perkataan Ryan untuk menjauh tadi dan berharap Ryan tak akan mengungkitnya. Kebahagiaan ini tak ingin ada yang merusak. Meski waktu tetap terus berjalan.
Vina menekan VCD player di mobil itu. Lagu Westlife terdengar. Ryan tak menyangka mamanyalah yang membawa CD itu selama ini saat mendengar suara yang bernyanyi. Lagu Close mengalun, seolah mewakili perasaan Ryan.
Ryan berhenti di depan rumah Vina. Ia keluar dan membuka pintu untuk Vina. Vina keluar dan tersenyum.
“Makasih ya,” senyum kebahagiaan terlukis indah di wajahnya.
Ryan mengangguk juga tersenyum tulus. Ia mengantar Vina sampai ke teras rumahnya.
“Vin, dengerin aku,” Ryan menatap Vina yang juga menatapnya. “Apapun yang kita lewatin malem ini nggak membuat aku narik ucapanku tadi. Percayalah! Itu yang terbaik!” Ryan mencoba meyakinkan Vina lagi.
“Nggak. Ini bukan malem terakhir kita akan bareng-bareng. Waktu kita masih panjang,” ucap Vina yakin. Ryan menyembunyikan kesedihannya ketika mendengar itu.
“Aku pulang dulu ya?” pamit Ryan sopan.
“Mau mampir?” tawar Vina. Ryan menggeleng dan segera berjalan ke mobilnya. Ia melepas jasnya dan memasukkannya ke dalam mobil. Ryan menunggu hingga Vina masuk ke rumahnya baru kemudian Ryan masuk ke mobilnya.
Baru akan menyalakan mesin, sakit kepala menghantam Ryan. Darah mengalir dari hidungnya. Ryan segera meraih laci di dasbor dan membukanya. Ia mengambil obat itu dan membukanya. Tubuhnya bersandar pada kursi penumpang di sebelahnya. Namun sebelum bisa mengambil obat Ryan merasa ada yang akan keluar dari tenggorokannya. Ia segera membuka pintu penumpang itu.
Kumohon jangan sekarang, batin Ryan. Jangan saat aku masih disini. Namun apa yang dilawannya lebih kuat daripada dirinya.
Tak dapat ditahan lagi cairan merah kental keluar dari mulutnya. Bau darah sangat kuat tercium. Untung ia sempat membuka pintu agar muntahannya tidak terjatuh di dalam mobil. Botol obat yang dipegangnya jatuh dalam keadaan terbuka dan menumpahkan isinya berserakan di luar dan di dalam mobil. Sekali lagi ia merasakan akan muntah lagi dan menjulurkan kepala keluar pintu. Cairan merah keluar dari mulutnya lagi dan menambah sakit kepala Ryan.
Ryan tergeletak lemas.





Vina masuk ke kamarnya dan berbaring di tempat tidur.
“Gimana tadi?” mamanya masuk dengan wajah penasaran. “Mama telpon sampe nggak diangkat,” canda mamanya jail.
Vina jadi teringat hapenya. Tapi dimana tasnya?
“Aduh tasku ketinggalan di mobil,” Vina segera berlari keluar meninggalkan mamanya yang bengong.
Vina melihat mobil Jazz itu masih terparkir di depan rumahnya maka ia segera keluar. Dari dalam pagar, ia melihat pintu penumpangnya terbuka, namun tak bisa melihat Ryan dibalik kaca film yang tebal itu. Ia segera berlari membuka gerbang sebelum Ryan berencana menyalakan mobilnya. Dari depan mobil itu tampak tak ada orangnya.
“Ryan… Tasku ketinggalan di ….,” Vina tak menyelesaikan kalimatnya karena melihat cairan merah di bawah pintu yang terbuka sedikit itu dan ada butiran berwarna putih yang berserakan di dekatnya.
Ia mendekat dan membuka pintu yang sudah terbuka itu lebih lebar.
“Ryan….,” Vina membekap mulutnya melihat apa yang ada di depannya.





Bayangan itu tak bisa pergi. Melihat Ryan dengan wajah penuh darah tanpa luka membuatnya sangat sedih. Apa yang terjadi padanya? Mengapa bisa begitu?
Dokter keluar dari ruang gawat darurat. Dan Vina bersama mamanya segera berdiri. Ia langsung membawa Ryan ke rumah sakit ditemani mamanya, setelah sebelumnya menghubungi mamanya Ryan. Mereka berjanji bertemu di rumah sakit. Saat ditelpon, mamanya terdengar sangat histeris.
“Anda keluarganya?” tanya dokternya.
“Bukan dok, kami temannya,” mama Vina menjawab.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Vina tak bisa tak khawatir.
“Maaf, saya harus bicara dengan keluarganya dulu. Seharusnya pasien ini punya dokter khusus,” kata dokter itu.
Bersamaan dengan berakhirnya kata-kata dokter itu, serombongan dokter dan suster lainnya datang dengan terburu-buru menuju ruang UGD yang sama. Dokter itu menghampiri dokter yang sedang berbicara dengan Vina.
“Dok, apakah anda sudah menerima pasien yang baru saja datang bernama Ryan?” dokter itu bertanya dengan nada khawatir.
“Iya, dia baru saja saya periksa,” jawab dokter itu.
“Sus, tolong di periksa dulu,” kata dokter yang baru datang, kemudian berpaling ke Vina. Dan dokter itu segera berjalan menuju ruang UGD.
“Tunggu, dok,” cegah Vina. “Apa yang terjadi sama Ryan dok?”
“Lebih baik kamu bertanya pada keluarganya saja,” saran dokter itu.
Vina menatap kepergian dokter dengan putus asa. Apa sebegitu parahnya sampai hanya keluarganya yang tau? Apa ini alasan semua sikap dingin Ryan?
Kemudian dua orang perempuan datang.
“Dimana Ryan?” tanya perempuan yang dikenali Vina sebagai mama Ryan. Wajahnya sangat cemas. Kakaknya Ryan wajahnya juga cemas. Seolah-olah inilah yang mereka tau akan datang.
“Di dalam tante,” jawab Vina. Mama Vina masih berdiri di sampingnya.
“Ma, kita harus nunggu,” kakak Ryan berusaha menahan mamanya yang ingin masuk ke ruang UGD. Mereka nggak harus menunggu lama. Dokter yang terakhir memeriksa Ryan keluar bersama dengan seorang suster.
“Siapkan ruang ICU, lalu alat transfusi, siapkan golongan darah A,” perintah dokter itu lalu membiarkan suster yang disuruhnya tadi pergi. Ia segera membuka pintu ruang UGD lebar-lebar dan serombong suster mendorong bed rumah sakit yang membawa Ryan di atasnya. Vina menutup mulutnya tidak tega melihat Ryan yang memakai masker oxygen dan yang lebih parah, matanya terpejam. Dokter itu melihat keluarga Ryan dan segera menghampirinya.
“Apa pun hasilnya saat ini, bisa buruk atau baik tetap tidak mengubah hasil akhirnya, jadi saya mohon ibu sabar,” dokter itu segera berlalu. Sementara mamanya Ryan sangat terpukul Vina semakin merasa bingung.
Mereka semua pindah ke ruang tunggu untuk pasien ICU. Vina menolak ajakan mamanya untuk pulang, dan berkeras ingin melihat Ryan sadar.
“Ryan mengidap leukemia seperti papa dulu,” kak Nikky bercerita padanya. Sebelumnya dia memberitau namanya ke Vina.
“Hal itu kami ketahui sejak empat bulan yang lalu. Kemudian aku memutuskan mengajak Ryan balik ke Indonesia supaya lebih dekat dengan mamanya. Kadang aku nggak kuat melihat Ryan kesakitan seperti itu. Kami semua sudah cek untuk melihat kecocokan sumsum tulang belakang, namun tak ada yang cocok,” ia berhenti bercerita. Seperti menceritakan harapan kosong yang telah diberikannya.
“Entah mengapa, saat mendengar hasil itu, Ryan seperti sudah tau hasilnya. Ia diam, tak berbicara hingga lebih dari seminggu. Aku mengira saat kamu datang ke rumah waktu itu, dia akan sedikit lebih ceria, namun ternyata tidak. Bahkan lebih murung,” kak Nikky memandang lantai. “Dan kemudian aku menyadari, di sedang jatuh cinta. Tapi aku tak pernah mengungkitnya kepada siapapun. Aku mengerti betapa sedihnya Ryan harus menahan, memendam cinta itu. Hal itu semakin terbukti ketika ia masuk rumah sakit yang terakhir kali.”
Nikky menarik nafas untuk menguatkan dirinya.
“Sekitar tiga minggu yang lalu, di kembali masuk rumah sakit setelah kami menemukannya terjatuh dari motor sambil memegangi kepala. Dan saat itu hari dimana kami tau darah mulai mengalir dari hidungnya. Kami tak tau kapan itu bermula karena Ryan tak pernah bercerita. Ia tak ingin kami cemas. Ia tak sadar selama dua hari dan sekali ia mengigau, meminta maaf. Sungguh-sungguh meminta maaf, entah pada siapa, entah karena apa, namun ia terdengar sangat menyesal,” Nikky mengakhiri ceritanya.
“Hari apa tepatnya saat itu?” tanya Vina seperti menyadari sesuatu.
“Lima hari setelah kalian datang. Hari Sabtu,” jawab Nikky. Vina teringat hari dimana Ryan mengatakan dirinya tak pantas jatuh cinta atau pun jatuh cinta. Vina kembali menutup mulutnya untuk menahan tangis yang serasa ingin meledak.
“Aku harap sekarang kamu tau kenapa Ryan selalu bersikap dingin dan tak peduli,” Nikky berharap.
“Tentu saja,” jawab Vina setengah menangis. “Dia terlalu menyayangi teman-temannya dan tak ingin ada satu pun orang yang mengenalnya sehingga dia tak perlu melihat mereka sedih saat….saat… saat itu tiba,” Vina tak bisa mengucapkannya.
“Mungkin kamu mau pulang? Kita semua nggak ada yang tau kapan Ryan bakal sadar? Kamu terlihat sangat terpukul,” Nikky prihatin. Ia merangkul bahu Vina, mencoba menenangkannya.
“Aku ingin menunggunya, setidaknya sampai ia bangun. Tentu saja aku sangat sedih,” Vina mencoba menahan tangisnya. “Baru tadi malam ia menyatakan cintanya meski itu karena dia sudah tidak sanggup menahannya lagi, tadi malam adalah malam terindah yang pernah kulewati. Dan kemudian aku menemukannya tergeletak dengan wajah penuh darah di dalam mobil,” kata-kata itu mengalir dibalik jatuhnya air mata.
Kemudian dokter keluar dan menghampiri mama Ryan.
“Sungguh kami terkejut. Pertumbuhan sel darah putih lebih cepat dari yang kami duga. Kami mencoba memberinya transfusi untuk menjaga keseimbangannya meski hanya untuk sementara,” kata dokter itu.
“Berapa lama, dok?” akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut mama Ryan.
“Tiga minggu, jika beruntung bisa sampai satu bulan. Namun kami tak tau. Tak sampai tiga bulan, hanya itu yang bisa kami pastikan,” dokter itu berkata penuh penyesalan.
“Tiga minggu?” kata itu keluar sebelum mama Ryan pingsan.
Sungguh pedih hati semua orang saat itu. Ketika kebahagiaan baru ditemukan dan dirasakan sesaat, sesuatu yang tak dapat dikendalikan mengambilnya. Tanpa memberikan lagi waktu yang cukup untuk kembali menikmati keindahan yang dicipta untuk dinikmatinya. Mama Ryan dibawa ke ruang perawatan agar dapat beristirahat dari keterpukulannya. Semua memakluminya. Setelah seorang pria yang pernah dicintainya meninggal, kini karena penyakit yang sama, anak lelakinya juga harus meninggal.
“Dok, pasien sudah mulai sadar,” seorang suster keluar dari ruangan dan memanggil dokter.
Nikky dan Vina langsung masuk mengikuti dokter. Namun mereka hanya diperbolehkan melihat dari balik kaca karena harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Dokter memeriksa mata dan tekanan darah Ryan. Di tangan kiri Ryan, terpasang dua selang infus dan selang berwarna merah yang mengalirkan darah.
Vina dapat merasakan tatapan Ryan ke arahnya. Ryan melepas maskernya dengan tangan yang tak diberi selang. Ia tersenyum polos, senyum seorang anak kecil yang ketahuan mencuri roti kecil dari stoples. Senyum yang membuat Vina harus keluar ruangan karena tak sanggup melihatnya. Senyum indah itu berada di antara hidup dan mati, diantara alat-alat dokter yang membantunya hidup. Diantara orang-orang yang menyayanginya, yang tak ingin kehilangannya. Terlalu mudah melihatnya sebagai orang yang dingin dan tak peduli dari pada melihatnya sebagai orang yang menyenangkan, yang sedang berdiri melawan penyakit yang menggerogotinya.





Ryan tak tau apa yang terjadi, namun ia tau kedua pertahanan dirinya telah runtuh malam itu. Tekadnya untuk memendam cintanya hancur setelah wanita yang dicintainya memaksanya berbicara yang tak diinginkan Ryan. Dan kemudian penyakit ini datang sesuka hati di saat yang tidak tepat.
Ryan melihat Vina di balik kaca. Ia melepas maskernya, dan tersenyum pada Vina. Senyum yang ia tunjukkan hanya untuknya. Namun, Vina justru keluar dengan mulut ditutup oleh tangan. Tentu saja, pikir Ryan. Kini dia sudah tau dan akan meninggalkannya. Meninggalkan Ryan, seperti yang diinginkannya dulu.
Kemudian dokter yang memeriksanya keluar sambil mengangguk-angguk. Ia yakin dokter sudah memberi tau kakak dan mamanya berapa lama waktu yang ia punya untuk hidup. Bahkan mungkin Vina juga tau.
Ia tak ingin ada yang masuk ke ruangan itu saat ini. Ia ingin sendiri, ingin menikmati hidupnya jika waktunya memang hanya sebentar lagi. Namun sepertinya tak ada yang menyuarakan isi hatinya. Vina masuk pertama dan langsung berdiri di sebelah Ryan sambil menatap sayu. Ryan menatapnya, menunggunya mengatakan sesuatu. Namun akhirnya Ryan merasa dirinya lebih ingin mengucapkan sesuatu.
“Jadi, kuharap kau sudah memutuskan untuk pergi dan melupakanku?” tanya Ryan penuh harap. Nikky yang berada di ujung bed menggeleng penuh arti pada Ryan.
“Mengapa kau selalu berharap akan hal itu?” Vina bertanya balik, berusaha menahan tangis. “Tenang saja, aku akan disini, tetap bersama kamu,” katanya sambil tersenyum.
“Kenapa?” tanya Ryan keras. “Aku nggak bisa ngelindungin kamu, buat jalan aja akan susah buatku setelah hari ini. Dan setelah hari ini, orang akan selalu menemaniku, bertanya apakah aku baik-baik saja setiap saat,” Ryan tak bisa menahan lagi.
Vina tersenyum. “Kau tetap saja sombong.”
Ryan mengalihkan wajahnya dari Vina. Kepedihan begitu terasa di hatinya mengingat Vina tak juga mau pergi. Ryan tak ingin melihatnya menangis, kapan pun, bahkan ketika ia tak bisa melihat lagi.
Keadaan begitu sunyi. Tak ada yang mencoba memecahnya. Kemudian mama masuk, ia segera memeluk Ryan. Ryan memejamkan matanya.
“Tenang nak, kamu akan sembuh, kamu akan sembuh. Percayalah,” kata mamanya yakin. Ryan ingin menghentikan mamanya yang berucap omong kosong itu, namun ia membatalkan niatnya, mengingat hanya dengan begitu mamanya akan tetap bertahan.
“Ma, aku mau pulang,” pinta Ryan tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan mamanya. Tapi juga seisi ruangan. “Please,” Ryan memohon.
“Nggak boleh. Bentar lagi kamu sembuh. Tunggu bentar lagi aja, ya,” mamanya melarang disela-sela tangisannya. Ryan memandang kakaknya, memohon.
“Ma…” panggil Nikky. “Biar Ryan di rumah aja ya,” kakaknya membantu Ryan.
“Nikky, kamu nggak mau adik kamu sembuh ya?” mamanya membentak Nikky.
“Ma, please ma” Ryan menghentikan harapan kosong mamanya. “Biarin aku dirumah. Pada akhirnya hasilnya tetap sama entah dirumah atau di sini,” Ryan mengatakannya dengan berat.
“Nggak, kamu pasti akan sembuh, nak,” mamanya tak menyerah.
“Kalau begitu biarkan aku dirumah,” Ryan bersiap mengucapkan hal yang paling menyedihkan. “Biarkan… Biarkan aku habiskan sisa waktuku bersama orang yang kusayangi di rumah. Sama seperti yang papa lakukan dulu,” perkataan Ryan membuat mamanya berteriak histeris.
“Nggak, kamu nggak akan kaya papa,” kata mama namun tak ada keyakinan lagi dalam suaranya.
“Biarin aku tinggal di tempat yang terdekat di hatiku sebelum aku benar-benar harus pergi, benar-benar kembali bersama orang yang udah lama pergi” Ryan benar-benar berniat untuk pulang.
Hari itu, semua akhirnya mengerti apa yang Ryan inginkan. Membiarkannya beristirahat di rumah. Mamanya telah mengirimkan surat ke sekolah sebagai keterangan Ryan berhenti sekolah. Ryan menghabiskan hampir sepanjang waktunya di kamar.
Setiap hari Vina datang dan melihat keadaan Ryan. Dan setiap hari pula Ryan menanyakan keputusan akhir Vina, apakah ia sudah memutuskan untuk pergi menjauh darinya. Ryan sangat sedih melihat dirinya amat bergantung pada orang lain. Dan lebih sedih lagi ketika melihat orang yang ia sayangi menangis melihatnya kesakitan.
Seminggu setelah pulang dari rumah sakit, Ryan tak sanggup berada di rumah terus. Ia meraih kursi roda di samping tempat tidurnya. Ia sudah tak kuat berjalan. Ia berusaha memindahkan tubuhnya ke kursi itu sekuat tenaga. Dan ia bisa meski membutuhkan waktu yang lama.
Digiringnya roda ke teras belakang, dimana kebun yang selalu terawat terpasang di tempat itu. Ia memegang setangkai bunga anggrek yang baru saja mekar. Bagaimana indahnya dunia di matanya saat itu, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ryan mengarahkan kursi rodanya ke pintu depan. Ia tak tau dimana kakak dan mamanya saat itu. Tapi hal itu tak ia biarkan menghalangi niatnya. Ia membuka pintu dan keluar ke teras depan. Menggiring roda melalui pagar dengan perlahan, tak ingin ada yang dilewatkannya. Senja akan segera datang, namun ia yakin waktu tak akan menghalanginya menikmati ini semua.
Ryan teringat akan lapangan bola yang dulu sering digunakannya bermain bola, di ujung jalan sana. Ryan membawa kursinya ke sana, membawa ingatannya ke masa lalu. Masa di mana ia selalu tau dimana harus bertanya ketika kau tak tau apa itu sepak bola. Dimana harus bertanya jika ingin memberi hadiah pada mama atau kakaknya, atau masa dimana seseorang mengajarinya arti perempuan sebagai seseorang yang harus dilindungi. Seseorang yang saat itu masih ada untuk mengingatkannya bahwa laki-laki tak boleh menangis dalam keadaan apapun, yang mengajarinya bahwa lelaki harus siap menjadi orang yang bisa dicontoh.
Lapangan itu masih seperti dulu, membentang luas dipenuhi pasir. Hanya saja dulu ada dirinya dan papanya di sana. Ia masih bisa melihat dirinya dan papanya bermain bola bersama. Berlari mengejar bola diantara pasir yang berterbangan. Beristirahat di salah satu pohon besar jika matahari sudah terlalu terik.
Matahari senja membuat pasir di lapangan terlihat berwarna oranye. Awan-awan tipis berusaha menghalangi sinar itu. Pemandangan matahari tenggelam yang ia tak tau kapan bisa dilihatnya lagi. Tak tau siapa yang akan melihatnya setelah dirinya.





Oh, kumohon jangan sampai ia melakukuan itu, batin Vina. Ia cemas setengah mati mendengar Ryan nggak ada di rumah. Semuanya mencari Ryan. Kakaknya berusaha mencari ke kompleks bagian barat, sedangkan Vina mencoba ke utara. Seharusnya Ryan nggak bisa berjalan jauh dengan kursi roda, apalagi badannya yang lemah pasti nggak akan mendukung untuk jalan jauh.
Ia sudah sampai di ujung jalan. Hanya lapangan yang mengakhiri jalan itu. Harus ia cari kemana lagi Ryan. Ia melempar pandangan secara menyeluruh ke sekelilingnya. Dan kemudian perasaan lega menyelimutinya. Seseorang di atas kursi roda memandang matahari tenggelam dari bawah salah satu pohon di lapangan itu. Vina berlari menghampirinya.
Vina memegang bahu Ryan. Ryan setengah terkejut, melihat ke belakang, melihat Vina yang napasnya tersengal-sengal.
“Kumohon….,” Vina menarik nafas lagi, masih ngos-ngosan. “Jangan pernah pergi sendirian… atau setidaknya beritahu seseorang jika kau ingin pergi,” Vina berkata sambil tersenyum ceria.
Ryan menghembuskan nafas lega, karena ia mengira telah terjadi sesuatu. Ia ikut tersenyum mendengar perkataan Vina.
“Kau datang…,” kata Ryan datar, kembali memandang matahari di depannya.
“Aku sudah bilang, aku akan menemanimu,” kata Vina mantap. “Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Ryan diam merenung. “Tapi akulah yang akan meninggalkanmu,” Ryan mengatakan hal yang setiap hari ia katakan pada Vina.
“Cukup,” stop Vina yang kewalahan menghadapi Ryan. “Kamu nggak tau itu. Bisa aja aku yang